Tujuh bulan di Jakarta, rasanya seperti gado-gado. Tawa, suram, sedih, dan marah semua harus dijalani setiap harinya. Jakarta, dengan kemacetan, semerawut, dan berita-berita kriminalnya sering membuatku muak. Tapi, di balik semua itu tersimpan sebuah pengalaman sederhana, juga menyebalkan yang ternyata membuat betah.
Di Jakarta, rumah kost melimpah, ada di mana-mana. Jika mencarinya menggunakan Google, ratusan alamat akan segera terpampang di layar. Tapi, jika pencariannya dikerucutkan menjadi mencari rumah kost yang murah, nyaman, dan aman, maka ceritanya akan lain. Kost semacam itu amat langka ditemukan di sini. Jika ingin nyaman dan aman, biasanya harganya selangit. Jika ingin yang murah, biasanya hasilnya akan suram.
Sebagai seorang perantau dari Jogja, tujuh bulan lalu aku datang dengan harapan mencari kost yang tidak mahal-mahal amat—setidaknya harganya di bawah satu juta. Setelah mencari dengan berjalan kaki, ditemukanlah sebuah rumah biasa yang kamar di lantai atasnya disewakan. Harganya juga bersahabat. Tujuh ratus ribu per bulan, sudah termasuk air dan listrik, plus, lokasinya juga dekat dengan kantor. Tinggal berjalan kaki sepuluh menit saja.
Hari pertama kost, semua terkesan biasa saja. Hari itu, Jakarta diguyur hujan. Jadi, aku belum merasakan panasnya Jakarta yang sebenarnya. Satu minggu itu semua berjalan aman. Cuaca Jakarta tidak panas-panas amat, kipas angin sehat sentosa, juga lampu yang bercahaya terang benderang. Pencobaan sesungguhnya dimulai beberapa minggu setelahnya.
Ibu Sri, si ibu kost. Tiap hari, jika bertatap muka dengannya, minimal 5-10 menit harus diluangkan untuk mendengarkan curhatannya. Segala hal bisa dijadikan bahan cerita oleh ibu kost, mulai dari cerita politik, masa mudanya, hingga perihal dunia akhirat bisa jadi bahan bicara yang tak putus-putus.
“Mas, kalau nanti bapak ibumu datang, wajib bayar 50 ribu satu orang per malam ya,” ucapnya. “Waduh, kok mahal bu?” tanyaku lugu. “Iya dong mas, ini kan bukan di Jawa,” jawabnya terkekeh. Peraturan pertama dari ibu kost adalah siapapun yang dibawa menginap di kamar wajib membayar 50 ribu per malam. Oke lah, untuk peraturan pertama ini aku maklum. Tapi, ada sederet peraturan lainnya yang harus dipatuhi:
Anak kost tidak diperkenankan memiliki kunci kost
Akibat peraturan ini, aku jadi seperti anak SD. Setiap kali ada lembur di kantor, harus menelpon ibu kost supaya pintu tidak dikunci. Pernah dua kali peristiwa, aku sudah menelpon tapi ibu kost lupa dan pintu dikunci. Akibatnya, di tengah malam aku harus balik lagi ke kantor dan tidur di sana.
Mandi hanya boleh menghabiskan air satu tegel
Ada tiga orang yang menumpang kost di rumah ibu, dan hanya ada satu wc yang digunakan bersama-sama. Penggunaan air amat sangat dibatasi. Peraturan kedua ini aku maklum karena memang di Jakarta susah air.
Selain dari dua peraturan tadi, ibu kost juga amat bawel. Telat membayar uang kost satu hari saja, nama kami akan disebut-sebut hingga seluruh penjuru bumi. Anaknya, cucunya, juga penghuni kost yang lain akan diberi tahu jika salah satu penghuni telat membayar. Tapi, jika saat membayar mood ibu kost sedang bagus, biasanya sepiring makanan akan diberikan dengan cuma-cuma. “Mas, lapar gak? Ada makanan di dapur ambil aja,” katanya sambil terkekeh.
Satu hal terakhir yang amat menyebalkan adalah setiap harinya anak dan cucu ibu kost sering mampir. Ketika mereka mampir, dua sepeda motor mereka akan diparkir seenaknya di depan pagar dan menyulitkan tiap motor lain yang akan masuk. Satu kali aku maklum. Dengan susah payah, kucoba pindahkan sendiri dua motor berat yang dikunci stang itu. Tapi, besoknya kejadian serupa terulang. Kucoba bicara baik-baik kepada ibu, anak, dan cucunya namun tidak mempan. Hingga detik tulisan ini ditulis, tetap tidak pengaruh.
