Pergi Ke Jogja Lagi, Setelah Tujuh Tahun Meninggalkannya

Di warung Bimakroda, suara gelak tawa berpadu dengan manisnya sate yang kami santap. Di meja makan paling pojok, aku, Tegar, dan Alex akhirnya bertemu kembali setelah lima tahun sibuk dengan dunia masing-masing di kota yang berbeda. Satu dekade lalu, kami bertiga adalah mahasiswa yang dengan bangganya mengenyam studi Jurnalisme pada media cetak tanpa tahu betul bahwa bidang ini sedang mengarungi senjakalanya. Sekarang, hanya Alex saja yang sungguhan jadi wartawan sedangkan aku dan Tegar mengarungi lautan karier yang lain. 

Obrolan tiga anak jurnal siang itu mengingatkanku bahwa Jogja pernah amat kucinta. Sampai kini pun cintaku tak hilang, hanya aku lebih realistis. Jogja adalah kota dengan segudang kenangan manis di masa lalu, bukan loka yang harus kuperjuangkan untuk jadi tempatku menetap. Butuh waktu lebih dari enam tahun untukku tiba pada perspektif ini. 

Cinta pada romansa Jogja adalah imbas dariku yang merasa nyaman studi di sini. Dulu aku pernah ingin menetap selamanya di Jogja, namun setelah beberapa kali mencari kerja di sini, kurasa bukan di sinilah aku terpanggil. Satu November 2016, pergilah aku ke Jakarta untuk menandatangani surat penerimaan kerja. “Paling kerja setahun dua tahun aja di sana. Cari modal dan pengalaman, terus balik lagi ke sini,” pikirku begitu. Namun, sekarang sudah tujuh tahun berselang sejak aku hijrah dari kota perantauan pertamaku dan harapan impulsif yang dulu kuucap tak lagi kuaminkan. 

Aku, Alex (kiri belakang), dan Tegar (kanan belakang). Setelah lima tahun tak jumpa, kami bertemu santap siang di warung Bimakroda.

***

Jumat, 3 Maret 2022 

Stasiun Tugu jam setengah delapan pagi. Aku turun dari kereta api Bogowonto. Kusadari stasiun ini sudah berbenah banyak. Dulu belum ada kabel-kabel listrik yang melenggang di atas rel, sebab jika mau ke Solo masih harus menaiki kereta diesel. Sekarang, kereta diesel berlabel Prameks telah disulap menjadi kereta listrik seperti di Jabodetabek. Melenggang dari pintu keluar stasiun pun perubahan telah terjadi di sana sini. Tak ada lagi bapak penjual angkringan yang pernah kuwawancarai malam-malam buat tugas kuliah dulu. Trotoarnya telah rapi, bersih dari segala penjual makanan dan dagangan. 

Kuamat-amati tiap perubahan itu dengan beragam perasaan sembari kakiku menyusuri jalan Gandekan. Kali ini aku tidak segera “pulang” ke kosan karena tidak ingin merepotkan orang di sana. Biasanya setiap kali aku ke Jogja, aku selalu pergi ke mantan kosku meskipun aku bukanlah lagi warga di sana. Tapi, mbak penjaga kosku telah menganggapku ibarat saudara dalam hidupnya, demikian juga aku menganggapnya. Kurasa inilah salah satu alasan mengapa memang Jogja itu menenun ikatan kuat di hatiku. 

Aku membayar sepetak kasur di sebuah hostel dengan harga sekitar lima puluh ribu. Bukan untuk menginap karena kuanggap tidur di tempat sempit bersama orang-orang asing tanpa sekat itu tidaklah nyaman untuk usiaku sekarang yang tak lagi berhasrat kuat untuk menjadi backpacker. Kuletakkan tas, mandi, merebahkan diri barang tiga jam, lalu kembali keluar untuk menyusuri penggalan-penggalan ceritaku selama di Jogja dulu. 

Almamater yang kucinta dan kubanggakan. Sekarang ia bersolek semakin baik. Kutipan yang dipajang di depan area masuk kampus II terasa quotable. Dari kampus inilah aku berkesempatan menjelajahi Indonesia karena selama di sini aku bekerja juga sebagai humas yang memperkenalkan kampusku ke berbagai tempat di Indonesia.

Kusambangi kampusku di Babarsari. Kujumpai dosen-dosen yang dulu pernah kuanggap galak tetapi kuhormati. Mereka menyambutku seperti sesosok kawan lama yang rindu bersua. Aku diundang masuk ke ruangan dosen, ditawari hendak makan atau minum apa, juga ditraktir makan siang sepiring ikan nila goreng. 

