Argo Parahyangan: Dulu Terabaikan, Kini Jadi Primadona

Sebagai orang Bandung yang bekerja di Jakarta, untuk urusan bepergian di antara kedua kota ini saya lebih memilih menaiki kereta api. Ada beberapa kelebihan yang bisa didapat dari kereta api, antara lain: tarifnya bersahabat, waktu tempuhnya yang tidak lama-lama amat, dan tentunya bebas macet.

Sewaktu awal pindah ke Jakarta dulu, sebenarnya kereta api ke Bandung bukan pilihan transportasi yang saya lirik. Saya tinggal di Kalideres, dan untuk naik kereta api harus pergi dulu ke Stasiun Gambir yang jaraknya 18 kilometer. Sedangkan, jika saya naik travel, cukup pergi ke Daan Mogot. Tak sampai satu jam, sudah tiba di terminal pemberangkatan.

Tapi, walaupun secara jarak lebih dekat ke tempat pemberangkatan travel, perihal waktu tempuh menjadi kendala. Jika kereta api mampu melibas 166 kilometer jarak antara Jakarta-Bandung dengan 3,5 jam, travel lain cerita. Kecepatan dan ketepatan waktu naik travel sangat bergantung dengan kondisi jalan tol Jakarta-Cikampek. Satu peristiwa yang membuat saya kapok naik travel adalah ketika jarak Jakarta-Bandung via tol yang seharusnya bisa ditempuh kurang dari 3 jam membengkak jadi 10,5 jam! Waktu itu, sejak pukul 18:00 travel yang saya tumpangi sudah berangkat dan terjebak macet di tol dalam kota. Dengan macet yang luar biasa parahnya, akhirnya saya baru tiba di Bandung pukul 04:30. Melelahkan rasanya, dan tentunya juga menyebalkan.

Kemacetan “abadi” yang bercokol di jalan tol Jakarta-Cikampek adalah imbas dari dibangunnya dua proyek sekaligus: proyek LRT dan jalan tol layang. Berdasarkan data statistik yang dilansir di Detik.com jalan tol Jakarta-Cikampek adalah salah satu jalan tol terpadat di Indonesia dengan jumlah kendaraan yang melintas sebanyak 6,74 juta setiap bulannya.

Imbas dari kemacetan ini adalah kereta api kembali dilirik oleh masyarakat. Jam keberangkatan pun bersemi, bertambah banyak. Saya jadi ingat, ketika Tol Cipularang dibuka pada 2004 dahulu, eksistensi layanan kereta api yang digerakkan oleh KA Argo Gede dan Parahyangan pun meredup. Penumpang semakin sepi karena banyak yang beralih ke transportasi ban karet. Hingga akhirnya pada 2007, layanan kereta Argo Gede (Full Eksekutif) dan Parahyangan (Bisnis dan Eksekutif) pun tutup usia dan dilebur menghasilkan layanan KA baru dengan nama Argo Parahyangan yang terdiri dari rangkaian kelas eksekutif dan bisnis.

Gara-gara Argo Parahyangan

Hadirnya Argo Parahyangan di layanan perkeretaapian menimbulkan distraksi. Loh kok begitu? Nama “Argo” adalah brand khusus dari PT. KAI untuk menamai kereta-kereta dengan kelas wahid, alias full eksekutif. Misalnya, Argo Bromo Anggrek lintas Gambir-Surabaya Pasar Turi; Argo Lawu dan Dwipangga lintas Gambir-Solobalapan; Argo Muria dan Sindoro lintas Semarang Tawang-Gambir. Rangkaian argo bisa dibilang adalah kereta “wah” karena kelasnya yang semua eksekutif dan waktu tempuhnya yang lebih singkat.

Namun, hadirnya Argo Parahyangan membuat brand “argo” itu sendiri menjadi tidak lagi konsisten. Jika dulu argo adalah kereta dengan rangkaian full eksekutif, argo parahyangan malah hadir dengan menggandeng kelas bisnis di rangkaiannya. Bahkan sekarang, kelas bisnis di argo parahyangan telah turun kelas menjadi ekonomi.

Waktu tempuh KA Argo Parahyangan

Pada awal kemunculan Cipularang, jarak Bandung-Jakarta dan sebaliknya bisa ditempuh dengan sekitar 2-3 jam saja karena waktu itu kondisi jalan tol belum semacet sekarang. Akibatnya, perusahaan travel pun menjamur. Mereka menawarkan opsi bepergian dari dan ke Jakarta yang lebih mudah karena titik pemberangkatan yang lebih beragam. Di sini, travel jelas unggul dari kereta api, mengingat kereta hanya berhenti di Jatinegara dan Gambir. Jika seseorang ingin pergi ke Kemang, Jakarta Selatan, tentu jarak yang harus dia tempuh dari Gambir masih lumayan jauh. Jika naik travel, dia bisa turun di Blok-M, yang notabene lebih dekat.

