Akhir bulan Juli, di hari Sabtu. Papa pulang ke rumah dengan gejala demam dan flu yang mengiringinya. Momen-momen itu adalah momen ketika pandemi sedang mencapai grafik tertinggi. Samar dari balik sambungan telepon, mama mengungkapkan kekhawatirannya kalau-kalau flu dan demam itu bukan sekadar sakit biasa.
Kutenangkan mama. Kubilang, “Minum vitamin, sama jangan terlalu dipikir. Nanti kalau beberapa hari nggak ada kemajuan, baru wajib dicolok idungnya.”
“Colok hidung” alias swab test adalah momok menakutkan bagi beberapa orang, terlebih generasi baby-boomers seperti orangtuaku. Sebisa mungkin mereka tak mau melakukan tes ini.
Tiga hari berselang, mama kembali menelepon lewat WhatsApp. “Mama sekarang juga pilek,” tuturnya. Gumam hatiku, “Kopid ini mah,” tapi spekulasi itu perlu dibuktikan dengan uji ilmiah.
“Sok atuh, di-swab antigen aja, nggak sakit kok,” kataku.
“Ah, nggak mau. Udah, yakin deh ini mah sakit biasa,” timpalnya.
Kubujuk lagi dan lagi. Setelah telepon dimatikan, sorenya kutanya kabar sekalian kubujuk untuk mereka melakukan tes usap. Tapi, selalu dimentahkan dengan beragam alasan.
Hari Kamis, nyaris seminggu sejak papa pulang dengan sakit flu, akhirnya mereka bersedia diswab. Tes usap pertama dilakukan oleh papa yang hasilnya positif. Selanjutnya, karena papa sudah positif, mama akhirnya menurut untuk dites juga. Hasilnya: positif juga.
Hasil tes usap itu keluar sekitar jam tiga sore. Aku posisi ada di Jakarta, masih dilibas dengan tugas-tugas kantoran yang tak bisa kudelegasikan ke siapa-siapa. Di Bandung, ada tiga kakak yang masing-masing tinggal terpisah.
Kabar orangtua kami positif kopid ini awalnya ditanggapi dengan kepala dingin, tapi lama-lama menjadi panas. Kesulitan paling utama dan pertama dalam mitigasi perkopidan ini adalah: koordinasi. Tiga kakak di Bandung tidak segera berunding mengenai apa yang paling cepat bisa mereka lakukan dan siapa yang bisa terjun ke lapangan, yang ada mereka kebingungan harus gimana-gimana. Dari Jakarta, segera kubentuk grup WhatsApp berisikan semua anak. Kudengar dulu keluhan masing-masing mereka, lalu kudelegasikan tugas. Kakak pertama harus ini, kakak kedua dan ketiga harus ini dan itu. Tapi, koordinasi ini tidak efektif karena aku tidak ada di lokasi. Kedua, masing-masing kakak yang sudah berkeluarga agak kerepotan untuk mengurusi isolasi mandiri kedua orangtua. Ketiga, ketidaktahuan akan mitigasi pandemi yang benar dan detail membuat segalanya kian keruh.
Orangtua memintaku tidak usah pulang, karena kata mereka pulang pun akan ribet. Toh aku nggak akan bisa masuk ke rumah kecuali memang ingin ketularan positif juga. Lalu, karena di Jakarta aku tinggal di kantor, kepergianku menemui orang yang sakit kopid bisa menimbulkan kehebohan.
Tapi, setelah kupantau dalam beberapa jam tidak ada koordinasi yang baik, lalu hasil pemeriksaan dokter juga ditemukan adanya cairan dalam paru-paru mama, segeralah kuputar otak mencari jalan.
Atasanku mengabari kalau aku dipersilakan untuk ambil cuti dan segera pulang ke Bandung. Hari itu sudah jam 9 malam. Kalau aku paksa pulang naik bus, takutnya nanti ribet karena tidak ada kendaraan di Bandung. Kuambil waktu teduh sebentar, menaikkan doa sembari mencatat hal-hal apa saja yang bisa ditunda dan dilakukan segera nanti saat tiba di Bandung. Besoknya jam empat subuh, kupacu motorku dari Jakarta ke Bandung melewati jalanan Puncak.

