Sepuluh tahun selepas lulus dari bangku SMA hidup ibarat perlombaan yang garis finish-nya ditentukan masing-masing. Saat sekolah kita tahu kapan akan lulus jadi alumni, tapi tidak dengan kuliah di mana jadwal sidang skripsi tiap orang berbeda-beda. Makin samar lagi setelah lulus sarjana, setiap orang punya momentumnya masing-masing tentang kapan harus kerja, naik jabatan, juga pernikahan.
Nah, bicara soal pernikahan, Sabtu kemarin (9/7), Riky, teman karibku sejak kelas VII jadi yang pertama di antara geng kami yang melepas masa lajangnya. Momen pernikahan yang sakral itu menyulut kembali setumpuk kenangan tentang bagaimana kami berproses, dari para bocah lugu menjadi pria-pria dewasa yang sebentar lagi memasuki dekade hidup ketiga.
Waktu pertama kali bertemu di kelas VII D tahun 2006 dulu, aku dan Riky seketika akrab karena merasa disatukan oleh keluguan. “Lugu” bukan berarti lucu dan guoblok, tapi KBBI mengartikannya sebagai “tidak banyak tingkah; bersahaja; sewajarnya..”

Kami berasal dari SD yang berbeda, bukan SD yang terpandang di Bandung. Namun, saat masuk SMP, orang tua kami memasukkan kami ke sekolah yang cukup elit pada masanya di mana semua anak-anaknya bicara “gue” dan “elu”. Sedangkan aku dan Riky sehari-harinya memakai “aku” dan “kamu”. Kedua, di SD asal kami tidak ada pelajaran bahasa Mandarin, sedangkan di SMP ada. Kami cukup pontang-panting mengikuti mata pelajaran satu ini karena sama sekali tidak mempunyai basic.
Saat teman-teman lelaki sebaya kami sudah dibekali HP model anyar seperti Nokia 6600, N-Gage, dan sejenisnya, aku dan Riky adalah pengguna setia hape Esia CDMA yang tiap pindah kota harus daftar nomor. Dan… saat teman-teman lain menggunakan umpatan kasar seperti “Anjing…. goblok, dll” untuk menambah bumbu dalam obrolan, Riky-lah yang paling enggan mengucapkan kata-kata seperti itu, tapi kadang kalau keceplosan dia bilang “Ajigg…” bentuk lebih halus dari ‘anjing’ yang dia modifikasi sendiri.
Tahun demi tahun kemudian kami mulai membaur dengan murid-murid lainnya dan betah dengan sekolah kami. Saat lulus SMP kami memutuskan tetap lanjut ke SMA di sekolah yang sama, hanya naik lantai saja. Teman-teman yang sepenanggungan pun bermunculan, menjadi akrab dalam satu lingkaran pertemanan yang kami namai “Gadobangkong”, terambil dari nama stasiun tempat kami dulu sering bermain—ada Joshua yang rumahnya paling jauh di Cimahi, ada David yang paling irit sebumi dan suka jalan kaki, ada Andarias yang paling pintar tapi sering dirundung karena polos dan tak pernah melawan, dan terakhir di masa SMA hadirlah Willi, si peragu nan tulus hati yang kini telah menjadi sesosok guru.


Persahabatan kami jadi erat ketika kami semua terobsesi dengan game online. Tiap Sabtu kami sempatkan diri ke warnet untuk main DoTa atau permainan lainnya. Tapi, kami tak pernah lupa dengan tanggung jawab sekolah. Nilai-nilai kami selalu baik bahkan beberapa di antara kami selalu meraih juara kelas setiap tahunnya.
Enam tahun bersama di jenjang sekolah menengah harus kami akhiri ketika masing-masing kami menempuh jalan studi dan karier yang berbeda. Namun, jika sampai hari ini kami masih memelihara komunikasi walaupun jarak dan kesibukan memisahkan, tentu itulah berkat yang kami syukuri.
Memang di usia dewasa kita bisa dan akan tetap menjumpai kawan-kawan baru, tetapi ikatan yang terjalin dengan kawan-kawan lama jelaslah lebih istimewa. Dengan kawan lama kita mengetahui, juga mengikuti bagaimana proses transformasi, dari satu tahap ke tahapan lain. Dari masa-masa bocah nan lugu, penuh cinta monyet, dan emosi meletup-letup masuk ke tahapan kerja, menjumpai banyak kepedihan hati, hingga menjadikan kami pribadi yang lebih tenang dan tegap dalam menghadapi dunia. Sedangkan dengan kawan baru, umumnya ikatan relasi yang terbangun hanya sebatas di permukaan…mungkin hanya sebatas bicara hobi atau masalah kerja.

Hanya Joshua yang berbeda jurusan karena saat SMA dia memutuskan pindah ke sekolah musik di Yogyakarta.

Hari ini, saat kami melihat ke belakang, kami pun rasanya tak habis pikir dengan jalan hidup yang sekarang kami tempuh. Tak ada yang menyangka bahwa aku akan bekerja di lembaga pelayanan, Joshua dan Willi menjadi seorang guru yang menyiapkan generasi penerus bangsa, juga Riky dan Andarias yang menjadi seorang ahli di bidang teknologi.
Alih-alih menghadirkan rasa insecure karena banyak di antara kami belum sampai ke tahapan pernikahan, hari bahagia Riky dan istrinya justru memberikan kami rasa bahagia dan harapan bahwa perjalanan kami diberkati Tuhan dan setiap kami kelak akan menjumpai hari bahagianya masing-masing dengan cara dan momen yang berbeda.
Selamat mengarungi samudera nan luas dalam bahtera yang kokoh, Riky dan Derry!
Senangnya ketemu teman lama,bernostalgia dan mengingat hal hal lucu saat remaja.
Begitulah.
Kalau dalam teori sosialogi.
Jumlah pertemanan akan menyusut mulai usia 25 tahun.
Satu per satu menikah, dan setiap individu memiliki prioritas keluarga, maka semuanya akan tersortir dengan sendirinya.
dan itu wajar…