Kereta api berkelok di jalur antara Cikadongdong-Cilame

Perjalanan kereta api dari dan menuju ke Jakarta tetap konstan di kisaran 3-3,5 jam, walaupun dulu Argo Gede diklaim bisa memangkas waktu hingga 2,5 jam. Mengapa begitu? Karena, jalur kereta api yang dibangun di lintas Purwakarta-Padalarang memiliki medan yang cukup sulit. Pada lintasan ini, jalur kereta dibangun dengan melibas perbukitan yang menanjak, membelah jurang yang tersambung jembatan, dan menelusuri perut bumi melalui terowongan Sasaksaat. Pada jalur dengan kontur menanjak dan berliku-liku, kecepatan kereta api tidak bisa maksimal. Hanya sekitar 40km/jam agar kereta tidak selip ataupun anjlok. Tapi, jalur ini punya kelebihan, yaitu panoramanya yang sangat ciamik!

Jalur lintas Padalarang-Purwakarta-Karawang adalah jalur yang diinisiasi oleh Staats Spoorwegen, perusahaan kereta milik pemerintah Hindia Belanda. Jalur ini dibangun pada kisaran 1900-1906 sebagai alternatif penyingkat waktu dari Batavia menuju Bandung. Sebenarnya, saat itu sudah ada jalur kereta menuju Bandung ke Batavia dan sebaliknya. Hanya, jalur tersebut melewati Cianjur, Sukabumi, dan Bogor. Untuk mempersingkat waktu, dibangunlah jalur baru yang membentang dari Karawang menuju Padalarang.

Dengan jalur baru ini, jarak Batavia Bandung menjadi lebih pendek, yaitu 166 kilometer. Lebih pendek 42 kilometer dibandingkan jarak via Bogor (208 km). Di lintasan Batavia-Bandung via Karawang-Padalarang, 56 kilometernya adalah jalur ekstrem yang memotong pegunungan. Sebagian dari objek di jalur ini adalah rekor yang masih dipegang hingga hari ini. Jembatan Cisomang adalah salah satu jembatan kereta api tertinggi di Indonesia. Dan, jembatan Cikubang adalah jembatan kereta api terpanjang di Indonesia dengan panjang 300 meter (Dulu ada jembatan Cikacepit yang jauh lebih panjang di jalur Banjar-Cijulang, tapi pada medio 1970-an jalur ini sudah ditutup).

Pembangunan Jembatan Cikubang.  Sumber: Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures [CC BY-SA 3.0 (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0)%5D, via Wikimedia Commons
Jembatan Cikubang setelah selesai pembangunan. Sumber: Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures [CC BY-SA 3.0 (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0)%5D, via Wikimedia Commons

Tol Cipularang terlihat jelas dari kereta saat melintasi Jembatan Cikubang.
Jembatan Cikubang di era modern. (Foto diunggah atas seizin fotografer; sumber: http://www.railpictures.net/viewphoto.php?id=552287)
Rel kereta api dibangun mengitari punggung-punggung bukit. Dari ketinggian, penumpang dapat melihat jalan tol Cipularang

Saat ini, di lintasan Padalarang hingga Stasiun Cikadongdong masih menggunakan jalur tunggal karena medan yang sulit untuk dibangun jalur kedua. Sedangkan, dari stasiun Cikadongdong hingga ke Purwakarta dan seterusnya telah tersedia jalur ganda. Sehingga, kereta api di petak ini tidak perlu tunggu bersilang untuk berbagi rel.

Buat saya pribadi, menaiki kereta api Argo Parahyangan setiap kali ke Bandung atau Jakarta itu bukan sekadar duduk di atas kereta, tetapi sebuah perjalanan tapak tilas di hasil mahakarya masa lalu yang bertahan hingga saat ini. Ketika mendengar kabar akan dibangunnya jalur kereta cepat, secara pribadi saya merasa sedih. Rasanya tidak ikhlas apabila kehadiran jalur baru kereta cepat tersebut nantinya akan membuat jalur kereta lama yang sarat sejarah tinggal menjadi kenangan.

