Tujuh ratus kilometer bukan jarak yang jauh-jauh amat jika kita bepergian di Jawa dengan naik pesawat atau naik mobil melintasi jalur tol, tapi jika naik motor lain ceritanya.
“Gila lu,” kata seorang temanku. “Naik kereta atau bis aja kenapa sih? Kan lebih aman.”
“Emang, tapi bukannya gak mau. Ribet harus colok-colok idung. Lagian ini kan bakal perginya dua minggu. Enakan naik motor gampang kalau ke mana-mananya,” jawabku memantapkan keputusan.
Setelah Desember lalu aku naik motor dari Jakarta ke Solo lalu balik lagi ke Jakarta via Bandung, aku ketagihan. Jalanan aspal pantura, debu-debu yang membikin muka kusam, dan sensasi menyalip truk-truk gandeng lebih terasa nikmat alih-alih mengerikan. Jadi, ketika permohonanku untuk mengajukan kerja selama dua minggu di luar Jakarta disetujui oleh kantor (sekalian ada proyek untuk membangun basis volunteer baru di Semarang), segeralah kusiapkan segala persiapan untuk mengarungi perjalanan terjauh pertamaku dengan motor seorang diri.
Dari Batavia ke Karawang
Pekerjaanku di Semarang baru dimulai hari Senin. Sedari Kamis malam, aku berangkat duluan. Kebetulan Jumatnya adalah Jumat Agung, jadi aku punya waktu kosong selama tiga hari.
Dari Jakarta, kupacu motorku ke timur melintasi pesisir utara Jawa. Nah, jika aku seorang vlogger, mungkin akan lebih asyik menceritakan perjalananku di sepanjang lintasan ini, tapi waktu itu aku tak punya alat rekam yang memadai sehingga tak ada video perjalanan panjang yang bisa kusajikan di sini.
Pantura ialah jalan arteri yang tua. Sejarahnya yang paling kita kenal terjadi pada era Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels yang memerintahkan proyek raksasa abad itu: membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan. Tapi, jalur De Groote Postweg yang dibangun Daendels itu tidak 100% melintasi pantai utara. Dari Batavia, jalur dibangun ke selatan menembus perbukitan Puncak sampai ke Bandung.
Bandung pada masa itu belum menjadi kota modern seperti sekarang. Bandung cuma sebuah kampung yang letaknya terpencil diapit pegunungan. Pembangunan jalan dari Megamendung sampai ke Bandung ini butuh upaya ekstra, tak sekadar meratakan jalan. Petak pembangunan yang ekstrem ada di Cadaspangeran, ketika De Groote Postweg hendak diarahkan kembali ke utara: dari Bandung melintasi Sumedang sampai bertemu di Palimanan, Cirebon.

Sumber: Wikimedia Commons

Sepanjang pantura Jawa Barat yang bukan bagian dari Jalan Raya Pos, suasananya gersang. Dari Jakarta sampai Bekasi, pemandangan yang ditemui cuma macet yang tiada berujung. Di depan stasiun Bekasi, supir angkot dengan antengnya ngetem.
“Brengsek,” umpatku dalam hati. Macet mengular jauh ke belakang, tapi supir itu tetap anteng dengan sebatang ududnya.
Sambil menahan geram, otakku segera mengoreksi pemikiran tadi: “Maklumin aja. Mereka hidup di jalanan. Memangnya ada tempat ngetem yang proper buat mereka di sini?”
Iya juga ya. Sepanjang jalan Ir. H. Djuanda, di tepian rel tak ada spasi yang lebih lebar untuk jadi arena berhenti angkutan umum. Jadi, macet di sini (juga di banyak kota besar) tidak terjadi karena faktor tunggal. Selain memang supir angkot yang sembarangan berhenti, kadang pula penumpangnya malas untuk berjalan lebih jauh.
Macet masih belum reda. Lepas stasiun, ada proyek pembangunan underpass Bulak Kapal. Kebul dan bising. Nafas jadi lebih berat di dalam helm full-face dengan hidung tertutup masker. Badan pun terasa disauna. Satu jaket Eiger didobel dengan rompi Respiro kebal angin. Saat macet tiba, gerahnya tak terkatakan.
Setelah Bekasi kota terlampaui, barulah perjalanan jadi lebih adem. Kulirik jam, sudah lewat jam sembilan malam. Jika diteruskan sampai Cirebon dengan kondisi badanku yang langsung tancap gas sepulang kerja, bisa-bisa tumbang yang diraih. Di kota Karawang, kupilih bermalam di penginapan mepet sawah yang harganya bersahabat di kantong.
Dari Karawang ke Semarang
Etape kedua seharusnya dimulai sejak matahari terbit, tapi karena semalam kelelahan alhasil tiga seri alarm tidak ada yang mempan membuat bangun.
Jam setengah sembilan, motor baru kupacu meninggalkan Karawang. Lebih lambat dua jam ketimbang perjalanan pertama. Nyaris tak ada yang istimewa sepanjang Pantura dari Karawang sampai Cikampek. Suasana kumuh di kiri kanan jalan, banyak truk dan motor berseliweran. Debu jalanan juga menyesakkan hidung, mau tak mau visor helm harus selalu ditutup.
Cikampek pada tahun 2021 tak lagi sama. Sejak Tol Cipali rampung, tak ada lagi kemacetan bak neraka di Simpang Jomin. Nyaris tak ada kendaraan pribadi yang niat menyusuri Pantura lama. Kecuali orang itu iseng atau memang secara sengaja tidak ingin lewat tol.
Jika kita perhatikan di peta, jalur pantura lama yang membentang dari Cikampek sampai Cirebon jalurnya mengarah sedikit ke utara, lalu menyusuri tepian pantai Laut Jawa di Indramayu. Berbeda dengan jalur kereta api atau tol yang tidak mengikuti kontur bibir pantai. Alhasil, jarak tempuh melalui pantura lama lebih jauh sekian puluh kilometer dibanding tol.

