Tiga Tahun di Jakarta: Belajar Menjadi Lebih Tenang

5 Desember. Tanggal ini istimewa, di tahun 2016 lalu saya menjejakkan kaki di Jakarta dan paripurna melepas status mahasiswa menjadi karyawan swasta. Sekarang, perjalanan saya di Jakarta telah sampai di tahun ketiga dan tetap pula di kantor yang sama. 

Sebenarnya, kalau boleh jujur, bertahan tiga tahun di Jakarta dan di pekerjaan yang ditekuni sekarang ini rasanya campur aduk. Ada keinginan untuk resign dan mencari ladang baru, apalagi kalau habis dengar cerita atau curhatan teman. Namun, ada pula sukacita untuk bertahan, mengingat pekerjaan yang saya lakukan sekarang meski tidak seratus persen sesuai keinginan hati, ternyata memberikan kepuasan di hati.

Di tahun pertama anniversary kerja, saya menuliskan tentang 5 hal yang saya pelajari setelah bekerja di lembaga non-profit. Di tahun kedua, saya menuliskan tentang perjalanan ke puncak bukit, dan…di tahun ketiga, saya sebenarnya bingung mau nulis apa. Pengennya sih tidak nulis, lewati hari ala kadarnya saja. Namun, mungkin apa yang saya alami baik untuk dibagikan. Apa yang saya tuliskan di sini bukanlah sebuah justifikasi bahwa jalan hidup harus begini. Tidak, sama sekali tidak. Tiap orang punya jalan hidupnya sendiri-sendiri, dan tiap jalan itu unik. Jalan hidup saya, yang tertuang dalam narasi ini hanyalah sepenggal cerita yang semoga menambah rasa, atau kalau memungkinkan, memperluas cara pandang kita akan kehidupan. 

Proses untuk jadi lebih tenang
 
Saya ingat betul proses ketika pindah dari Jogja ke Jakarta, air matanya banyak sekali. Sejak naik motor dari kos di Babarsari ke Stasiun Tugu, air mata tak henti menetes. Perasaan isinya campur aduk: sedih karena meninggalkan segala kenangan, sekaligus juga takut: takut akan bagaimana masa depan kelak, mau dibawa ke mana hidup ini kalau di langkah pertama saja salah? 

Saya tidak tahu tempat kerja yang akan didatangi nanti iklimnya seperti apa, pun orang-orangnya. Ada rekan yang menyayangkan niatan saya, kata mereka seharusnya saya berusaha mendapatkan yang lebih. Ada pula orang yang berkomentar negatif, merendahkan pilihan yang saya ambil. Namun, ada juga yang dengan tulus mendukung, mengatakan bahwa pilihan saya tidak salah dan saya pasti bisa.

Sampai di Jakarta dan dua bulan setelahnya, nangis tersedu-sedu di pojokan kamar kos yang panas dan berdebu jadi aktivitas sehari-hari. Di kantor tidak ada teman, selesai kerja langsung pulang dan sendirian. Dengar lagu rohani supaya hati jadi kuat, eh malah sedihnya makin menjadi. Air mata makin deras menetes. “Aku nggak kuat, Tuhan,” bibir berkata lirih. 

Enam bulan berlalu dan puji Tuhan saya diangkat jadi pegawai tetap. Bulan lewat bulan, saya mulai menemukan ritme pekerjaan. Hidup sendiri jadi terbiasa. Tidak ada teman di kantor, tidak masalah, saya ‘pulang’ ke Jogja tiap beberapa bulan, jadi orang ‘PJKA’, Pergi Jumat Kembali Ahad, begitu seterusnya. Namun, saya merasa hidup kok gitu-gitu saja. Seiring dengan terbiasanya saya dengan aktivitas kerja, bersemi pula rasa iri hati terhadap teman-teman yang kariernya tampak moncer. Ditambah dengan gesekan-gesekan yang ada di tempat kerja, hasrat ingin hijrah segera membuncah. 

Hingga akhirnya, saya menyadari bahwa ketika kita beranjak dewasa, kehidupan sebenarnya adalah tentang menerima hal-hal yang terjadi tidak sesuai dengan harapan kita dan bagaimana kita mampu berdamai dengannya. 

Tiap kita tentu punya impian dan cita-cita, tapi tidak semua dari kita dapat kesempatan untuk mewujudkannya sama persis. Ketika harapan kita tidak terwujud, kita punya dua pilihan sikap: kecewa atau menerimanya sebagai bagian dari penyertaan Tuhan dalam perjalanan hidup kita. 

Sampai di titik ini, saya mengambil pilihan respons kedua. Menerima setiap apa yang ada saat ini sebagai sarana dari Tuhan untuk saya belajar dan bertumbuh. Meski apa yang saya inginkan belum atau bahkan kelak tidak terwujud, tetapi saya selalu yakin akan berkat tak terduga yang disediakan-Nya bagi kita. 

