Perjalanan ke Titik Nol

Pulang ke rumah di saat usia sudah menginjak seperempat abad menyajikan nuansa yang berbeda. 

Dulu waktu awal kuliah di Yogya, saya tidak terlalu memikirkan soal pulang. Kalau ada waktu senggang, pulang. Jika tidak, ya tidak usah. Toh ngapain capek-capek di jalan dan buang ongkos. 

Tapi, ketika waktu telah membawa saya naik status dari mahasiswa ke kelas pekerja, pulang tak lagi jadi aktivitas yang dilakukan kalau ada waktu senggang. Pulang adalah momen yang perlu diciptakan. 

Begini ceritanya. 

10 Agustus yang lalu, Papa berulang tahun yang ke-56. Sepanjang hidupnya, Papa bilang tidak pernah ada perayaan ulang tahunnya. Kalaupun mau dibuat, dia tidak akan suka, begitu katanya. 

Tapi, di tahun ini saya mau bikin sesuatu yang beda. Saya tidak mau percaya omongannya yang itu, jadi waktu langit masih gelap saya sudah bangun dan jalan kaki ke halte Transjakarta. Sampai di Stasiun Gambir, perjalanan masih berlanjut selama 3,5 jam menuju Bandung. Saya tidak langsung ke rumah, tapi mampir dulu ke toko roti di Jalan Sudirman. Saya beli bolu black forest ukuran besar, dengan empat cherry di tiap ujungnya.

Saya tidak bilang ke Papa kalau hari itu saya pulang. Pokoknya acara hari ini adalah kejutan. 

Tapi, sesampainya di rumah, ternyata Papa sudah beberapa hari tidak pulang. 

Saya terduduk di kasur. Sudah jauh-jauh pulang, tapi malah tidak ketemu orang yang hendak diberi kejutannya.

Eh, tak lama kemudian, ada suara motor berhenti di depan rumah. Lalu gembok pagar pun dibuka. 

Rupanya Papa pulang. Entah apa yang membuatnya pulang hari itu, saya tidak tahu. Tidak ada dari kami yang mengiriminya pesan untuk pulang, ataupun ucapan selamat ulang tahun. 

“Loh, elu pulang? Ngapain?” kata Papa saat dia mendapati saya di balik pintu. 

“Pulang dong, kan hari ini Papa ulang tahun,” kataku bersemangat. 

“Hah,” ucapnya sambil tertawa kecil. Papa bahkan tidak ingat kalau hari ini ulang tahunnya.

Tahun-tahun sebelum saya bekerja adalah tahun yang dingin dalam relasi keluarga kami. Saya dan Papa jarang sekali bicara, apalagi bertukar kabar. Namun, tahun demi tahun kemudian, ada perubahan positif yang mulai hadir tatkala saya mulai bekerja dan sedikit banyak paham beratnya berpeluh. 

Dulu saya memaknai diamnya Papa sebagai ekspresi yang buruk, bahwa ia tidak mengasihi saya. Tapi, suatu ketika saya sadar, betapa itu adalah pemikiran egois. Saya terpapar imaji akan sesosok ayah yang selalu rajin bicara, rajin memberi sentuhan, dan segala kesan romantis lainnya yang sering disajikan di sinema-sinema ataupun cerita orang lain. Padahal, kenyataannya tidak semua ayah mengungkapkan kasihnya dengan cara demikian. Dalam sebuah artikel terdahulu, saya pernah menuliskan bahwa pada akhirnya saya sadar bahwa dalam diamnya Papa, di situlah bahasa kasihnya diwujudkan. Ia mengasihi kami, keluarganya dengan perjuangannya menafkahi kami. Dan, karena ia sendiri pun dibesarkan dalam masa kecil yang keras, sulit baginya untuk menghadirkan sosok ayah yang lembut dalam dirinya. 

Lantas, apa yang harus dilakukan untuk mengubah perangainya yang demikian?

Saya perlu mengubah diri sendiri. Dimulai dari sebuah sms, “Apa kabar Pa?”, kemudian berlanjut jadi obrolan lainnya. Dari obrolan virtual, saya mulai menyempatkan diri untuk pulang rutin. Saya membelikannya ponsel baru yang harganya tidak seberapa. Dan, hari itu saya pulang untuk mensyukuri hari jadinya. 

Saat lilin ulang tahun dinyalakan, Papa tersenyum dan meniup lilin itu. Kedua cucunya yang bawel turut meramaikan suasana. 

Kami pun memotong kue dan makan bersama. 

Bagi keluarga yang amat jarang mengalami kebersamaan, momen semacam ini adalah anugerah teristimewa. 

Saya bersyukur momen ini tercipta baru saat usia saya seperempat abad. Jika momen ini tercipta lebih cepat, mungkin diri saya belum bisa memaknai pertemuan ini dengan dalam. 

Perjalanan hari itu adalah perjalanan ke titik nol, ke rumah di mana saya dibentuk sebelum di lepas kepada dunia.

8 pemikiran pada “Perjalanan ke Titik Nol

  1. Wahh ada perasaan yang menggebu di dalam dada kami setelah membaca tulisan ini. Memikirkan kalau kami sudah lama tidak berbicara hangat dengan Papa yang merantau ke ujung timur Indonesia rasanya menjadi pilu…

  2. Tulisan personal ini juga menyentuh banget di aku. Hubunganku dengan ayah juga dingin. Ngomong seperlunya aja. 🙂 Dan melalui tulisan ini aku diajarkan bahwa cinta itu perlu diekspresikan.

    1. Makasih mas sudah mampir.

      Iya mas, dulu saya selalu berpikir bahwa yg perlu saya lakukan hanyalah pasif. Tapi belakangan sy belajar kalau tidak selamanya diam itu emas, ada kalanya perlu berani melintas batas, membuka obrolan, supaya akhirnya hati dan hati bisa tersambung 🙂

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s