Selepas Cikampek, jalan lurus tersaji sejauh mata memandang. Adem? Tentu tidak. Ini Pantura. Udara panasnya membakar tubuh. Buka jaket tidak jadi solusi. Alih-alih adem, yang ada malah paru-paru basah nantinya.
Di tepi pantai Eretan, kutepikan sejenak motorku. Maksud hati ingin berswafoto, tapi matahari terlalu silau. Aku sampai di Eretan sudah terlalu siang, sudah hampir jam 11.
Eretan. Namanya tak istimewa. Kecamatan ini paling-paling hanya muncul di media nasional ketika reportase jalur mudik dilakukan. Tapi, tujuh dekade lalu Eretan ini punya cerita besar.
Tahun 1942, pasukan Nippon berhasil mendarat di Jawa, di Pantai Eretan. Dari sini, mereka merangsek ke selatan, berusaha menjatuhkan pertahanan Hindia Belanda yang menjalankan pemerintahan di Bandung. Pergerakan pasukan Jepang mengalami perlawanan di Subang dan Lembang. Tapi karena kalah jumlah dan etos tempur, Hindia Belanda tak mampu bertahan. 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Perjanjian ini lalu ditandatangani di Kalijati, Subang, menjadi tengara berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda atas Jawa dan sebagian Nusantara sejak runtuhnya kompeni VOC.

Di Eretan kuisi bensin di tangki motor sampai penuh, totalnya 100 ribu. Motor dipacu lagi, kali ini karena waktu sudah terlewat siang kupikir akan berhenti dulu di Cirebon. Tapi sial, rencana itu jadi wacana karena di Arjawinangun ada pasar yang membuat macet sampai 10 kilometer lebih.
“Sialan,” mulutku mengumpat. “Tahu gitu tadi ambil jalan lewat Karangampel.”
Di pertigaan Jatibarang, ada dua jalan yang bisa kita tempuh untuk mengarah ke Jawa Tengah. Kita bisa belok kiri ambil jalur menuju Karangampel, atau lurus via Arjawinangun.
Karena perjalanan pertamaku lewat Arjawinangun, ya kulewat sini lagi. Tak terpikir olehku kalau hari itu cuma H- sekian dari hari pertama puasa. Alhasil warga membeludak ke pasar. Jalan dua jalur di depan pasar berubah jadi tempat parkir becak dan bus. Beruntung motor masih bisa lewat. Sepanjang sepuluh kilometer tadi, supir truk cuma pasrah. Mereka buka baju, ngobrol, dan minum kopi dari gelas plastik sambil berdiri di luar kendaraan.

