Sumatra Overland Journey (4) | Menjejak Langkah di Titik Nol Indonesia

Jam 3 pagi. Tatkala semua penumpang tertidur lelap, bus berhenti mendadak. Mesin bus mogok dan kami tertahan di jalanan sepi kota Bireun, Aceh tanpa tahu harus berbuat apa. Beberapa penumpang mulai gelisah. Ada yang menelepon kerabatnya, ada pula yang mengumpat kesal karena perjalanannya jadi terhambat.

Antara Bireun dan Banda Aceh, terbentang jarak yang cukup jauh. Tidak ada kerabat yang bisa kami hubungi. Jadi, tidak ada pilihan lain untuk kami selain menanti kepastian dari pihak perusahaan otobis. Sekitar tiga puluh menit berlangsung, tatkala sopir bus kami masih sibuk berkoordinasi lewat telepon, sebuah armada bus lainnya tiba.

Penumpang segera berlari menghambur ke arah datangnya bus. Ketika mereka berusaha untuk merangsek masuk, kenek bus mencegahnya. Bus yang baru datang ini tidak sepenuhnya kosong. Hanya tersedia kursi untuk sekitar 20 orang saja. Artinya, sebagian lainnya harus menunggu.

Kami hanya terduduk di pinggiran jalan sambil memeluk kedua ransel yang kami letakkan di atas tanah. Tiba-tiba, sopir bus memanggil kami. “Kalian, naik saja ke bus itu sekarang.” Kami terheran-heran. Apa gerangan yang membuat kami bisa diistimewakan naik ke atas bus yang baru saja datang itu? Tatkala penumpang lain berlomba-lomba masuk ke bus, kami malah mendapatkan undangan ‘vip’. Sopir menjanjikan ada bus kedua yang akan datang kepada penumpang lainnya yang tidak terangkut.

Pagi-pagi buta di daerah yang tidak dikenal adalah pengalaman yang menegangkan. Hari itu, adalah kali pertama kaki kami menjejakkan langkah di provinsi Aceh, sebuah provinsi yang selama beberapa tahun dikoyak oleh konflik antara pemerintah Indonesia dengan gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari republik. Bertahun-tahun setelahnya, tatkala keadaan berangsur damai, akhirnya kami menyaksikan sendiri seperti apakah geliat provinsi di ujung barat Indonesia ini.

Ketika bus memasuki gapura selamat datang di Banda Aceh, senyum kami merekah. Perjalanan nan panjang menuju Pulau Weh akhirnya semakin mendekati garis akhir. Banda Aceh bukanlah tujuan utama kami hari itu, melainkan hanya sebagai tempat transit sebelum kami menaiki ferry yang berangkat pukul 14:00 dari pelabuhan Ulee-lheue.

Puluhan pria yang adalah pengemudi ojek dan taksi segera merangsek ke dalam bus. Tak hanya berteriak, mereka juga menarik-narik tiap penumpang untuk menggunakan jasa mereka. Penumpang acuh tak acuh, mereka menghambur keluar terminal berjalan kaki kemudian memilih dijemput oleh kerabatnya masing-masing. Melihat ransel yang besar dan wajah kami yang asing, tukang ojek itu segera mengerubungi kami. Gelengan kepala dan kata “Tidak”, tidak cukup untuk melepaskan diri dari mereka. Tiba-tiba, seorang lelaki berperawakan kecil menarik lenganku. “Mas Ary, ya?” tanyanya. Segera, aku mengenalinya. Dia adalah Trinopi, seorang relawan yang sebelumnya kami bertukar pesan.

Mas Tri, demikian panggilannya, mempersilahkan kami menaiki mobil kolt buntungnya. Ransel-ransel kami diletakkan di belakang sedangkan kami duduk di depan. Kami amat beruntung karena bisa menemukan Mas Tri. Satu hari sebelumnya, rekanku di Bandung memberiku kontak Mas Tri. Katanya, Mas Tri tinggal di Aceh dan bekerja sebagai relawan, siapa tahu bisa menolongku selama di sana.

