Kawan di foto ini namanya Bernadeta Agustina, kerap disapa Deta, anak Fisip angkatan 13 yang pernah jadi rekan sekerja selama dua tahun di HMPSKom dan KKP. Deta itu orangnya tidak bisa diam. Kalau ada waktu luang, bukannya istirahat di kos, dia pasti akan cari kegiatan; entah ikut lomba, ikut kepanitiaan, atau cari kerja sambilan. Pokoknya, di mata saya, Deta itu cocok menyandang gelar sebagai “Miss Sibuk”.
. .
Kemarin, Miss Sibuk ini mengirimi saya chat. “Tok, aku takut, besok sidang,” katanya. Dia panik karena tidak yakin kalau skripsinya cukup baik untuk diuji. Di tengah kepanikan itu, dia ingin berdoa tapi bingung apa yang mau didoakan. Jadi, jelang tengah malam, saya menemaninya berdoa lewat sambungan telepon, memohon yang Ilahi untuk berkehendak. .
.
Hari ini, Deta si Miss Sibuk telah lulus, sah menjadi sarjana dengan gelar di belakang namanya. Tentu ini adalah anugerah dan pencapaian atas kerja kerasnya yang luar biasa dan sebagai rekan sekerjanya dulu, saya turut bangga. Tapi, yang terlebih membuat saya terkesan adalah bagaimana Deta mengenal betul dirinya. Dia tahu dia sibuk, dia tahu sibuknya akan membuatnya lulus lebih lama. Tapi, dia juga tahu kalau dia punya strategi untuk menghidupi hidupnya. Dan, salah satu strategi itu adalah menyerahkan dirinya kepada Tuhan. .
.
Selamat menjadi sarjana, Det!
Awal yang baru telah dimulai.
Puncak Suroloyo. Motoran jam tiga pagi, nahan dingin dan kantuk, dilanjut jalan naik ratusan anak tangga yang bikin ngos-ngosan, dan dibayar lunas dengan pemandangan ini. Matahari perlahan naik, angin dingin semilir, suasananya tenang dan aromanya sedikit magis karena ditambah aroma dupa dari orang-orang yang meminta wangsit waktu tengah malam. Satu kata yang tepat untuk menggambarkan suasana pagi itu adalah: syahdu. Dan emosi yang muncul karena mengunggah foto ini adalah: mau pulang ke Jogja 😢
.
.
#Suroloyo #Yogyakarta #Indonesia
#Travel #Journey #Landscape #Mountain #Paradise #JalanCerita
Awalnya saya tidak ingin naik perahu karena alasan kantong. "20 ribu aja bang, ayok naik," kata Karim, nelayan di Sunda Kelapa yang kalau siang alih profesi jadi ojek perahu. Angka 20 ribu itu terasa magis, niatan saya berubah, dari ingin jalan kaki jadi duduk santai di atas perahu kecil.
.
.
Rupanya naik perahu sore-sore di Sunda Kelapa adalah pilihan yang bagus. Di kanal sepanjang 800 meter, Karim bertutur tentang pelabuhan ini dari perspektif seorang nelayan. Katanya, sekarang pelabuhan berdebu ini jadi terkenal, banyak anak muda datang ke sini. Tapi, kebanyakan cuma foto-foto dan tidak naik perahu. Sore itu saya adalah penumpang pertama Karim dan selembar rupiah hijau yang nanti saya berikan adalah lembaran pertama yang masuk ke kantongnya dari jerih lelah sore itu. Setelah setengah jam dan perjalanan usai, saya mengajak Karim berfoto, tapi dia menolak. "Saya nggak biasa dipotret. Jangan." .
.
Karim dan Sunda Kelapa adalah potret Jakarta yang tersamarkan dari himpitan hutan beton yang makin menjulang. Ibukota boleh terlihat modern dan makmur di satu sisi, tapi di sisi lainnya, ada tengara masa lalu dan kemiskinan yang perlu dientaskan.
.
.
#SundaKelapa
#Jakarta #Batavia #Indonesia #Traveling #JalanCerita #JelajahJakarta
Salah satu tempat yang menarik saat singgah ke Ereveld Menteng Pulo adalah Columbarium. Di sini terdapat wadah beton yang rupanya mirip toples disusun rapi. Bentuknya bulat dan bagian atasnya diberi perekat mirip selotip hitam. Di dalam 'toples-toples' ini bersemayam abu jenazah para korban Perang Dunia II dari pihak Belanda yang menjadi romusha dan dikremasi di Jepang. Untuk menghormati para almarhum, saya tidak diperkenankan memotret secara close-up.
.
.
Para korban tersebut meninggal dunia pada periode 1942-1945 . Tatkala Perang Dunia II dinyatakan berakhir pada 1945, satu per satu jenazah yang gugur di Jepang dibawa pulang ke Jawa, hanya mereka sudah berbentuk abu. Sampai sekarang, beberapa famili yang masih mengenal almarhum terkadang mengirimkan bunga. Tapi, kebanyakan sudah dilupakan, mengingat seiring dengan generasi yang berganti, ikatan emosional pun meluntur. Pada akhirnya, nama-nama yang dulu pernah mewarnai dunia praktis hanya terkenang di atas nisan atau wadah abu. Ada satu penelitian yang mengatakan kalau orang biasa itu paling lama dikenang 100 tahun setelah meninggal, setelah itu akan dilupakan selamanya. Hmmmmm kunjungan ini membuat saya sadar kalau waktu terbaik adalah sekarang. Yap, sekaranglah waktu yang pas untuk berkarya, sebelum nanti waktu yang bergulir akan menghilangkan raga dan kesempatan dari dunia. .
.
.
#Ereveld
#MentengPulo
#DutchWarCemetry