Bukan Cerita Tentang Sakit

Jantungku deg-degan. Keringat dingin merayapi punggungku yang terbungkus jaket di ruang ber-ac. “Ini yakin, dok, solusinya begini?” tanyaku meminta penegasan ulang. 

Dokter Pulo, dokter THT yang baru kutemui dua kali tersenyum dan menimpali. “Iya, itu gigi kamu kan rusak tiga-tiganya. Harus dibedah. Kenapa?”

Aku menggeleng.

“Karena itu yang atas nancep. Bisa jadi itu kena ke saraf yang nyambung ke sinus. Dan, gigi yang udah busuk gitu bisa bikin masalah yang lain-lain.” 

Dijelaskan begitu rasa takutku tidak hilang, tapi sedikit mereda karena perangai sang dokter yang meyakinkan. Sosoknya yang sudah senior serta kesediaannya menepuk-nepuk pundakku terasa seperti seorang bapak yang sedang menyemangati anaknya.

“Oke deh dok kalau gitu, saya siap,” walau dalam hati ya jelaslah takut. Apa jadinya jarum suntik dan gunting dan pisau menyabet gusi-gusi dalam mulut?

“Nanti kalau sudah bedahnya, seminggu lagi kamu kontrol ya.” 

Lima belas menit di ruang konsultasi pun menjadi awal dari ketakutan yang belasan tahun kupendam dalam-dalam: menjumpai dokter gigi. 

November 2022.
Setelah ke 5 dokter THT yang berbeda, barulah di dokter Pulo ditemukan penyebab utama dari sinusitis yang sering kualami: sisa akar gigi yang menancap dan membuat infeksi. Diagnosis ini didapat setelah endoskopi.

***

Terakhir kujumpai dokter gigi adalah setahun lalu, tepat dua minggu sebelum aku diserang virus kopid. Impresinya tidak menyenangkan. Sudah bayar mahal, sakit, dan dokternya agak judes. Gigiku memang sering bermasalah sejak masa SMA, dan menjadi semakin parah saat kuliah karena aku tidak punya alokasi uang untuk melakukan perawatan. 

Singkatnya, efek dari rapuhnya gigiku ditambah apatisnya aku akan kesehatan mulut sendiri, tiga gigi graham hancur dan tidak dicabut. November 2022 lalu, radang tenggorokan hampir sebulan tak kunjung sembuh. Kupikir karena efek sakit maag, tapi saat itu maagku tidak sedang kambuh. Barulah setelah kusambangi dokter Pulo, diketahuilah kalau salah satu penyebabnya adalah gigi busuk yang kubiarkan begitu saja. 

Syahdan, setelah memperoleh keyakinan aku mendaftarkan diri untuk operasi bedah mulut di 7 Desember 2022. 

Mencari-cari informasi di Gugel seputar sakit tidaknya bedah mulut rupanya tidak menolong. Demikian juga cerita ke teman-teman yang pernah dibedah. “Aduh, serem, Ry!” Ada pula yang bilang, “Itu gusi ditakol-takol, linunya aaargh,” dengan ekspresi mata melotot. “Tapi, yang paling sakit itu bukan pas dibedahnya, tapi pas efek biusnya ilang,” tambahnya lagi, menyempurnakan ketakutanku. 

Namun, terlepas semua cerita seram temanku itu, mereka menutupnya dengan kalimat positif yang sama, bahwa aku pasti bisa dan ini demi kebaikan diri sendiri.

Pesan itu memang benar, hanya akunya saja yang membiarkan rasa takut menguasai. Pelan-pelan kucerna dan kuamini, sampai tibalah saatnya aku masuk di ruang praktik bedah mulut. 

“Ini gigi yang hancur ada tiga. Bawah dua atas satu. Kita cabut yang atas dulu ya.” Bukan kebetulan, dokter Stevani, spesialis bedah mulut yang menanganiku hari itu seorang wanita yang berperangai lembut. Meski wajahnya ditutup masker dan APD, aku bisa melihat senyum ramahnya. 