Saya sendiri tidak menyangka bagaimana pekerjaan duduk memelototi laptop bisa menjadi gerbang untuk saya membina komunikasi dengan puluhan relawan yang bersedia memberikan karya dan talenta profesional mereka untuk sebuah pelayanan yang jelas-jelas mereka tidak dibayar. Semangat mereka, dan cinta mereka buat Tuhan dan sesama sungguh jadi bahan bakar yang menyulut semangat. 

Pun, saya juga tidak menyangka, dijebloskan tinggal di Jakarta pada akhirnya mengantar saya menjelajahi puluhan ribu kilometer naik kereta api, memiliki sahabat karib di luar kota, dan yang istimewa, saya bisa memaknai perjalanan pulang ke Bandung dengan lebih dalam. Pulang setiap bulan sebagai bakti dan syukur kepada orang tua. 

Apa yang saya lakukan di kantor tidak banyak berubah: tetap duduk menghadap laptop. Namun, ada sikap hati yang berubah. Ada sikap hati yang selalu memilih untuk bersukacita di tengah segala kondisi. Mau teman sekerja bete, mau kerjaan overload, mau teman ada atau tidak, saya belajar untuk memiliki sukacita yang sejati, yang tidak dipengaruhi oleh keadaan. Puji Tuhan pula apabila di tahun ketiga ini terjadi transisi di kantor yang memungkinkan saya mengecap rasa yang baru. 

Menyeberangi masa transisi dan kemelut badai tersebut agaknya tidak akan pernah berhasil jika Tuhan tidak mengaruniakan saya ketenangan. Dalam sikap hati yang tenang, saya menjadi orang yang tidak impulsif. Pengambilan keputusan pada akhirnya dilakukan tidak dengan suasana hati yang bergejolak. Ketika kemelut-kemelut lainnya datang, saya bisa menyikapinya dengan menarik nafas dalam-dalam dan berdoa sejenak. 

Makin umur, badai hidup mungkin akan bertiup makin keras. Jalan yang dipijak makin terjal. Nafas makin tersengal. Namun, satu kepastian yang pasti adalah kita semua sedang meniti jalan masing-masing menuju puncaknya. 

Puncak saya kelak adalah impian akan sebuah kehidupan yang bermanfaat bagi orang banyak, dan untuk mewujudkan itu, jalannya tak cuma dengan memilih pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Dunia ini terlalu sempit jika kesuksesan hidup hanya dimaknai dengan status dan deretan angka di rekening. 

Puncakku, juga puncakmu, mungkin berbeda. Namun, apa pun perjalanan kita, ada tangan yang kuat yang memegang tangan kita. Sang empunya tangan itu mungkin tak akan menyingkirkan badai atau melunakkan pijakan kaki kita, bisa jadi Dia malah membuatnya semakin kelam dan keras agar kaki kita melangkah lebih kuat dan kita menggenggam tangan-Nya lebih erat. 

Tuhan, anugerahkan kepadaku ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah,
Keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa aku ubah,
Dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan keduanya.

Hidup menjalani hari demi hari;
Menikmati setiap momen;
Menerima kesulitan sebagai jalan masuk menuju kedamaian;
Mengikuti kehendak-Mu dalam menjalani hidup di dalam dunia yang berdosa ini;

Percaya bahwa Engkau akan membuat segala sesuatunya baik apabila aku berserah pada kehendak-Mu;
Sehingga aku dapat berbahagia dalam kehidupan ini, dan akan sangat berbahagia kelak bersama-Mu di kehidupan selanjutnya.

Amin.

(Sebuah doa oleh Reinhold Niebuhr, seorang teolog Protestan di Inggis pada tahun 1940-an). 




10 pemikiran pada “Tiga Tahun di Jakarta: Belajar Menjadi Lebih Tenang

  1. First, mau bilang selamat atas pencapaiannya, sudah bisa kuat bertahan selama 3 tahun di Jakarta yang kata orang ‘keras’ 😀 hehe, ke dua, mau bilang kalau hidup adalah tentang bagaimana cara kita menerima dan menikmatinya dengan baik. Plus saya rasa, setiap dari kita punya timingnya masing-masing :>

    Jadi jangan kawatir kalau teman sudah lebih dulu punya karir moncer, mungkin mas yang akan mendapatkan karir moncer berikutnya. Honestly, nobody knows kan hehe. Just keep giving your best and God will do the rest. Semangat and happy new year 😀

  2. Kalimat2 ini…yash!!!Hingga akhirnya, saya menyadari bahwa ketika kita beranjak dewasa, kehidupan sebenarnya adalah tentang menerima hal-hal yang terjadi tidak sesuai dengan harapan kita dan bagaimana kita mampu berdamai dengannya. 

Tinggalkan komentar