Menikmati Teduhnya Bandung di Hutan Kota Babakan Siliwangi

Beberapa tahun belakangan ini, Bandung terus berbenah untuk mempercantik dirinya sebagai kota pariwisata, juga sebagai ibukota dari Jawa Barat. Trotoar-trotoar diperbaiki, beberapa dibuat lebih lebar, lainnya diberi meja dan kursi untuk orang duduk-duduk. Taman-taman yang sudah ada direvitalisasi, dan lahan-lahan baru disulap menjadi taman.

Sebagai orang yang lahir dan besar di Bandung, perubahan wajah kota menjadi semakin cantik ini tentu adalah sebuah kabar baik. Tak hanya orang Bandung yang senang, orang dari luar Bandung pun jadi tertarik dan memuji-muji Bandung. Apalagi dengan hadirnya Instagram dan media sosial lainnya, pesona Bandung jadi tersiar ke mana-mana.

Sabtu kemarin (10/3) saya melaksanakan ritual bulanan, pulang kampung ke Bandung. Jika biasanya saya hanya bengong di rumah dan bermain bersama dua keponakan, kali itu saya terpikir untuk mengajak dua orang teman berjalan-jalan. Persiapannya sederhana. Bermula dari chat singkat di Whatsapp, dua teman saya setuju untuk pergi dan dipilihlah Forest Walk Babakan Siliwangi (BakSil) sebagai destinasi utama.

Tak sulit untuk menemukan di mana lokasi Forest Walk BakSil berada. Lokasinya ada di antara Dago dan Cihampelas, dua jalan tersohor di Bandung. Sesuai dengan namanya, Forest Walk Baksil adalah sebuah hutan yang disulap menjadi loka wisata dan ruang bersantai oleh pemerintah kota Bandung. Sebenarnya, hutan BakSil bukanlah hutan yang baru. Sedari saya kecil, hutan nan hijau ini sudah ada. Hanya, waktu itu tidak banyak  orang yang berminat singgah ke sana. Pohon-pohonnya lebat dan jalan di sampingnya gelap. Saya ingat, kalau malam-malam naik motor bersama Papa, biasanya dia akan menghindari jalanan di dekat BakSil. Seram, katanya.

Sekilas Tentang BakSil

Hutan BakSil seluas 3,8 hektar ini sejak masa kolonial dulu memang sudah dianggap sebagai hutan kota. Di dekat hutan juga dibangun Kebun Binatang Bandung yang masih berdiri sampai sekarang. Para arsitek masa itu juga membuat tempat kolam renang bernama Pemandian Cihampelas yang sempat tersohor pada zamannya. Tapi, sayang, pada tahun 2010 pemandian Cihampelas diratakan dengan tanah kemudian dan kini dibangun apartemen tinggi di atasnya. 

Setelah Indonesia merdeka, kawasan hutan kota BakSil mulai diperhitungkan untuk dijadikan kawasan komersial. Pada masa pemerintahan Wali Kota Otje Djundjunan di tahun 1971-1976, kawasan BakSil dijadikan objek wisata dan didirikan restoran Babakan Siliwangi yang menyediakan aneka ragam menu khas Sunda. Sampai saya duduk di bangku SD, restoran ini masih eksis. Masih terbayang di benak saya plang besar restoran yang bertuliskan “Babakan Siliwangi”. Tapi, pada tahun 2003 restoran itu terbakar dan menyisakan puing-puingnya saja, menjadikan BakSil seperti hutan kota yang tak terawat.

Setelah restoran tersebut tutup, kontroversi tentang pemanfaatan BakSil kembali muncul. Ada pihak yang menginginkan BakSil dikomersialkan dengan dibangun fasilitas wisata. Tapi, ada pula yang kekeuh supaya BakSil tetap menjadi hutan kota. Barulah pada tahun 2013 kawasan hutan BakSil dikelola secara penuh oleh Pemerintah Kota Bandung. Dan sejak 2014 dimulailah rencana revitalisasi BakSil untuk menjadi hutan kota yang indah.

Hutan BakSil yang Berubah Muka

Hasil dari proyek revitalisasi yang dilakukan oleh Pemkot Bandung di bawah pimpinan Kang Emil membuat BakSil menjadi hutan kota yang menarik untuk disinggahi. Di dalam hutan BakSil dibangun sebuah jalan layang pedestrian yang membentang di atas tanah, bahasa kerennya dari fasilitas ini adalah Forest Walk, atau sederhananya jalan-jalan di hutan.