Pantura Jawa Tengah
Jam dua lebih, dengan kepala lumayan puyeng karena kurang minum akhirnya aku sampai di Tegal.
Cuaca Pantura di siang bolong bak padang gurun. Kupilih berhenti di KFC. Selain harga makanannya sudah kita tahu, makan di sini juga jadi kesempatan untuk tubuh merasakan dinginnya AC.
Setengah jam berhenti, kulanjutkan lagi perjalanan menyusuri Pemalang dan Comal. Di dua kota ini aku ambil jalan Bypass biar cepat. Di Pekalongan, baru kuambil jalan masuk ke dalam kota.
Suasana kota-kota Pantura Jawa Tengah ini begitu khas. Kotanya tidak rindang. Debu jalanan terlihat menempel di rumah-rumahnya. Telah lebih dari seabad jalur Pantura menyokong denyut nadi perekonomian Jawa, kendati dulu tujuan utama dari dibangunnya jalur ini sebenarnya lebih ke arah militer.
Selepas Pekalongan, suasana hijau akhirnya diraih ketika motorku memasuki Alas Roban.
Zaman dulu, Alas Roban adalah tempat yang dibalut cerita mistis yang kental, meski menurutku yang lebih seram itu sebenarnya bukan soal setan yang gentayangan, tapi para begal atau bajing loncat yang bisa berbuat jahat lebih kejam daripada setan itu sendiri. Jika kita lihat dari kacamata sosial, setiap hutan (alas) atau tempat lainnya sering dibumbui oleh kisah mistis itu sebenarnya memberikan manfaat secara implisit. Dengan hadirnya mitos, setidaknya itu bisa jadi tameng pertama untuk orang-orang tidak bertindak kurang ajar. Tapi, di abad 21 ini, mitos-mitos itu tak lagi kuat untuk membendung gelora kekuasaan. Semisal, jika kita mengikuti berita-berita progresif, warga Wadas di Purworejo dengan gigih masih dan terus berjuang agar tanah tempat hidup mereka tidak diubah menjadi tempat pertambangan.
Alas Roban pada tahun 2021 tak ubahnya jalan antar kota pada umumnya. Yang lestari hanyalah cerita seramnya yang dituturkan dari mulut ke mulut.
Dari Alas Roban, kota yang kulewati adalah Weleri. Tak banyak cerita di sini karena aku sudah kebelet. Ingin ke toilet tapi malas. Kupacu terus motor agar bisa sampai di Semarang tidak kemalaman.


Semarang sampai Tuban
Setelah menginap satu malam, kulanjutkan perjalananku ke Tuban.
Jalur Pantura di timur Semarang relatif lebih sepi daripada sisi baratnya. Sebagian kendaraan sudah terpecah jalur. Mereka yang ingin ke Solo/Jogja akan melalui jalur Ungaran sampai Bawen. Yang mau ke Kudus, Rembang, Tuban, sampai Surabaya (via utara) akan tetap di jalur ini.
Perkenalanku dengan jalur Pantura timur ini terjadi pada tahun 2005. Waktu itu, aku sekeluarga naik mobil dari Bandung ke Jombang via Pantura. Tak ada cuplikan detail dari perjalanan itu yang kuingat selain daripada mobil Suzuki APV yang sesak penumpang. Barulah 16 tahun berselang, kulalui kembali jalur ini. Segmen yang paling berkesan ada di petak antara Lasem sampai Tuban.
Di petak ini, jalan raya bersandingan dengan tepi laut. Hari itu ombak sedang tinggi, sesekali air laut muncrat sampai ke jalan.
Di daerah Bonang, Lasem, kulihat ada jalan tanah di sisi kiri dengan area terbuka yang bisa kujadikan tempat parkir motor. Kunyalakan lampu sen, ban motorku berpindah dari aspal ke jalan berdebu. Akhirnya, aku melepas helm dan duduk santai di samping ban depan motorku. Di hadapanku, adalah Laut Jawa menghampar. Lautnya tidak jernih, juga tidak menawan ombak-ombaknya.
Air laut berwarna coklat, mirip seperti air kali yang membawa banjir beserta sampah-sampahnya. Dibilang indah, kurasa tidak, tapi dibilang busuk dipandang pun tidak. Kunikmati saja angin sepoi-sepoi dari tepi laut itu menerpa tubuhku.





