Perjalanan untuk Memelihara Pertemanan 

Terminal Kalideres tak lagi jadi tempat yang menakutkan buatku. Bukan semata-mata karena tempat ini jadi lebih baik. Tentunya tidak, karena fasilitas yang tersedia masih itu-itu saja. Tapi, lebih karena aku telah terbiasa. Tujuh tahun tinggal di Jakarta, tujuh tahun pula aku setia menjadi penumpang yang berangkat dari terminal ini. 

Seperti yang dulu-dulu, jam lima aku telah tiba di terminal. Turun dari Transjakarta, kuamat-amati dulu bus mana yang akan kunaiki. Tujuanku tidak berubah: Sidareja. Di kota kecamatan di Cilacap Barat itulah kawanku Roland tinggal. Kami punya kesepakatan tidak tertulis bahwa setidaknya sekali dalam tiga bulan kami akan bertemu untuk makan, main, dan ngobrol bareng. Buatku yang adalah ‘bolang’, bepergian jauh tak pernah jadi masalah karena memang aku suka berlama-lama di jalan. Tapi… urusan perkara bis lama-lama jadi soal seiring dengan umurku yang makin menanjak, yang menuntutku untuk sedikit membuat perjalananku lebih ‘nyaman’ supaya badan tidak sakit.  

Ada tiga alternatif bus yang bisa kupilih. Pertama, ada PO Gapuraning Rahayu. Busnya jorok, kotor, dan usang. Tapi, kelebihannya adalah dia yang berangkat paling awal, pk 17:30, sementara dua lainnya baru berangkat setelah maghrib. Kedua, ada PO BeST. Ini bus baru yang sudah pernah kunaiki. Tapi, tujuannya kali ini tidak ke Sidareja, tapi ke Kawunganten. Dan minusnya lagi, bus ini akan melipir dulu ke Grogol. Pastinya makan waktu lebih lama. Ketiga, ada PO Budiman. Dari segi kecepatan dan kenyamanan, ini yang menang. Minusnya hanya satu: turunnya di Karangpucung yang jaraknya sekitar 35km dari Sidareja. 

PO Gapuraning Rahayu, perusahaan endemik Ciamis yang fasilitasnya saat ini ala kadarnya. Foto diambil saaat bus istirahat di RM Genah Rasa, Nagreg, Kab. Bandung Barat. Saat jam rehat ini saya pasti berhenti untuk makan Pop Mie. Berangkat dari Kalideres pk 18:00, tiba di Nagreg pk 21:30. Syukur kepada Tuhan karena perjalanan hari ini dibebaskan dari segala macet.
Dari penampilan luarnya sudah tampak bus ini berusia tua.
Sampai detik-detik keberangkatannya, bus ini cuma terisi segelintir penumpang, padahal ini Jumat sore. Kondisinya berbeda dengan dulu di mana Jumat sore selalu ramai. Sebagai penumpang, hati ikut sedih. Jika okupansi rendah, perjalanan pasti merugi. Bagaimana perusahaan dapat membiayai semua biaya operasionalnya?

Dengan segala pertimbangan, kupilihlah pilihan pertama. Sebenarnya aku tidak asing dengan PO yang satu ini dan sudah maklum. Tapi, perjalanan hari ini sungguh terasa memuakkan. Bus berangkat lebih ngaret dari biasanya. Kursi-kursinya kusam, di lantainya berserakan sampah-sampah, dan aroma AC-nya membuatku emosi. Tidak bau, tidak juga wangi. Tapi, berasa apek! Ditambah lagi bodi dan sasis bus yang sudah kolot membuat perjalanan selama sembilan jam lebih terasa seperti naik gerobak yang melaju kencang. 

Jam tiga subuh, ketika kutiba di terminal Sidareja dan disambut Roland, kepalaku sudah berputar rasanya. Badan pun terasa lengket ingin cepat-cepat kubasahi dengan segayung air di kamar mandi. 

***

Itulah sekelumit ongkos yang perlu kubayar untuk bisa berjumpa Roland. Tidak ada opsi yang super nyaman untuk tiba ke desanya. Tak ada bus sleeper seperti tujuan Jogja atau Malang. Yang ada hanya bus patas kapasitas 50 kursi tanpa toilet. Naik kereta api pun sama lelahnya karena hanya tersedia kelas ekonomi subsidi yang duduknya tegak dan lutut saling bersilaturahmi. 

Tetapi, ribet dan lelah itu tak pernah jadi alasanku absen menyambangi Sidareja. Pertanyaannya: mengapa tidak Roland saja yang datang ke Jakarta? Atau, ketemu saja di kota lain seperti Jogja, gitu? 