Babarsari siang itu telah jauh berbeda dengan Babarsari yang kutinggalkan tujuh tahun lalu. Sekarang telah ada SPBU, Mie Gacoan, dan kos-kosan eksklusif yang semakin menjamur. Sementara itu, sawah-sawah lapang telah lenyap terganti beton. Tetapi, satu yang masih belum berubah: kampusku masih terbuka dan akrab menyambutku dan jalanannya masih menyembulkan segumpal memori yang terjalin sejak aku ikut ospek sampai wisuda.

Ibu Titi, atasanku ketika bekerja sebagai humas di kampus dulu. Beliau mempercayakanku untuk melakukan promosi ke banyak sekolah di Sumatra, Kalimantan, Bangka Belitung, Batam, dan Jawa.
Kak Santi, dulu ia seniorku di himpunan kampus. Sekarang ia memilih mengabdi sebagai dosen pada almamater.

Keakraban itu masih terus berlanjut sampai 500 meter ke utara kampusku. Aku “pulang” ke kos, menjumpai Mbak Marni yang kini telah dikaruniai anak. Keadaan kosanku telah menjadi suram. Tak ada lagi riuh anak-anak kos yang tiap hari saling bercengkrama atau ribut soal parkiran motor. Pandemi dan gaya hidup telah membuat kosanku ketinggalan zaman. Pola kamar yang saling menghadap membuat interaksi tatap muka tidak terelakkan. Pada zamanku, interaksi seperti ini sungguhlah menyenangkan. Tapi, kata Mbak Marni, anak muda sekarang tidak mau kosan yang seperti ini—tidak ada ac, kamar sempit, wc di luar. Sekarang dari 19 kamar tersedia, cuma segelintir saja yang menghuninya. 

Melihat Mbak Marni menjaga kosan ini dengan baik membuat hatiku tergerak memberinya sedikit kejutan. Kukirimkan sejumlah uang yang nominalnya tak seberapa ke rekeningnya. “Buat nanti beliin anak sepeda,” tulisku di keterangan. Ketika dia sadar ada sejumlah nominal yang masuk, doa-doa syukur dan haru diungkapkannya padaku lewat pesan chat. Aku pun ikut senang berbagi dengan orang yang dulu pernah pernah beririsan hidupnya denganku. 

Sebelum hari berakhir, perjalanan masih kulanjutkan dengan berjumpa kawan lama dari kampus lain. Ada Ninda dan Tito, mereka sekarang telah jadi sepasang suami istri. Kami bertemu pada warung burjo di Pasar Kranggan. Obrolan hangat mengalir ditemani sinar mentari senja yang pelan-pelan meredup, menyisakan jalanan kota yang kosong. Begitu kontras dengan keseharian yang kulalui di Jakarta yang tak menyediakan ruang diskusi kala senja. 

Obrolan hangat di warung burjo. Pulang ke Jogja berarti menikmati kebersamaan pada tempat-tempat yang sederhana.
Suasana daerah pasar Kranggan kala sore. Sepi dan menyenangkan.

Puas bertemu dengan kawan-kawan, kututup perjalanan ini dengan menyendiri bersama Tegar ke Bantul dan Gunungkidul. Kami menepikan motor di pinggiran Sungai Oya. Melempar-lempar batu kecil pada aliran air. Siapa yang batunya memantul paling banyak dan jauh dialah yang jadi pemenang. Juga pada tepian Samudera Hindia di Pantai Ngunggah, kaki kami menginjak karang-karang keras. Mata kami dibuat puas dengan deburan ombak yang menghantam tebing-tebing cadas berkarang. 

Jogjaku yang kini telah berbeda dari dulu. Ia bukan lagi kota yang kudamba akan kutempati permanen, tetapi ia selalulah jadi kota yang istimewa, yang pernah memberiku sejarah hidup dan persahabatan karib selama empat tahun. 

Menenangkan diri di tepian Sungai Oya.
Menikmati lanskap Gunungkidul, pantai yang bersandingan dengan bukit-bukit.
Pantai Ngunggah. Sepi dan luas, tetapi berkarang keras.

2 pemikiran pada “Pergi Ke Jogja Lagi, Setelah Tujuh Tahun Meninggalkannya

  1. Aku sudah menyadari Jogja bukan kota untuk menetap sejak mulai kuliah, Ry. Bidang yang ingin kutekuni sebagai lahan berkarir kurang berkembang di Jogja, apresiasi terhadap pekerja pun kurang.
    Setelah menikah aku dan Ara sempat setahun mencoba tinggal di Jogja untuk mengumpulkan pundi-pundi tabungan karena biaya hidupnya yang rendah, namun ternyata kami juga nggak betah. Aku kangen sama temen-temen, cuaca, dan suasana Bandung haha. Ara kurang cocok sama citarasa makanan Jogja yang cenderung manis thok. Bandung adalah titik tengah bagi kami. Jogja cukuplah jadi kota berlibur dan pulang kampung.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s