Bandungku yang Sekarang Telah Berbeda

Serasa ada yang hampa. 

Tubuhku berguncang di atas kereta api yang relnya mengitari punggung bukit-bukit Priangan. Gelap. Ini jam 1 pagi. Karena terjebak antre di Manggarai, sekarang keretaku baru lewat Cikadongdong. Sekitar sejam lagi barulah aku akan tiba di tujuan akhir, Stasiun Bandung. 

Kubuka HP-ku. Tidak ada notifikasi WA. Tahun-tahun yang lalu tidaklah begini. 

Sebelum pandemi merebak, aku selalu pulang ke Bandung naik kereta yang berangkat paling bontot dari Gambir, jam setengah 12 malam. Sejam sebelum kereta tiba, biasanya notif di HPku muncul. 

“Dah sampe manaaa bossss….” pertanyaan ini diketik tanpa tanda tanya. Inilah gaya mengetik papaku yang memang malas menambahkan tanda baca pada setiap chatnya. 

“Masih jauh. Ini masih di Purwakarta.”

“Okehhh bosss… dijemput ya.” 

Kubalas singkat, “Ok. Makasih” lalu kembali tertidur atau sekadar memandang jendela yang gelap. 

Saat kereta akhirnya tiba, sesosok pria yang usianya masih jauh dari enam dekade sudah menanti. Dia melepas helmnya, duduk di atas motor Vega jadul sembari mengisap sebatang rokok. 

Papaku adalah pengamat ulung. Jika di rumah dia mengamati pergerakan tiap pemain sepak bola ataupun gerak-gerik politikus, kali ini giliran para milenial yang jadi penumpang kereta api Gopar. “Huluhhh….gila ya.. banyak banget anak muda seumuran elu pada kerja di Jakarta, penumpangnya sepantaran elu semua,” katanya sambil mematikan rokok. 

“Iya, da semua duit pada muternya di Jakarta, “ sahutku sembari memasang helm di kepala. “Udah lama nunggunya di sini?” 

“Ah nggak, seperapat jam paling…” 

Obrolan pun berlanjut, panjang, baru putus saat aku telah merebahkan badan di atas kasur. 

Aku dan papa circa tahun 1998 di tepian kali Cisadane, Ciampea, Bogor.
Kala itu kami sering bepergian ke desa ini untuk mengunjungi rumah kerabat.
Jalan-jalan ke warung susu murni Lembang Kencana, circa tahun 2000.
Meski cuma punya motor, kami sering jalan-jalan ke tempat yang jauh dan tak kenal cuaca. Hujan pun seringkali tetap ditembus. Sekarang spot restoran susu murni ini sudah tutup.
Ulang tahun di tahun 2002.
Sewaktu kecil kami punya segudang foto bersama, padahal saat ini belum masuk zaman digital.

***

Semua obrolan ini sekarang tak akan lagi terwujud. Saat keretaku akhirnya berhenti sempurna di peron lima Stasiun Bandung, tak ada lagi sosok yang menungguiku di depan gerbang. 

Sekitar dua bulan lalu, papaku akhirnya menuntaskan perjuangannya melawan sakit selama 29 malam di ranjang rumah sakit. Beruntungnya, selama sakit itu aku berkesempatan untuk hadir di sisinya. Sakit yang diderita papa sama sekali tak pernah terpikirkan olehku dan orang-orang dekatnya. Bermula dari jatuh dan patah tulang, aneka penyakit bermunculan bak cendawan di musim hujan. Paru-parunya terdeteksi gangguan, diobati, diterapi, lalu sembuh. Tapi, muncul lagi sakit di yang lain-lain: di lambung, syaraf, usus, dan rongga perut. Banyak tindakan sudah dilakukan: rontgen, endoskopi, kuras lambung, 21 jenis obat juga masuk ke dalam tubuhnya. Pada 19 April 2022, pasca endoskopi hatiku amat lega. “Ini mah cuma disentri. Nanti abis dikasih obat, pendarahannya berhenti kok,” ucap dokter internis sembari menunjukkan hasil foto rongga usus halus. 