Di awal proyek pembangunan, Forest Walk baru dibangun sepanjang 600 meter dan terbagi ke dalam dua lokasi berbeda. Tapi, sekarang, dua titik tersebut sudah disambung sehingga secara total Forest Walk ini memiliki panjang sekitar 2 kilometer. Lumayan panjang bukan?

Jalanan macet menuju BakSil

Baik saya maupun kedua teman yang ikut pergi hari itu, kami semua baru pertama kali singgah ke BakSil. Impresi pertama saat tiba di sini adalah: Wow! Keren!

Dari area parkiran motor dan mobil, kami disambut penjual Cimol, jajanan khas Bandung yang dibuat dari tepung yang digoreng kemudian diberikan aneka bumbu sarat micin. Setelah membeli seplastik cimol seharga 5 ribu, kami memulai penjelajahan di atas Forest Walk.

Forest Walk dibangun menggunakan lantai kayu dan tiang-tiang besi yang dicat berwarna hijau. Di ruang utamanya, terdapat meja-meja dan kursi yang sengaja dibuat supaya pengunjung dapat berpiknik. Tapi, karena waktu kami berkunjung adalah hari Sabtu, maka semua meja itu penuh oleh orang-orang. Bahkan, ada pula yang sampai menggelar tikar dan bercengkrama dengan asyiknya.

Karena kontur tanah di BakSil yang tidak datar, maka Forest Walk pun dibangun menyesuaikan kondisi tanah. Ada jalanan yang menanjak, ada pula yang menurun. Ada yang lurus, juga ada yang meliuk. Meski berjalan-jalan di atasnya itu terasa nyaman, tapi pengunjung perlu waspada. Di tanjakan, lantai kayu ini cukup licin dan kalau alas kakinya sudah aus, bisa dipastikan terpeleset. Dan, meski berjalan di atas fasilitas lantai kayu, ada baiknya memakai alas kaki yang memang pas, kalau tidak sepatu ya sepatu sandal. Jangan pakai high heels! Meski kaki tak menyentuh tanah yang empuk dan basah, anggaplah perjalanan ke BakSil ini seperti perjalanan ke belantara sungguhan.

Berjalan di BakSil ini memang menyenangkan. Suasananya teduh sekali. Sinar matahari sedikit-sedikit menembus kanopi hijau yang lebat. Udaranya juga sejuk. Sembari berjalan, kami mengamati pohon-pohon yang ada di sekeliling. Sret. “Eh, itu ada yang gerak-gerak,” teriak seorang teman saya. Rupanya ada seekor tupai sedang berlari-lari di batang pohon. Meski kecil dan hanya seekor yang muncul, atraksi tupai lewat ini membuat banyak pengunjung heboh. Maklum, di kota jarang sekali lihat tupai berkeliaran bebas.

Selain tupai, berbagai makhluk hidup lain turut berbagi tempat dan bersukacita hidup di BakSil. Ada pohon cemara dan pinus yang tinggi menjulang. Ada pohon beringin lebat dengan akar gantungnya, yang kata orang suka dihuni Mbak Kun..Kun… Ada pula seekor laba-laba besar yang bertengger nyaman di atas jaringnya. Dan, ada pula para sejoli yang asyik berjalan bermesraan, seolah-olah mereka sedang honeymoon di belantara Amazon.

Dikembalikannya fungsi BakSil sebagai hutan kota menurut saya adalah pilihan yang terbaik. Hutan ini mendatangkan kehidupan dan sukacita, tak hanya bagi hewan dan tumbuhan, juga bagi manusia. Terutama bagi manusia-manusia berkantong tipis yang butuh hiburan dan ketenangan batin, seperti saya ini. Hanya, sayang sekali, masih saja ada orang-orang yang tidak menghargai fasilitas yang sudah dibangun mahal ini. Sampah-sampah berupa botol dan kemasan makanan dibiarkan begitu saja oleh pengunjung yang tak tahu diri. Menyebalkan sekali rasanya melihat sampah-sampah ini. Dan, ada satu hal lain yang sedikit mengusik ketenangan BakSil, yaitu hadirnya para pengamen.