Dalam dua hari ini, sudah hampir 700 kilometer kulalui di atas motorku sendirian. Sebelum perjalanan jauh ini dimulai, kutanyakan pada diriku sendiri: “Kamu pergi jauh gini mau buat konten?”
Kujawab dengan menggelengkan kepala.
Tidak. Konten bukan tujuan utamaku. Pergi adalah naluri dan kesukaanku sejak ingatanku mulai terbentuk. Mamaku bilang kalau waktu orok aku sudah diboyong ke Surabaya dua kali dari Bandung. Pertama naik Daihatsu Zebra Espass, kedua naik kereta ekonomi Pasundan yang pada tahun 1995 kondisinya tentu jauh berbeda dengan kereta zaman sekarang.
Perjalanan seorang diri nan jauh ini terasa amat sentimentil. Setiap kilometernya kulalui dengan putaran balik memori, juga kidung-kidung yang tanpa sadar kudaraskan dari hati dan mulutku.
Umurku telah menginjak 27 tahun. Perjalanan ini mengingatkanku bahwa seiring usia yang makin menanjak, aku akan melihat lingkaran sosialku yang menyusut. Ada kawan yang gugur karena tugasnya di bumi usai, ada pula yang terlepas dari lingkaran itu karena tak lagi sejalan pikirannya. Pada akhirnya, kebersamaan akan mencapai titik akhir ketika ajal datang menyapa. Toh tidak ada orang yang meninggal rame-rame. Kita lahir seorang diri, meninggalkan dunia pun kelak seorang diri.
Perenungan ini kurasa bukanlah sebuah kegalauan, tetapi sebuah kesadaran akan hakikat dari kehidupan: yakni sebuah perjalanan dari titik awal ke titik akhir.
Aku hampir saja lupa kalau Lasem bukan tujuan akhirku hari ini. Kukenakan lagi jaketku. Kususri kembali jalan arteri di tepi laut ini sampai ke Tuban, Jawa Timur.
Di depan gapura perbatasan antar provinsi, kuparkirkan motorku dan kufoto dia sebagai bukti kalau si motor merah ini telah menginjakkan kaki di seluruh provinsi pulau Jawa.
Sungguh, aku merasa bak seorang juara meski tak ada medali atau piala di tanganku.
Tiba di Tuban, dengan motorku seorang diri memberiku kepuasan batin.
Perjalanan jauh tidaklah jauh jika itu dilakukan dengan sukacita di hati.
Pesisir Pantai Tuban, 3 April 2021

Salut, 700 km pakai motor. Aku dari Bandung ke Bogor via Puncak aja udah pegel-pegel berhari-hari. Tapi seru juga sih ya, mungkin kalau mau coba, aku harus bagi dalam segmen yang lebih banyak. Slow riding aja gitu.
Sensasi motoran sendiri beneran mas, sentimentil banget. Apalagi pas berenti sambil dengerin lagu instrumen piano Gardika Gigih. Berasa melownya banget hehehe.
Ide bagus mas, motoran tipis-tipis Jkt ke Serang atau Bogor jg mayann 😀
Jalur Pantura memang gitu-gitu aja dan terkesan datar. Tapi bagi beberapa orang termasuk saya, Jalan Pantura mampu menyajikan perspektif yang berbeda serta menawarkan perjalanan kotemplatif yang menarik.
Salam kenal ya mas. Salah satu penikmat Jalur Pantura beserta kota-kota kecil yang dilaluinya, hehe.
Bener mas.
Gersangnya, ditambah dengan motoran di siang bolong beneran kerasa panasnya. Apalagi pas lagi kejebak macet di Arjawinangun.
Tapi, tetep aja nggak kapok sih.
Pantura di balik gersang dan seramnya, memberikan kesan sentimentil pada tiap kilometernya.
Salam kenal juga mas.
Hahaha awal-awal perjalanan penuh umpatan lantaran banyak peristiwa terduga yang bikin rencana gagal, yaa. Wkwwk. Menikmati sekali tulisan ini. Tapi sepanjang baca sempat geleng-geleng sambil melongo, “Gileee … 700 kilometer dengan motor! Capek banget nggak, sih?”
Sehat selaluuuu semoga bisa motoran ke tempat-tempat lainnya!
Btw, pengin banget ke Lasem!
Thank you Kak Sintia udah mampir.
Kalau kamu pengen ke Lasem, aku pengen nyobain ngebis ke Sumatra. Belom kesampean dan ngebet banget duduk sampe bokong nyatu sama jok bis wkwkwk
Benaran, aku terpikir mau menyusuri sedikit jalur ini tapi naik sepeda. Minimal dari Semarang ke Lasem. Kemarin dari Rembang, lihat jalurnya dan angin pas ada truk lewat rasanya pengen melayang hahahahahaha
aduh mas, kalau naik sepeda aku membayangkannya aja udah menggeh-menggeh haha.
tp kalau waktu yang tersedia banyak sih good idea mas! Cuma kalau jalan siang, apakah gak kepanggang mas?