Cerita dari Perjalanan Dinas: Dusun Sampetan, Gunung Merbabu, dan Sebuah Pengabdian

Hari kedua di Boyolali, perjalanan dinas yang sesungguhnya pun dimulai. Jam delapan pagi, kami bertolak dari Desa Ngargosari menuju Dusun Sampetan. 

“GPS sudah diset, Ry?” Tanya Tora. 

“Udah. Ini kita tinggal lurus aja lewatin jalan arah Salatiga, nanti belok kiri. Lokasi sekolahnya di kaki Merbabu nih.”

Pucuk Gunung Merbabu tampak jelas tanpa ditutupi awan. Mobil kami terus melaju seolah hendak menuju puncaknya. Di kiri dan kanan, rumah-rumah khas nuansa pedesaan berjajar rapi: pekarangannya luas dan hijau. Jalanan yang semula lebar semakin mengecil. GPS yang tadinya lancar pun akhirnya error. 

“Ini belok mana? Kanan apa kiri?” 

“Bentar, ini GPSnya pusing. Panahnya nggak jelas muter-muternya,” sahut saya. 

Beruntung, drama nyaris tersesat ini tidak berlangsung lama. Saya ingat sebuah saran yang didapat entah dari mana, “Kalau bingung cari jalan, cari jalan yang paling bagus, atau kalau tidak ya pilih lurus saja.” Saran itu kami ikuti dan syukurlah, kami berhasil tiba di tujuan, TK Sion Tridamarsari . 

Menuangkan warna di Kaki Merbabu 

TK Sion Tridamarsari adalah lokasi pertama yang akan kami lukis dindingnya dengan mural. Sedikit cerita, perjalanan dinas selama satu minggu di sekitar Boyolali ini adalah sebuah pilot project yang digagas oleh lembaga pelayanan literatur tempat saya bekerja. Setahun lalu kami sudah pernah mensuplai lokasi-lokasi tersebut dengan buku. Sekarang, agar anak-anak lebih semangat membaca, kami ingin melukis dindingnya untuk memberi kesan ceria. Saya tidak sendirian, Tora, seorang volunteer dan juga artist mural profesional turut memberi dirinya untuk terlibat dalam proyek ini. 

TK Sion Tridamarsari. Jam 12 siang pun, suhu udaranya 23 derajat.
Setiap harinya Gunung Merbabu tampak cerah.

Kami lalu disambut oleh Domi. Ia menjabat hangat tangan kami. “Ini kakak-kakak yang dari Jakarta?” tanyanya dengan logat khas Indonesia timur. 

Saya agak kaget. Sebelum tiba di lokasi, saya mengobrol dengan beberapa staf TK di sini via WhatsApp. Saya pikir, TK yang lokasinya di kaki Merbabu ini pasti staf-stafnya berbahasa Jawa halus. Jadi saya pun mengetik tulisan dengan beberapa kosa kata bahasa Jawa. 

“Mas Deni (yang chat dengan saya) juga dari Timur kok, tapi kami mengerti bahasa Indonesia dan bahasa Jawa,” sahut Domi. 

Setelah cat-cat diturunkan, kami mengecek panjang dan lebar dinding. Tora lalu menerawang, kira-kira gambar apa yang hendak dilukiskan nanti di atas dinding. 

Hari kedua, proses pengecatan dimulai. Kami mengecat ulang dinding dengan cat yang baru. Cat biru dicampur dengan hijau, diaduk, lalu dipoles ke atas tembok. Awalnya hanya kami berdua yang mengerjakan ini, selepas jam 10, beberapa orang datang membantu. 

Jika saya tidak salah hitung, ada 8 guru yang bekerja di TK Sion. Jumlah muridnya pun lumayan banyak, sekitar 30an anak. Ibu Naomi, sang kepala sekolah dengan ramah menyambut kami. Setelah mengajar, ia tak segan turut membantu kami mengaduk cat hingga melukis di dinding. Jelang siang, ia undur diri ke dapur. Bersama guru dan staf yayasan lainnya, mereka memasak makanan untuk makan siang kami semua. Ada nasi jagung, sayur sawi, daun singkong, juga tahu dan tempe. 

Mengaduk cat untuk menciptakan warna dasar.
Setelah cat dasar selesai, proses selanjutnya adalah sketching.
Riang gembira menolong proses pengecatan mural
Makan bersama.

