Demi Menyesap Senja di Pesisir Pantura

Keputusan buat pergi motoran ke timur dari Jakarta di siang hari rupanya bukan ide yang baik. 

Semua bermula dari berubahnya jadwal kerja. Harusnya, Sabtu kemarin kuisi dengan syuting dengan seorang narasumber. Tapi, jadwalnya digeser ke Jumat. Mau pulang ke Bandung, kagok karena tiket kereta di weekend sudah ludes. Terbersitlah ide untuk motoran saja ke Cirebon sendirian. Toh sudah empat bulan motorku tidak mengaspal di pantura. 

Sabtu, 2 Juli 2022 

Gravitasi kasur di Sabtu pagi begitu kuat. 

Maksud hati ingin berangkat jam 7, molor jadi jam 10. Dari Kalideres macet sudah menyambut. Kulihat Google Maps, sialnya merah semua. Demi menghindari Daan Mogot yang macetnya bikin malas, kubanting setang motorku menyusuri pinggir Tol Jakarta-Merak sampai keluar di Tomang. Lega cuma sesaat, macet terus mengiringi sampai ke Bekasi. Selepas Bekasi pun sama suramnya. Kalau Maret lalu aku berangkat jam tiga subuh cuma butuh 1 jam 20 menit untuk sampai di Cikampek, hari ini aku menghabiskan waktu nyaris empat jam hanya untuk sampai di Cikampek. Memang macetnya Jabodetabek ini sudah gak ada obat, sampai-sampai solusi jitu pemerintah hanya dua: bangun jalan tol dan pindahkan ibukota. 

Jalanan barulah mulai menyenangkan selepas memasuki Kabupaten Subang. Jalur Pantura yang dulu menjadi urat nadi perekonomian Jawa telah meredup pamornya digantikan Tol Cipali yang tersambung dengan Tol Transjawa sampai ke Probolinggo dan Malang. Restoran, tempat istirahat yang dulu ramai kini menjadi gersang, menyisakan hamparan kosong atau kalaupun ada isinya, kebanyakan hanya truk-truk besar yang beristirahat. 

Kabar baiknya: buat para pemotor jalanan ini jadi lebih nyaman buat dilalui karena minimnya volume kendaraan yang melintas. Motorku bisa kupacu konstan di kecepatan 75-90kpj. 

Memasuki Eretan, Indramayu, kutepikan motorku sebentar di tepian laut. Maret kemarin saat kulewat sini, kondisi lautnya berair coklat bak empang, tapi hari ini rupanya Laut Jawa sedang mengalami gelombang tinggi. Ombak naik sampai ke darat, menghantam tembok dan airnya yang kehijauan tumpah hingga parkiran motor. 

Mesin motor kumatikan. Aku duduk saja memandangi ombak-ombak itu. Meskipun sepanjang siang tadi badan lelah dilibas macet yang tidak karuan, tetapi memandangi ombak dengan hembusan angin sore meneduhkan kembali hati yang gerah. 

Perjalanan kulanjutkan. Sampai di Jatibarang, aku menepi lagi pada sebuah jalan desa yang membelah pematang sawah. Sesekali para petani lewat dan kami saling melempar senyum. 

Duduk tiga puluh menit, seorang diri di tepi sawah… inilah tetirah yang murah meriah bagi jiwa yang lelah. Kurasa, sawah yang menjadi tempat menggantungkan hidup para petani tak perlulah disulap menjadi destinasi estetik dengan kafe-kafe atau spot fotogenik. Biarkanlah ia alami. Dan biarkanlah hanya orang-orang yang memang suka menyesap sepi yang datang ke sana. 

2 pemikiran pada “Demi Menyesap Senja di Pesisir Pantura

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s