Lima jam berselang, aku tiba di Bandung, di rumah kakak pertama. Kutarik napas dan melemaskan badan dulu setengah jam, lalu petualangan pun dimulai.
Etape 1: mencari kendi tanah liat
Dari Jakarta, kubawa dua bungkus ramuan herbal Cina yang katanya baik untuk pengobatan pasien kopid. Tapi, ramuan herbal ini cuma boleh direbus menggunakan alat yang bebas dari unsur metal. Alumunium juga tidak boleh. Panci yang paling aman cuma panci dari tanah liat.
Kuingat-ingat tempat atau toko yang sekiranya pasti menjual barang ini. Aha. Toko rampe, toko yang khusus menyediakan alat-alat tradisional dari tanah liat. Kadang di toko ini juga jualan kembang. Kuingat toko ini ada di Pasir Koja, di seberang apotek tersohor kota Bandung yang selalu ramai—Apotek Djaja.
Kubongkar semua isi ransel ukuran 35literku supaya nanti bisa dimasuki beberapa barang. Tiba di lokasi, panci tanah liat pun didapat dengan harga 60 ribu.
Etape 2: membelikan makanan
Setelah panci didapat, yang harus dilakukan setelahnya adalah membeli makanan untuk orangtua di rumah. Aku pergi ke Cibadak, ke pertokoan pecinan yang kalau malam berubah jadi sentra kuliner. Kubeli sebaskom sayur kuah seharga 60 ribu.
Etape 3: ke pasar
Dari Cibadak, kupergi ke Pasar Andir. Suasana pasar telah berubah banyak. Terakhir aku ke sini saat aku masih tinggal di Bandung. Pasar masih belum ada bangunan barunya.
Kubeli jahe setengah kilo, serai 10 ribu, pisang, mangga, dan buah-buah tropis lainnya.
Semua kumasukkan ke dalam ransel yang segera penuh dan berat.
Etape 4: dropping semua barang ke rumah
Rumah kami letaknya ada di tengah-tengah gang sempit yang cuma muat dua motor. Gang ini menjadi macet karena di tikungan-tikungannya diisi oleh gerobak bakso, cilok, dan lainnya. Meminta tolong para kakak perempuan yang kemampuan naik motornya tidak piawai untuk melibas gang sempit ini malah jadi repot.
Kugedor pintu, lalu mata mereka terbelalak melihat anak bontotnya ternyata pulang dengan motoran.
Kuletakkan semua yang sudah kubeli di lantai, lalu memberi instruksi kepada mereka dalam jarak 1 meter lebih.

Etape 5: membawa papa ke rumah sakit
Sudah tiga hari ke belakang papa bilang dia tidak bisa tidur dan selalu menggigil. Dia ingin ke rumah sakit, tapi takut pula. Rumor yang beredar di kepalanya adalah: kalau ke RS pakai BPJS nanti dikasih obat-obat yang gak paten, yang bikin tambah sakit.
Rumor itu kutepis. Daripada spekulasi yang tidak jelas, lebih baik ke RS beneran. “Nggak ada namanya masuk Rumah Sakit malah dibuat mati, itu mah konspirasi teuing dari mana,” sanggahku.
Karena tak ada mobil dan tak ada ambulans khusus yang mau membawa pasien kopid, akhirnya aku pesan taksi online yang menyediakan sekat pembatas antara penumpang dan supir. Untungnya ada driver yang bersedia. Aku mengikut dari belakang dengan naik motor. Setelah papa turun, kabin mobil itu disemprot oleh cairan desinfektan.
Sebenarnya membawa papa ke RS ini ketar-ketir buatku karena tidak pakai BPJS. Seandainya diopname, bisa bengkak berapa duit nih. Tapi, syukurlah dokter yang memeriksa di sana bilang kondisi tubuh papa itu sudah fit, jadi sama sekali tidak butuh opname. Menggigil tiap malam itu bukan respons tubuh yang berbahaya, tapi respons alami dari tubuh untuk berperang melawan virus. Kunjungan hari itu papa cuma ditambah resep parasetamol.
Etape 6: safari mencari tabung oksigen
Meski tidak ada sesak di dada mereka berdua, aku tetap mencarikan tabung oksigen. Dalam mengatasi sebuah krisis, perlu dipikirkan pula worst case scenario-nya. Kucari-cari kontak dari jemaat gereja dan dapatlah dua tabung oksigen yang kupinjam selama seminggu sampai nanti keadaan papa dan mama telah lebih stabil.