“Kalau hari ini langsung cabut tiga, bisa dok?” aku bertanya sok polos, padahal dalam hati masih mengharap kalau bisa tiga gigi ini copot sendiri. Atau kalau perlu, akunya sekalian saja dibius total. 

“Bisa bisa aja, tapi biasanya sih sehari itu dicabutnya satu. Ya nanti tergantung kuatnya kamu aja.”

Aku merenung. Kalau hari ini cuma cabut satu, berarti minggu depan aku harus mengulangi penderitaan yang sama. Tapi, apa kata dokter itu ada benarnya. 

“Oh gitu. Ya udah deh dok, coba dulu cabut yang atas. Kalau saya kuat, boleh ya cabut yang bawahnya sekalian?” 

Tindakan pun dimulai. Aneka ragam alat pembedahan gigi dikeluarkan. Setelah kumur antiseptik, tahapan selanjutnya adalah suntik bius. Aku pernah punya kenangan buruk karena saat SMP mencabut gigi, suntikannya luar biasa sakit.

Tapi, kali ini berbeda. 

“Sakit, gak? Tahan sebentar yaa,” ujar sang dokter sembari tangannya menghujamkan suntikan besi ke lekuk-lekuk gusiku.

“Nggg…aaa, dok,” aku masih bisa membalas walau pelafalanku tidak jelas. 

Ternyata oh ternyata. Sakitnya tidak separah yang kutakutkan. Setelah enam kali tojosan, rasa baal mulai muncul. Dengan tenaga kuat, sat set sat set, gigiku dirontokkan. Tapi, ada sisa akar yang menghujam ke dalam.

“Tahan yaa,” belum sempat kujawab, hujaman benda seperti palu menabrak gusi atasku.

Tokk…tok..tok.. tidak sakit, tapi terasa linu. 

Tiga sisa akar gigi graham. Dua di bawah kiri dan kanan, satu di kiri atas.
Pelayanan dokter Stefani profesional dan meyakinkan. Sangat baik untuk pasien-pasien phobia dokter gigi dan darah seperti saya.

“Sudah berhasil terangkat. Nih begini bentukannya.” Gigi graham atas yang hancur itu diletakkan di atas nampan. Berlumuran darah dan tampak menjijikkan. Bagaimana bisa kubiarkan benda rusak itu bercokol lama-lama di sana ya? 

Karena sakitnya tidak separah imajinasiku, maka aku bilang untuk lanjut saja cabut dua yang bawah. Prosedurnya sama seperti gigi atas. Lebih kurang 70 menit, tindakanku selesai. Seisi mulut bengkak dan baal. Barulah di sini rasa sakit yang paling sakit mengancam terjadi. 

Efek obat bius pasca bedah hanya berlangsung sekitar satu jam. Perlu segera meminum obat antibiotik dan painkiller supaya luka menganga di gusi ini tidak jadi sarana penyiksaan lahir batin. Sialnya, bagian farmasi di rumah sakit ini sangat penuh. Aku mengantre dengan harap-harap cemas karena cenut-cenutnya mulai berasa. Setelah nyaris sejam dan rasa linu mulai menjalar barulah namaku dipanggil. Buru-buru kuminum obatnya dan duduk seperapat jam membiarkan obatnya bekerja. 

Biaya gigi tidak dicover asuransi. BPJS mengcover tapi jadwal gilirannya terlampau lama. Pembayaran menggunakan metode umum alias uang pribadi jadi opsi.
Dua minggu pasca pembedahan wajib minum antibiotik ini.

Pulang dari rumah sakit, mengendarai motor sendirian sembari menahan linu di sekujur mulut jadi pengalaman yang luar biasa. 

Akhirnya aku sadar dan mengalami sendiri bahwa rasa sakit dan takut harus dikalahkah demi kebaikan yang lebih besar. 

5 pemikiran pada “Bukan Cerita Tentang Sakit

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s