Rupa Argo Parahyangan Sekarang

Seperti kehidupan yang terus bertumbuh, demikian juga dengan kereta api. Rangkaian kelas bisnis yang sebelumnya ada di Argo Parahyangan sejak 2016 telah diubah menjadi kereta kelas ekonomi keluaran tahun 2016. Kesan menaiki kereta ekonomi ini sebelumnya sudah pernah saya tuliskan di sini.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penumpang di lintas Jakarta-Bandung, maka jadwal KA Argo Parahyangan pun bertambah. Terakhir, pada angkutan Natal 2017, jumlah perjalanan Argo Parahyangan melonjak drastis mencapai 26 kali perjalanan per hari! Padahal semula hanya dijadwalkan 13 kali perjalanan per hari.

Jika biasanya saya selalu pulang ke Bandung naik kereta pukul 20:00 di hari Jumat, kemarin (29/01) saya mencoba sensasi baru. Sengaja, saya memilih untuk pulang di Sabtu pagi. Alasannya, supaya perjalanan lebih santai (kalau Jumat malam sangat padat), dan saya ingin mencoba kereta api Argo Parahyangan Tambahan yang menggunakan rangkaian idle Sembrani.

Khusus untuk kereta api Argo Parahyangan Tambahan keberangkatan 07:15 dari Gambir (Hanya tiap akhir pekan), kereta api menggunakan rangkaian Sembrani yang sebelumnya melayani lintas Gambir-Surabaya Pasar Turi. Sebelum menunggu keberangkatan kembali ke Pasar Turi dari Gambir pukul 19:15, rangkaian Sembrani ini berkamuflase menjadi Argo Parahyangan Tambahan.

Rangkaian KA Argo Parahyangan selalu dihela menggunakan lokomotif CC206, lokomotif anyar PT.KAI buatan GE yang biasanya dirangkaikan pada kereta kelas eksekutif di Jawa

Berbeda dari rangkaian eksekutif di Argo Parahyangan lain yang umumnya menggunakan kereta dengan usia tua, rangkaian eksekutif terbaru di Argo Parahyangan Tambahan adalah rangkaian eksekutif terbaru produksi 2016, baru dua tahun usianya. Kesan pertama saat melihat rangkain ini adalah minimalis namun mewah. Jarak antar kursi cukup lega sehingga bisa menyelonjorkan kaki. Kaca-kaca juga terlihat jernih sehingga bisa melihat pemadangan luar tanpa terganggu. Suhu pendingin udara juga pas, tidak panas, tapi juga tidak terlalu dingin. Dan, goncangan di dalam kereta pun tidak terlalu keras.

Untuk perjalanan kali ini, saya membayar tiket seharga Rp 125.000,-. Harga yang mirip dengan tarif layanan travel. Tapi, naik kereta api tentunya bebas macet. Dan, kalau mau pipis, tidak harus ke pom bensin dulu karena di dalam kereta tersedia toilet.

Selain Argo Parahyangan Tambahan, bagi teman-teman yang ingin bepergian ke Bandung juga bisa menikmati layanan Argo Parahyangan lainnya. Berikut ini rincian-nya untuk keberangkatan dari Gambir (KA Argo Parahyangan saya singkat menjadi Gopar):

No. KA Jam Berangkat Tarif (maks) Keterangan
20 05:15 Ekonomi: 80.000

Eksekutif: 125.000

Rangkaian biasa
7062 06:15 Bisnis: 90.000 Kereta tambahan
7052 07:15 Eksekutif: 125.000 Kereta tambahan rangkaian eksekutif 2016 (idle Sembrani)
10554 07:50 Ekonomi: 90.000 Rangkaian Premium (tentative; biasa jalan di weekend)
22 08:45 Eksekutif: 125.000

Bisnis: 95.000

Ekonomi: 70.000

Kereta idle rangkaian Harina (tidak jalan saat weekend)
24 10:30 Ekonomi: 80.000

Eksekutif: 125.000

Rangkaian biasa
32 11:30 Eksekutif: 125.000

Bisnis: 95.000

Ekonomi: 70.000

Kereta idle rangkaian Harina (jalan saat weekend)
34 12:35 Eksekutif: 125.000 Kereta idle rangkaian Turangga
26 15:30 Ekonomi: 80.000

Eksekutif: 125.000

Rangkaian biasa
10424 18:00 Ekonomi: 90.000 Rangkaian Premium (tentative; biasa jalan di weekend)
28 18:45 Ekonomi: 80.000

Eksekutif: 125.000

Rangkaian biasa
30 20:00 Ekonomi: 80.000

Eksekutif: 125.000

Rangkaian biasa
7050 23:20 Ekonomi: 80.000

Eksekutif: 125.000

Kereta tambahan; rangkaian biasa

Rincian di atas dapat berubah sewaktu-waktu tergantung dengan keadaan dan kebijakan dari PT. KAI. Untuk informasi lebih detail, silakan langsung mengaksesnya di Kai.id

Pada akhirnya, sebuah negeri yang baik adalah negeri yang mampu membangun jaringan transportasi komunal dengan mapan. Kereta api adalah salah satu bagian dari transportasi komunal itu. Hadirnya kereta api tentu dapat mengurangi beban kepadatan jalan raya.