Etape 7: kembali mengatur koordinasi
Aku tak bisa cuti lama-lama. Mungkin ada kolega yang mencibirku sebagai anak yang kurang berbakti karena pulang mengurusi orang tua cuma sebentar. Tapi, kembali lagi, ini sakit kopid. Yang dibutuhkan sebenarnya di sini adalah ketelatenan dalam bahu-membahu.
Panitia sosial dari gereja memberikan bantuan berupa katering makanan selama beberapa hari. Sementara itu ada beberapa kerabat juga turut menolong dengan memberikan uang, obat-obatan, dan makanan.
Puji syukur dan terima kasih untuk semua pertolongan itu.

Etape 8: berpacu lagi ke Jakarta
Setelah keadaan lebih baik—konsumsi untuk orangtua tersedia, mereka tidak mengalami keluhan fisik sekunder, aku mohon pamit untuk kembali menarik gas ke Jakarta.
Enam jam lebih kuberpacu di atas aspal, dengan insiden kacamataku jatuh di Cimahi. Sepanjang perjalanan berasa sediki rabun, tapi untunglah dapat selamat kembali sampai di Jakarta.
Refleksi dari perjalanan singkat—perjalanan pulang yang tak berasa pulang ini—adalah krisis perlu diatasi dengan koordinasi. Dalam krisis seringkali kita terlalu berfokus pada rintangan hingga melupakan peluang apa yang hadir di sekeliling. Melihat kedua orangtua yang terisolasi dalam rumah, diperlukan koordinasi siapa-siapa yang bertugas untuk menolong ini dan itu.
Aku sangat berterima kasih kepada pihak yang suportif. Postinganku di media sosial direspons kerabat dan kawan dengan dukungan moril dan benda-benda fisik yang sangat menolong dalam proses pemulihan kedua orangtuaku. Dan ini semua adalah berkat. Berkat itu tak melulu bicara soal ketiadaan duka dan derita, tetapi dalam duka dan derita sekalipun, ada damai sejahtera yang melampaui segala akal yang memelihara hati dan pikiran kita. Pertolongan dari Sang Ilahi mewujud lewat doa, perhatian, kiriman barang, dan lain-lain dari banyak orang.
Sempat terpikir dalam masa-masa ini, seandainya aku mampu membeli mobil, tentu aku bisa menolong lebih. Tapi, pemikiran itu lantas membuatku merasa minder dan lupa bahwa kadang matematika Tuhan itu berbeda dari jalan pikir kita. Aku percaya, ketika cuma motor yang kumiliki saat ini, diberi-Nya kekuatan untuk mengendarainya ke mana pun aku butuh pergi. Pun untuk kedua orangtuaku, ketika bakti yang kuberikan saat ini belum mampu memberikan kelimpahan materiil, kupercaya waktu-waktu yang kuberikan buat mereka dapat memberkati mereka, dan Tuhan pun mengaruniakan mereka dengan kesehatan yang prima agar hari-hari mereka dapat mereka nikmati.

Memang keadaan pandemic yang kita lewati ini banyak meninggalkan cerita ya mas…..cerita yang bisa kita ceritakan ke anak cucu kita nantinya
Semoga keluarga sehat semuanya mas…..Aaamiiiin
Semoga orangtuamu selalu sehat. Titip salam buat mereka.
Amin. Makasih mbakk