Sambil kami makan siang, Bu Naomi bertutur tentang perjalanan hidupnya. Sudah enam tahun ini ia ditugaskan di TK Sion dari yayasan. Sebelumnya ia pernah tinggal di Lampung, Jawa Timur, hingga Kalimantan. Meski telah berpindah-pindah lokasi, logat Sumba Ibu Naomi masih kental. 

“Hei Juwana, kamu jangan ikutan, kamu tidak bisa,” sahut Ibu Naomi kepada putrinya. 

Wajah Juwana lalu melesu. Saya dan Tora saling lirik, lalu sepakat untuk mengizinkan Juwana ikut menolong.

“Kamu cat warna abu ya, ikuti garisnya,” kata Tora. 

Wajah Juwana pun berubah. Segaris senyum muncul dan dengan cekatan dia menorehkan kuas di atas temboknya. 

Juwana adalah putri dari pernikahan antara Bu Naomi dengan sang suami. Uniknya, sang suami dulunya merupakan warga Timor Leste yang kini telah menjadi WNI. Jika Ibu Naomi dan suaminya masih berbicara dengan logat timur yang khas, nada timur Juwana tak lagi kentara. Malah, medhoknya begitu terasa. “Waktu kami di Jawa Timur dulu, Juwana malah bisa bicara bahasa Madura,” kata Bu Naomi. 

Ibu Naomi dan suaminya memilih pengabdian masyarakat sebagai jalan hidup mereka. Ketika kami bertanya mengenai pendapatan dari mengajar di sini, Bu Naomi tersenyum sambil menyebutkan nominalnya. Tidak besar jumlahnya, tapi tak ada raut kesedihan terpancar dari wajah dan nadanya. 

“Tuhan yang cukupkan dek,” ucapnya. 

Kalimat sederhana itu adalah ekspresi iman Ibu Naomi. Sepanjang perjalanannya menjadi kepala sekolah, TK Sion tidak kekurangan. Ada berkat yang datang lewat uluran tangan orang-orang yang tergerak hatinya, mulai dari perbaikan infrastruktur sampai ke pengadaan buku. Spirit pelayanan itu juga terpancar dari antusiasme murid-murid belajar.

Ketika guru-guru mengajak bernyanyi, mereka menyanyi dengan semangat. Raut wajah mereka dipenuhi sukacita. Saya dan Tora pun bisa merasakan nuansanya, betapa sebuah sekolah kecil di desa punya semangat yang besar. 

Di hari Selasa, 16 Juli 2019, proyek kami di TK Sion Tridamarsari selesai. Dinding yang semula kusam menjadi lebih ceria. Semua yang terlibat dalam proses pengerjaan ini memandang dinding yang baru dengan ceria. Its a summer wonderland!

Dengan selesainya mural ini, tibalah waktu bagi kami untuk pamit pulang. Sebelum berpamitan, Juwana dan Anggun mengajak saya untuk berkeliling sejenak ke dusun mereka. 

“Kak, aku kalau pulang sekolah selalu lewat jalan sini. Jalannya nanjak, tapi liat tuh gunungnnya apik,” kata Anggun sambil menunjuk gunung. 

“Kakak kapan ke sini lagi?” tanya Juwana. 

Pertanyaan sederhana itu mendarat di hati. 

“Nanti kakak ke sini lagi, yang penting kalian berdua semangat ya belajarnya.” 

Inilah hasil dari proyek bersama kami di TK Sion.
Diajak Juwana dan Anggun berjalan-jalan.

Cerita ini merupakan lanjutan dari Kisah Pembuka dari Boyolali.
To be continued…

5 pemikiran pada “Cerita dari Perjalanan Dinas: Dusun Sampetan, Gunung Merbabu, dan Sebuah Pengabdian

  1. Betul, di desa Kaligentong, masih satu kecamatan kok dengan Sampetan 🙂
    kalo dari arah solo, habis pasar ampel ada patung sapi nah dari situ masuk gang ….

    1. Karena dipepet waktu, cuma dua hari, jadi desain muralnya harus bisa kelar cepat hehehe.

      Waaaah, rumah orang tua mas mananya berarti? Masih di Kabupaten Boyolali?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s