Kolt buntung L-300 milik Mas Tri.
Bersama Mas Tri.

Sambil mobil membelah jalanan Banda Aceh, Mas Tri bertutur banyak tentang kehidupannya di Aceh. Logat bicaranya yang tegas perlahan meluntur dan berubah menjadi bahasa Jawa. Rupa-rupanya, Mas Tri adalah orang Solo yang terpanggil untuk melayani dan bekerja di tanah Aceh. Ketika bencana Tsunami melanda Aceh, Mas Tri merasakan ada dorongan di hatinya untuk menolong korban-korban di sana. Keinginan hatinya terwujud. Beberapa tahun setelahnya, ia bertolak ke Aceh dan bekerja di sebuah koperasi yang ditujukan untuk membantu usaha kecil dan menengah korban-korban tsunami dari keterpurukan.

Di sebuah kontrakan mungil, Mas Tri dan keluarga bernaung. Kami disuguhi rupa-rupa makanan sederhana oleh istrinya. Rumah Mas Tri merupakan salah satu kawasan yang terdampak paling parah akibat tsunami. Lokasinya hanya selemparan batu dari pantai. Dulu, dekat kediamannya, beridiri Rumah Sakit Meuraxa. Tapi, sekarang semua sudah tersapu bersih. Tak ada lagi bangunan tinggi yang tersisa.  

Selepas makan siang, Mas Tri mengantarkan kami ke pelabuhan Ulee-Lheue, tempat keberangkatan ferry menuju Pulau Weh. Ada dua jenis kapal yang tersedia. Kapal cepat dibanderol seharga Rp 80.000,- per orang dan hanya memakan waktu satu jam untuk tiba di Pulau Weh. Kapal cepat terlalu mahal buat kami, jadi pilihan kedua yang kami ambil. Kapal ferry dibanderol dengan harga Rp 25.000,- per orang dan membutuhkan waktu tiga hingga empat jam.

Di bagian bawah ferry, puluhan mobil, motor, dan truk-truk sembako diparkir berhimpit, nyaris tak menyisakan ruang sedikitpun. Ketika kendaraan roda empat sudah terparkir sempurna, barulah motor-motor mengisi ruang-ruang sempit. Ketika kapal penuh, sauh diangkat, dan daratan utama Sumatra perlahan-lahan menghilang dari pandangan kami.

Setelah berpanas-panas, kami memilih duduk di dek teratas ferry.

Kota Sabang adalah ibukota kabupaten dari Pulau Weh. Namun, berkat lagu yang berjudul “Dari Sabang Sampai Merauke,” nama Sabang jadi lebih dikenal ketimbang Pulau Weh itu sendiri. Sepanjang pelayaran, lautan amat biru terhampar luas. Kapal bergoyang ke kiri dan ke kanan. Beberapa penumpang yang takut terduduk diam sambil berpegangan. Ada juga yang melafalkan doa-doa sambil memejamkan mata. Kami duduk di dek paling atas dan membiarkan angin laut menerpa tubuh kami.

Mas Tri sempat memberi kami kontak seseorang yang katanya bisa menyewakan sepeda motor di Sabang. “Halo Bang, dengan persewaan motor ya? Saya mau sewa satu motor berapa ya?” Aku mendadak kaget ketika mendengar suara di seberang telepon menjawab. “800 sehari”. “Hah?! Gak salah?!” nada bicaraku meninggi, seolah tidak percaya kalau sewa motor dihargai amat mahal. Setelah bernego cukup lama, kesepakatan tidak tercapai. Kututup telepon itu dan pasrah. Semoga saja nanti di pelabuhan ada persewaan motor.

Berlayar menuju Pulau Weh. Bukit-bukit di daratan utama Sumatra semakin lama semakin tampak mengecil.