Jawabannya adalah karena tak semua orang dikaruniai kebebasan tanpa batas sepertiku. Sejak lahir hingga dewasa, aku amat beruntung karena orang tuaku tidak pernah mempersoalkan hobiku menjelajah. Selama bisa jaga diri aja, tutur mereka. Tetapi, tidak dengan Roland. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dan juga anak bungsu, dia punya kewajiban untuk melanjutkan toko kelontong usaha keluarganya. Kedua kakaknya telah menikah dan ikut suami di luar kota. Sepeninggal papanya, hanya Roland saja yang bisa mengemban tanggung jawab ini sekaligus merawat ibunya yang sudah tua dan memiliki aneka penyakit. 

Saking seringnya aku datang ke rumahnya, tak ada lagi rasa canggung. Kedatanganku juga jadi kesempatan buat Roland “kabur” dari rutinitasnya untuk jalan-jalan agak jauhan sedikit, keluar dari kabupaten Cilacap. 

Ritual kesukaan kami: mengendarai motor ke desa-desa di Cilacap Barat. Persawahan di area Kedungreja jadi yang favorit.
Pangandaran tak pernah bosan kami sambangi. Saat Roland memilih untuk duduk di bawah pohon sambil bermain HP, aku selalu senang membiarkan kakiku tersapu oleh hempasan ombak.
Restoran Sari Melati I di Pasar Ikan Pangandaran. Tujuh tahun ke sini, kami tak pernah ganti menu: cumi tepung dan ikan bakar. Yu Tuminah, sang pemilik adalah rekan dari orang tua Roland sehingga acap kali kami pun diberikan korting olehnya.

Ritual kami tidak pernah berubah sedari dulu. Setelah subuh-subuh aku tiba, aku akan tidur sebentar. Sekiranya jam 10 pagi kami akan berangkat ke Pangandaran. Menyusuri garis pantai dari Lembah Putri sampai ke Legokjawa (kalau kuat dan waktunya cukup), lalu menutupnya dengan makan ikan di restoran Sari Melati milik Yu Tuminah dan berjalan-jalan santai di tepian pantai. Jika waktu masih tersedia, kami akan pergi ke sawah di Kedungreja untuk duduk di tepi pematangnya. 

Makin tahun obrolan yang kami lontarkan terasa semakin kompleks meskipun sebenarnya topiknya ya itu-itu saja. Soal rasa bosan, kesehatan orang tua kami yang kini sama-sama menjanda, juga tentang kapan dan bagaimana kami akan melepas masa lajang ke jenjang pernikahan. 

“Jadi, lu tuh mau kawin gak sih sebenarnya?” tanyaku pada Roland. “Push rank aja mulu!”

“Ya kawin lah bangke!” jawabnya sambil mengumpat. 

Pertanyaan ini selalu kuajukan sebagai seloroh. “Ya makanya, cari yang realistis. Gak usah ngarepin yang modelan Lisa Blackpink,” tambahku yang kembali dibalas dengan umpatan dari Roland. 

Durasi pertemanan yang lama telah membuat batas-batas kecanggungan meluntur di antara kami. Seloroh hingga umpatan yang jika pihak luar melihatnya terasa kasar, tetapi telah menjadi bumbu yang menjadikan relasi dua kawan terus melanggeng. Namun, ada pula momen-momen ketika kami masing-masing melakukan kesalahan yang melukai. Tetapi, kami selalu bisa berlabuh kembali pada kata maaf dan melenggang seperti sedia kala. 

Kurasa, di situlah inti dari sebuah cerita pertemanan. Tentang kawan yang tak selalu hadir secara fisik, bisa berbuat salah, bisa melukai dan terluka, tetapi selalu memaafkan dan menjadikan ini sebagai sebuah siklus yang berlangsung sampai akhir hayat. Bukan berarti pertemanan adalah sesuatu yang bersifat masokis, tetapi pada kenyataannya relasi dengan sesama manusia pasti menimbulkan gesekan konflik. Manusia yang dewasa bukanlah manusia yang mengharapkan konflik selalu nihil, tetapi yang selalu bertumbuh selepas konflik berhasil dilalui. Dari seberkas mudarat, ada sejuta sukacita dalam sebuah ikatan pertemanan yang dipelihara.

Di usia yang kian menanjak, memiliki kawan yang bisa diajak mengobrol tentang apa pun adalah berkah. Tetapi, ini bukanlah berkah yang kita biarkan begitu saja. Diperlukan usaha yang intensional untuk memeliharanya. 

Hidup yang sehat tak cuma bicara soal fisik yang jauh dari penyakit, tetapi juga bicara tentang relasi dengan orang-orang sekitar. 

2 pemikiran pada “Perjalanan untuk Memelihara Pertemanan 

  1. dari sini jadi paham, pemilik toko meskipun di pandangan orang awam tuh enak sekalii karena ga harus kerja 9 to 5, macet-macetan di jalan, tapi ada harga yang harus dibayar : konsistensi standby di toko.

    tulisan yang apik mas 👍

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s