Tradisi Patekoan: Yang Gratis di Tengah Jakarta yang Serba Berbayar

 

Delapan teko bermotif jadul dipajang di atas sebuah meja yang lokasinya tepat di pinggir jalan raya. Empat teko di sisi kiri, selusin gelas di tengah-tengah, dan empat teko di sisi kanan. Teko-teko itu tidak kosong, semuanya terisi penuh oleh teh tawar hangat.

Bagi saya yang baru pertama kali menelisik kawasan Pecinan Jakarta, teko-teko tersebut mengundang rasa penasaran. Dengan posisinya yang sengaja diletakkan di tepi jalan, saya pikir teko tersebut dijual. Tapi, saya salah. Teko tersebut disajikan untuk siapapun yang ingin minum teh, cuma-cuma pula. Di Jakarta yang segala sesuatunya berbayar, akhirnya hari itu saya menemukan sesuatu yang bisa dinikmati secara gratis.

Ide menyajikan delapan teko tersebut ternyata berasal dari seorang Kapiten Tionghoa yang hidup sekitaran seabad lalu. Kapiten yang bernama Gan Djie itu namanya termashyur dan menjadi cerita lestari yang diturunkan lintas generasi di kawasan pecinan Glodok. Semasa hidupnya dulu, Gan Djie dan istrinya selalu menyediakan teko-teko berisi teh kepada setiap orang yang berteduh dari hujan di depan kantornya.

Ada dua versi mengapa jumlah teko yang disajikan berjumlah delapan buah. Menurut versi sejarah, konon katanya angka 8 adalah angka yang membawa hoki bagi masyarakat Tionghoa. Mengapa disebut angka hoki? Jawabannya karena angka 8 tidak memiliki ujung, artinya rejeki yang mengalir diharapkan tidak berujung juga, alias tak putus-putus.

Kepercayaan bahwa angka 8 itu membawa keberuntungan masih lestari hingga saat ini. Saya ingat, dulu saat tahun 2009 hendak membeli sepeda motor, ayah saya memesan plat nomor yang di dalamnya terdapat angka 8, kombinasi dua angka ganjil, dan dua genap. Menurut kepercayaan ayah saya yang terlahir sebagai keturunan Tionghoa di Sumatra dulu, angka plat nomor yang baik diharapkan akan membawa keberuntungan. Tentunya supaya motor dan pengendaranya dijauhkan dari kecelakaan.

Menurut versi kedua, alias versi saya sendiri, jawaban dari mengapa butuh 8 teko teh adalah supaya banyak. Jika saya membayangkan keadaan waktu itu, pasti yang berteduh di depan kantor Gan Djie tak hanya seorang, bisa jadi selusin, bahkan juga puluhan. Satu teko teh pastilah tak cukup untuk menghangatkan tubuh mereka yang kedinginan karena hujan. Jadilah dibuat delapan teko.

Delapan teko yang selalu disajikan oleh Gan Djie dan istrinya inilah yang menjadi cikal bakal nama daerah Patekoan, sebuah daerah yang sekarang terletak di kawasan Perniagaan, Jakarta. Selain sebagai nama daerah, Patekoan juga menjadi brand nama tersendiri untuk menyajikan teh secara cuma-cuma kepada siapapun yang melintas.

Semangat Patekoan ini kemudian menginspirasi Lin Che Wei untuk meneruskan tradisi memberikan delapan teko teh cuma-cuma ini ke gedung Apotheek Chung Hwa yang terletak di mulut jalan Pancoran, Glodok. Saat ini gedung apotek tersebut masih berdiri gagah, namun telah beralih muka menjadi β€œPantjoran Tea House” yang diresmikan pada tahun 2015 silam.

Selidik demi selidik, jauh sebelum kedai-kedai kopi modern menjamur di kota-kota besar, pada zaman dahulu teh telah lebih dahulu melekat di hati masyarakat. Teh sejatinya bukanlah flora endemik Indonesia. Teh pertama kali dibawa ke Batavia pada tahun 1684 dari Tiongkok oleh seorang Jerman bernama Andreas Cleyder. Teh tersebut berbentuk biji dan digunakan sebagai tanaman hias.

Satu atau dua abad setelahnya, barulah Belanda melirik teh sebagai tanaman yang potensial. Berbagai perkebunan teh digarap di dataran-dataran tinggi Jawa. Seiring waktu, teh yang dahulu merupakan minuman asing menjadi karib dengan lidah warga lokal. Bahkan, walaupun minuman lain mulai bermunculan, teh tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Di setiap rumah makan, entah di gedung atau pinggir jalan, teh selalu tertera di daftar minumannya.

Pada masa itu, teh bukan sekadar minuman yang tersaji di meja makan. Teh menjadi sebuah perekat masyarakat yang ampuh. Ketika orang-orang berteduh di depan kantor Kapitan Gan Djie, delapan teko yang disediakan cuma-cuma tersebut menjadi sebuah kesempatan untuk orang-orang mulai mengobrol dan berinteraksi. Maka, tak heran di atas delapan teko yang saya lihat hari ini terdapat sebuah spanduk yang bertuliskan: β€œSilahkan minum! Teh untuk kebersamaan, teh untuk masyarakat!” Semangat inilah yang coba dihidupkan kembali di depan Pantjoran Tea House. Di tengah Jakarta yang segalanya serba berbayar, teh cuma-cuma yang disajikan ini diharapkan bisa menghidupkan kembali tradisi interaksi antar masyarakat yang dulu pernah terjalin berkat kebaikan hati seorang Gan Djie dan istrinya.

Tertarik menjajal tradisi Patekoan? Silakan datang ke Pantjoran Tea House, Jalan Pancoran No. 6, Glodok setiap harinya.

 

Tulisan ini merupakan bagian pertama dari perjalanan Kelana Jakarta yang menyisiri kawasan Pecinan Glodok.Β 

 

8 pemikiran pada “Tradisi Patekoan: Yang Gratis di Tengah Jakarta yang Serba Berbayar

      1. iya deh kapan-kapan kalau ke kota tua coba mampir. Pernah ke kota tua sekali waktu masih kuliah dan hmmm pengalaman naik krl pertama kali dan turun di jakarta kota yang rame bangettt πŸ˜‘ agak bikin kapok πŸ˜‚

Tinggalkan komentar