“Disentri mah aman harusnya ya…” hatiku membatin. “Tapi, kok darahnya sampai banyak banget ya? Sehari bisa tembus puluhan kali?” tanyaku lagi ke dokter. 

“Iya, karena dinding ususnya luka. Nanti habis dikasih obat sembuh kok.” 

Setiap malam kupegang tangannya yang telah berminggu-minggu tertusuk jarum infus. Tangan ini tergolek lemah, namun kekuatan dari Sang Ilahi saja yang menguatkannya sampai akhir.
Perlak, waslap, dan baskom. Tiga alat inilah yang menemani kami setiap hari. Pendarahan yang terlalu sering, ditambah tubuh yang kaku digerakkan membuat penggunaan pampers tak lagi memungkinkan.

Meski ragu, tapi aku percaya teguh. Lagipula aku tak pernah dengar ada kabar orang disentri sampai meninggal. Jadi, aku pun tenang dan bahagia. Kudorong ranjang papaku kembali ke bangsal perawatannya di lantai 7. Namun, yang luput dari endoskopi itu ialah: alat kamera hanya mampu mencapai usus halus, sedangkan panjang usus sendiri adalah 3 meter! Alhasil, bagian kolon (usus besar) papaku tidak ditelaah, padahal di sanalah perburukan terus terjadi dan menjadi bom waktu. 

Pendarahan memang berhenti, tapi 5 hari kemudian yang terfatal pun datang. Pendarahan kembali muncul namun dengan intensitas yang lebih dahsyat. “Sus…sus, tolong,” aku menangis di depan ruang resepsionis bangsal. Ini hari Minggu, tak ada dokter spesialis yang tugas. Tapi, aku berusaha agar papa segera mendapat penanganan. Sejam, dua jam, tiga jam, respons yang kudapat adalah “Sabar ya pak, ini sedang diurus.” 

Aku kesal bukan main sebab butuh empat jam lebih untuk mengurus administrasi agar papaku bisa dipindahkan ke unit ICU. Dokter mengatakan papa terkena autoimun yang mengakibatkan dinding usus besarnya menggerogoti diri sendiri. Syahdan, di malam ke-28, aku menungguinya sendirian di dinginnya lorong ICU. Isak tangisku memantul di antara dinding-dinding itu. Ratapanku pun tak berjawab. Kurang dari 24 jam setelahnya, Tuhan memanggil pulang papa. 

Aku dan papaku awalnya bukanlah sosok yang karib… perbedaan pandangan hidup serta konflik internal keluarga menjadikan kami berjarak. Namun, jarak itu perlahan pupus saat aku mulai bekerja di Jakarta dan pada suatu momen aku pernah meminta maaf padanya secara lisan dan tertulis. Pasca kerja, aku lebih sering pulang, dan dari situlah tercipta kesempatan yang dulu tak pernah bisa kami lakukan: duduk bareng dan mengobrol. Lama-lama kami jadi semakin akrab dan terbuka… tapi barulah saat akhirnya papa di rumah sakit, keakraban kami mencapai titik puncaknya. Begitu hangat. Setiap hari aku berbicara dengannya, mengusap dan mencium keningnya, memeluknya, menyuapinya, membersihkan kotoran serta darahnya, dan yang paling kusuka: menyanyi dan berdoa bersamanya. 

“Pih… nanti kalau sembuh, kita foto bareng ya di studio?” tanyaku seraya menyuapinya makan. Sebuah apel yang kupotong kecil-kecil kusuapkan ke dalam mulutnya. “Setelah Ary gede, kita gak pernah ada foto barengan loh…” tambahku. 

Mulut yang sedang mengunyah apel itu memonyongkan bibirnya. “Huuh, iyaa, ayoo…” jawabnya sembari menganggukkan kepala. 

“Kita pake jas okeee….”

Seruas senyum merekah di wajah papaku. Dia menatapku. 