Sewaktu kami sedang asyik mengamati hutan, dua orang pengamen datang dan sedikit memaksa supaya kami memberi mereka uang. Huft. Sebenarnya mengamen ya sah-sah saja karena memang semua orang butuh penghidupan. Tapi, alangkah baiknya jika pengelola kelak dapat memberi ruang khusus untuk para pengamen itu, semisal di dekat area piknik. Karena, jika mereka mengamen di jalur pedestrian Forest Walk sepanjang 2 kilometer, tentu perjalanan menikmati hutan itu menjadi kurang asri. Dan, bagi pengunjung yang ingin menikmati ketenangan jadi terusik.

Inilah sekelumit kesan tentang perjalanan di Forest Walk. Jika pulang ke Bandung lagi, saya tentu akan berkunjung ke BakSil.

Informasi detail tentang BakSil:

Harga tiket masuk: Gratis
Harga parkir motor: 3000

Akses naik motor:

Jika datang dari arah jalan selatan Dago: Setibanya di perempatan Dago-Dipatiukur, belok ke kiri, ikuti jalan menuju Sabuga.

Jika datang dari arah jalan Cipaganti: Setibanya di pertigaan antara Cihampelas dengan Ciumbuleuit, beloklah ke kiri. Tak jauh dari situ, ada pertigaan kembali. Jika lurus ke arah Unpar/Punclut, beloklah ke kanan menuju jalanan menurun di tepi Cikapundung. Babakan Siliwangi terletak di sebelah kanan jalan.

Akses angkot:

Jika dari Stasiun Bandung bisa naik angkot Dago Caringin/Cimahi St Hall hingga Istana Plaza. Turun lalu menyeberang, dan ganti dengan angkot rute Cicaheum-Ciroyom dan turun di depan BakSil.

26 pemikiran pada “Menikmati Teduhnya Bandung di Hutan Kota Babakan Siliwangi

  1. Setiap pulang ke Bandung gak pernah kesampaian ingin ke Baksil, ada aja hambatannya..tapi liat postingan ini setidaknya bisa ngilangin rasa penasaran sy..hehe.
    Utk pengamen benar juga harus diberi tempat khusus ya mas…krn akan mengganggu ketenangan jika bebas kesana kemari.

  2. Seger banget viewnya. Forest walk nya juga bikin jalan-jalan makin asyik,Ar. Cuma kurang satu, tempat sampah yang eye catching biar nggak bikin bocor foto, tapi pengunjung jadi mudah buang sampah di tempatnya. Hehe. Bisa nih jadi rujukan tempat piknik kalo mlipir ke Bandung. Jenuh juga kalo main Bandung cuma lihat bangunan tua ama factory outlet. 😀

    1. Nah itu hahaha.
      Tempat ini mengembalikan ‘brand’ Bandung sebagai kota yang hijau, selain sebagai surga belanja hohohho.

      Iya sih. Sepanjang 2 kilo di atas jembatan itu sangat sulit nemu tempat sampah. Tapi ya sebenernya memang pengunjung gak boleh nyampah. Cuma, bberapa orang masih suka asal. Asal nyaman sendiri, lalu nyampah seenaknya.

      Mgkin bisa dicoba sanksi denda di tempat ya oleh petugas, biar kapok hhehee

    1. Ciamis – Bandung mah masih lumayan dik. Haha

      Tapi boleh lah kalau weekend ke Bandung, kau nginap rumahku. Tapi nanti motormu dititip di apartemen depan rumah. Soalnya gang depan rumah gak muat kalo dimasukin motor gede wkwkkw

  3. Saking seringnya naik angkot cicaheum-ciroyom, sepertinya aku paham dimana hutan kota ini 😀 Tp memang bbrp tahun lalu blm sebagus sekarang ya mas? Dulu pas lewat sini sih sepi, kurang dilirik sepertinya.

    1. Wohh!! Wong Semarang bisa ngerti angkot Caheum-Ciroyom wkwk. Keren mas 😀

      Yoi, beberapa tahun lalu itu hutan ini tertutup buat publik mas, karena ada sengketa gitu antara pihak swasta dan pemerintah (waktu itu hutan ini soalnya sempat dikomersialkan).

      Baru nih setelah Kang Emil naik, hutan kota ini jadi milik pemkot dan dibuat fasilitas RTH publik.

      Tapi aku agak sangsi ke depannya tempat ini bisa tetap dipelihara dengan baik kalau tabiat masyarakat yang suka vandalisme dan buang sampah sembarangan tetap ada 😦 Semoga sih tidak terjadi begitu hehehe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s