Ransel kami adalah pembeda kami dari penumpang lainnya. Ketika kapal berlabuh dan pintunya dibuka, kami segera disergap oleh puluhan orang. “Where are you going? Cheap homestay, rent motorbike…bla..bla” ucap mereka sambil terus mengikuti kami. Sejujurnya, keadaan seperti ini membingungkan. Kami tidak tahu apa-apa tentang destinasi yang sedang dituju, tapi, kami juga takut apabila ada niat menipu di antara mereka.

Kami terus berjalan dan menggelengkan kepala kepada tiap tawaran yang datang. Tepat di seberang pelabuhan, ada sebuah pondok kecil yang tertulis persewaan motor. Seorang lelaki muda berkacamata hitam duduk di atas motor dan menyambut kami. Dia mematok harga Rp 150.000,- untuk penyewaan selama sehari semalam. “Loh, kok harganya murah ya?” gumamku dalam hati. Selidik demi selidik, ternyata terjadi kesalahan komunikasi ketika aku menelpon. Di Sabang, untuk menyebut sepeda motor, orang-orang di sini menyebut “Honda”, bukan “motor”. Motor yang kusebut dalam percakapan di telepon itu diartikan oleh lawan bicaraku sebagai mobil. Jelas saja harganya membengkak!

Sesaat sebelum kapal berlabuh, bukit-bukit di Pulau Weh adalah suguhan yang menarik untuk dipandang.

Cukup alot bernego dengan si lelaki ini. Segala jurus sudah kucoba. Dari jurus sok tahu sampai memelas. Kami bersikukuh ingin mendapatkan harga sewa 50 ribu per hari, tapi dia kekeuh ingin 100 ribu. Kami menyerah dan berjalan meninggalkannya. Baru beberapa detik melangkah, dia memanggil kami lagi. Kali ini harga yang ditawarkannya adalah harga tengah-tengah. “75 ya?” pintanya. Aku melirik kepada Johannes. Dia mengangkat pundaknya dan berkata, “Not bad.” Setelah negosiasi yang panjang, sebuah motor Yamaha Mio-J menjadi milik kami selama lima hari. Sekalipun harganya di atas permintaan kami, tapi kami puas. Motor ini masih anyar dan nyaman dipakai. Biaya sewa itu tidak termasuk dengan fasilitas helm. “Motoran di Sabang gak perlu helm bang,” ucap si pemilik motor sambil terkekeh. Hmmm. dalam hati aku berdoa supaya selamat sentosa dan jangan sampai ada kecelakaan apapun.

Petualangan mencicipi surga

Hati kami girang bukan kepalang. Sejak kali pertama menjejak kaki di Sumatra, kami belum melihat laut. Sabang begitu indah. Rasa-rasanya, kata-kata pun tak mampu melukiskan betapa indahnya alamnya. Jalanan aspal nan mulus meliuk-liuk membelah bukit, sementara itu di sampingnya terhampar panoram lautan nan tenang dan luas. Sabang adalah wilayah yang ‘selamat’ dari terjangan tsunami 2004 karena konturnya yang berbukit. Tapi, bantuan internasional datang silih berganti dan hasilnya adalah infrastruktur yang dibenahi. Sekalipun kendaraan yang melintas amat jarang, tapi jalanan di Sabang nyaris tanpa lubang, mulus tak bernoda.

Destinasi utama kami di Sabang adalah pantai Iboih yang terletak sekitar 45 kilometer dari pelabuhan Balohan. Berdasarkan referensi dari Lonely Planet, pantai Iboih disebutkan sebagai pantai paling eksotik di Sabang. Kami tidak sabar untuk segera melihat pantai yang katanya terbagus itu. Tapi, saat kami berkendara melintasi belantara, kami dicegat oleh sekelompok ‘begal’. Tapi, ‘begal’ ini bukanlah manusia, melainkan sekelompok monyet-monyet hutan yang setiap sore kerap turun ke jalanan.