Kubalas tatapan itu dengan pelukan. “Makanya, yuk semangat sembuh. Ary yang jadi penjaga semangat loh, jadi yang dijaga juga harus semangat okeehhh..” 

Rencana itu pada akhirnya cuma jadi rencana, dengan memori percakapan yang terpatri kuat di memoriku. 

Saat papaku berpulang, aku kaget dan lelah bukan main. Kaget karena tak sangka sakitnya jadi sebegitu parah. Lelah karena akumulasi merawatnya di rumah sakit selama nyaris sebulan berkontribusi besar pada hancurnya jadwal hidup normalku. Aku tak bisa kerja. Makan hanya sekali dua kali sehari, dengan jam yang tak teratur. Soal tidur juga sama. Hampir sepanjang malam aku terjaga untuk melayani papa. Setelah semua proses kedukaan berakhir, barulah aku bisa beristirahat dan pelan-pelan menata lagi ritme hidupku. 

Aku mendatangi konselor dan dibimbing untuk memproses kedukaan ini dengan cara yang benar. Dokter internis juga kusambangi, sebab sakit Gerd yang kuidap sejak dulu bertambah parah akibat stres dan lemahnya kondisi fisik. 

Perjalanan untuk pulih dari duka tidak ringan. Berulang kali aku merasa hampa dan air mata masih sering mengalir, terkhusus pada momen-momen ketika aku sendirian. Tetapi, aku tidak menyesal… sebab aku tahu bahwa kini papaku tak lagi sakit, dan kepada Khalik Pencipta langit dan bumi, dia berpulang. Juga kurasa, akulah anak yang amat beruntung sebab diberi kesempatan untuk mendampingi orang tuaku sampai pada akhir hidupnya. Saat nafasnya berhenti di jam setengah enam, tanganku masih memegang tangannya. “Selamat jalan,” ucapku getir.

 Kendati dukacita memang berat, tetapi aku tak bisa berkubang selalu di dalamnya. Kematian bukanlah akhir, tetapi awal dari sebuah kekekalan. Kematian bukanlah kesempatan, tetapi kepastian yang dihadapi oleh semua makhluk hidup. Sekarang, giliranku untuk melanjutkan hidup dan meneruskan segala hal-hal baik yang telah dikerjakan oleh papaku. 

Bandungku yang sekarang telah berbeda. Tak ada lagi sosok pria galak yang kukasihi yang mengisi tahun-tahun hidupku. Ke dalam suasana yang telah berbeda inilah aku diutus, untuk hidup berbuah. 

Seorang kawan membuatkan sebuah karikatur yang hangat antara aku dan papa. Karikatur ini lalu kucetak ke atas kaos yang bisa kukenakan. Bukan sebagai tanda dukacita, tetapi sebagai tanda sukacita dan syukur bahwa aku pernah dikaruniai kesempatan dan sosok ayah yang luar biasa.
Beberapa hari setelah semua urusan kedukaan rampung, aku kembali ke rumah sakit tempat papa dirawat. Kepada para staf garda terdepan yakni suster dan satpam aku menghaturkan terima kasih buat mereka. Kinerja merekalah yang sangat-sangat menolong para keluarga pasien. Pak Rusdi adalah satpam yang luar biasa. Dia tak cuma bertugas sebagai penjaga keamanan, tapi dia mampu menghibur dan memberikan pelayanan maksimal bagi keluarga pasien.

10 pemikiran pada “Bandungku yang Sekarang Telah Berbeda

  1. tak terasa air mata ini menetes, semakin scroll ke bawah semakin deras. turut berduka cita ya mas Arya atas kepergian Papamu. Papamu pasti sosok yang luar biasa bisa memiliki anak seperti dirimu.

    aku jadi ingat sebuah kalimat seperti ini “kalau kita sayang sama seseorang, maka kita harus rela berkorban menanggung air mata dan beban untuk melepas kepergiannya. daripada orang yang kita sayangi yang harus menanggung beban tersebut”

    tetap semangat dan berbuah ya mas Arya!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s