Alasan-alasan itu sebenarnya sudah lebih cukup untukku pindah dan mencari kost lain. Tapi, sampai detik ini aku masih enggan pindah karena beberapa alasan:
Aku perlu tetap bersosialisasi
Sepulang kerja, tentu hal yang paling diinginkan adalah istirahat. Badan sudah penat, dan rasanya tidak ingin diganggu oleh hal remeh-temeh lainnya. Tapi, jika itu terus menerus dilakukan aku pikir itu tidak baik. Aku butuh bersosialisasi, bertemu orang lain. Setidaknya, itu melatih diriku untuk tetap tersenyum kepada orang lain.
Setiap pulang, itu adalah kesempatan terbaik untuk mempraktikkan senyum kepada ibu kost. Senyum itu tidak hanya memberi sukacita kepada orang lain, tapi juga berguna untuk diriku sendiri. Aku menghormati orangtua dengan mendengarkan ocehannya. Walau badan ingin cepat-cepat masuk kamar, tapi mungkin saja ibu itu senang ketika ada seorang anak muda yang mau mendengarkan ceritanya.
Aku perlu terus belajar
Belajar adalah perjalanan seumur hidup. Dari kamar kost yang panas tak ber-ac, aku belajar bahwa hidup di Jakarta memang kejam. Ada orang-orang yang bisa tidur dengan nikmat di atas kasur empuk dan udara sejuk, tapi ada pula orang-orang yang harus susah payah hanya untuk tertidur. Di kost yang sederhana ini aku belajar untuk bisa bertahan hidup dalam segala keadaan. Nyaman ataupun susah, sudah sepatutnya aku bertahan.
Sabar itu mahal
Kadang, tiap jam lima pagi, anak ibu kost memutar lagu dangdut amat keras. Rasanya emosi segera memuncak. Tapi, kembali, aku melihat itu sebagai ujian kesabaran dan keberanian. Ketika gangguan datang, aku belajar untuk tidak segera naik darah, tapi mencoba tenang. Kemudian, ketika diri sudah bisa tenang, aku memberanikan diri untuk menegur dengan lembut. Menegur tanpa menggunkan cara “ngajak ribut”.
Di balik menyebalkannya, ibu kost itu istimewa
Suatu hari, ketika aku menjemur puluhan pakaian yang telah susah payah dicuci, hujan turun dengan deras. Waktu itu aku berada di kantor. “Matilah, jemuranku,” pikirku. Jerih lelah mengucek satu malam sepertinya tak berarti, dan jemuranku yang tak dicapit itu pasti sudah terbang ke mana-mana.
Ketika malam hari aku pulang, aku terhenyak. Jemuranku yang jumlahnya banyak itu diletakkan di atas kursi di dalam ruangan. Tak lama, suara ibu kost menyahut dari lantai bawah, “Mas, jemurannya udah tak angkat.” Hari itu aku terharu. Ibu kost ini usianya sudah renta. Naik tanggapun sudah ngos-ngosan, tapi ketika badai datang, dia peduli akan jemuranku yang seharusnya basah-basahan dan terbang diterpa hujan.
Mungkin, suatu saat nanti aku akan pindah ke tempat yang baru. Tapi, untuk saat ini aku mau tetap bertahan di kost ini karena aku sadar, aku masih harus terus belajar dan belajar.
Terima kasih, Jakarta!
23 Juni ’17
Keren.. ini karakter ihu kosnya dinamis.. kirain.. cuman dominan antagonis..
Mas apa sudah baca karya2-nya haruki murakami..
Punya potensi kesana nih mas..
Cerita2.. keseharian.. tapi bisa jadi misteri
Tapi skrg saya sudah tidak ngekos lagi di sana hahaha.
Haruki Murakami saya belum baca mas, bisa jadi rekomendasi yang baik untuk masuk wishlist nanti.
Thank you :))
joker123
joker123
Wah, derita anak kossan banget ye, Bang. Hehehe…
Iya bang, anak kost low-budget lebih tepatnya 😀
Waduh, kok mandi pun airnya dibatasin mas, sabarrr 😅😅
Iya nih. Mungkin karena air PAM ngocornya terbatas kali ya. Tapi untungnya aku kalau mandi hemat air hehehe
Perlu bertemu dengan orang lain, melatih untuk tetap tersenyum. Keren 😃
Iya mas. Itu salah satu misiku selama kerja di Jakarta. Gak boleh sampai hilang empati dan kaku sama orang lain 🙂
Lepas hape, bersitatap dan bersihadap sepenuhnya 😊
oh ini yang sering dishare di instastories ya? hmmm kalau memang sudah agak sepuh jadi ya kayaknya wajar bawel, kali aja sih hehehe
Iya mas wkwkwk. Paling sebelnya sih itu, parkiran motor. Anake kl datang parkire sembarang