Jalanan di Pulau Weh, meliuk anggun menuruni bukit.

Awalnya kami biasa saja, tapi, ternyata monyet itu agresif. Ketika kami melintas, beberapa dari mereka mengejar motor kami. Untung tidak ada satupun dari mereka yang berhasil mengejar. “Crazy monkeys!” celetuk Johannes.

Setibanya di Iboih, kami terpana akan panorama yang memanjakan mata. Lautannya amat tenang dan bening. Posisi Iboih yang dilindungi oleh Pulau Rubiah menjadikan pantainya terlindung dari ombak samudera yang besar. Kami bisa melihat dengan jelas ikan-ikan berenang dan menyelinap di sela-sela batu karangnya.

Soal penginapan, kami amat beruntung karena mendapatkan penginapan seharga Rp 50.000,- per malam. Penginapan ini merupakan sebuah rumah panggung kayu yang berdiri di pinggiran bukit. Walau harganya murah dan fasilitasnya amat sederhana, tapi, soal pemandangan tidak ada taranya. Ibarat di resort-resort mewah, di depan pintu kamar kami terhampar lautan yang amat jernih, sebening kaca. Setiap pagi dan sore kami bisa langsung menceburkan diri dan snorkenling, ataupun sekadar tidur sambil mengayun di atas hammock.

Penginapan yang kami tempati seharga Rp 50.000,- per malam.
Suasana di Gampong Iboih ketika senja.

Lima hari di Sabang adalah surga. Sinyal ponsel sekarat dan listrik sering tewas beberapa kali dalam sehari. Tapi, siapa peduli akan sinyal dan listrik ketika berada di surga?

Untuk kebutuhan konsumsi, kami membeli makanan di sebuah warung bernama Mamamia. Warung ini kecil, hanya memuat 6 orang saja. Seorang nenek tua setiap hari memasak aneka makanan, dan setiap pagi kami harus mencatat nama kami untuk dibuatkan makan malam. Untuk satu kali makan, kam dipatok harga Rp 25.000,- sepuasnya. Betul, sepuasnya. Jadi, kalau nasinya kurang, kami bisa ambil semau kami sampai perut menggembung.

Hamparan lautan biru di Titik Nol Indonesia.

 

Pantai Iboih. Inilah pemandangan yang tersaji tepat dari depan penginapan kami. Sungguh menakjubkan, bukan?

Dari pantai Iboih, terdapat jalanan aspal nan mulus yang jika ditelusuri akan membawa kita ke tugu Titik Nol Indonesia. Di tugu itulah, jalanan aspal di titik paling barat Indonesia bermula. Tatkala kami singgah di tugu itu, tak ada satu orangpun selain kami. Waktu itu tugu belum sepenuhnya selesai direnovasi, tapi kami tetap bisa mengambil foto di sana. Sebenarnya, Pulau Weh bukanlah titik nol yang sesungguhnya. Agak ke barat lagi, terdapat sebuah pulau benama Rondo yang adalah pulau terbarat. Tapi, pulau itu kecil dan tak berpenghuni, hanya digunakan sebagai pangkalan militer saja oleh tentara. Dari tugu titik nol ini, teritorial lautan Indonesi berbatasan langsung dengan laut bebas di Samudera Hindia, dan teritori India di laut Andaman. Sejauh mata memandang, hanya lautan biru pekat menghampar.

 

Bersambung…

6 pemikiran pada “Sumatra Overland Journey (4) | Menjejak Langkah di Titik Nol Indonesia

  1. Wkwkw diserang kera juga rupanya, saya juga…4 kali melintas jalan itu hanya satu kali saja yang tidak dicegat rombongan kera itu, sempat celana kena cakar, untung gas motornya masih lumayan bertenaga, hhahaha

    Aku dulu nginepnya di daerah kota, dapat harga kamar 150.000/ malam, sudah AC, bisa dipakai 6 orang pula kamarnya. ahahah

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s