Jika dahulu Argo Parahyangan menjadi kereta yang terabaikan, kini namanya kembali terangkat. Ia menjadi pilihan bagi mereka yang suka wara-wiri Jakarta Bandung, primadona lama yang kembali berseri. Cobalah pesan tiket kereta Argo Parahyangan di kala weekend, pasti sudah penuh sejak jauh-jauh hari!

Selamat naik kereta!

Salam Nyepur!

Referensi:

Raap, Olivier Johannes. 2017. Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

23 pemikiran pada “Argo Parahyangan: Dulu Terabaikan, Kini Jadi Primadona

  1. Dulu sekitar 1987-an, aku pernah naik KA Parahyangan 2 jam 15 menit. Itu jadwal terakhir jam 19.00 dari jatinegara, tiba di st. Hall Bandung 21.15. Nyaris tanpa hambatan karena kereta meluncur dng kecepatan tinggi hingga berguncang cukup keras di koridor jatinegara – cikampek – purwakarta.

  2. Kini Gopar jadi KA dengan varian kelas terbanyak, dari K1 biasa, K1 16, K1 SS, K2, K3 106 seat, K3 16, K3 premium. Minus K3 dephup aja haha..

  3. Sebagai orang yang tinggal jauh dari bunyi rel kereta, tiap kali ke Bandung lewat Jakarta, saya selalu naik kereta api ini, suka lihat pemandangannya dari dalam jendela 🙂

  4. Jalur Kereta Bandung Jakarta memang keren, apalagi kalau milih seat kanan dekat jendela.
    Oktober kemarin liburan bandung di Jakarta, nyobain kereta Argo Prahyangan, nyaman dan bersih ber AC lagi. Pokoknya recomended banget lah.

  5. Sama, mas. Aku sering bolak-balik Jakarta, terutama periode 2015-2016 karena… LDR. Baique. Selain itu juga suka ada acara blogger atau sekedar mengejar pesawat menuju bangsa-bangsa (ya elah bahasanya).

    Dulu, travel jadi jagoanku. Lha wong kosanku di Pasteur, mau naik Sinar Shuttle (Rp 90rb), Baraya, M Go (sekarang Lintas Shuttle), X Trans, Cititrans, Daytrans, semua tinggal ngesot. Saat itu harga kereta masih di kisaran Rp 100.000,00 ke atas, ditambah ongkos angkot menuju stasiun Bandung dan dari stasiun Gambir / Manggarai / Jatinegara menuju tujuan di Jakarta. Otomatis, travel jadi idaman.

    Aku beralih ke kereta saat KAI marak memberikan subsidi dan promo. Apalagi, seperti alasan di atas, proyek LRT dan tol layang membuat kemacetan tol membengkak. Bus nggak pernah jadi pilihan. Cuma sekali, dan kapok. Jalannya lambat, nggak terlalu nyaman, dan masih harus disambung dengan angkot dari Leuwipanjang ke Pasteur yang jauhnya alayhim gambreng.

    Aku pengen ih staycation di desa-desa samping rel jembatan Cikubang itu. Ada penginepan nggak ya? atau bisa stay di rumah warga? Yuk, mas.

    1. Wiihihhihi. LDR-nya Bdg-Jakarta ya hehehe.

      Kalau aku sebenarnya dari dulu memang lebih suka kereta api. Tapi, berhubung akses ke stasiun yang cukup jauh jadi aku sempat berpaling sejenak ke transportasi ban karet, sampai akhirnya aku kembali ke ban besi hahahha.

      Kepengen sih mas hunting foto, atau setidaknya duduk bengong liatin kereta aja udah senang. Tapi untuk trip semacam ini, tentu lebih baik kalau ada railfans beneran yang ikut hehehe

  6. Memang salah satu yang disuka naik kereta api ya pemandanganya itu, view otentik yang gak dipunya moda transportasi lain,
    Dulu pernah naik dari Kiaracondong ke Jogja, kereta jam 5 pagi, pas lewar garut…beeeuuuh….sunrise dengan siluet topografi yang masih selalu saya ingat hingga kini.

Tinggalkan komentar