Ketika pandemi muncul, statistik yang diberitakan setiap hari terasa hanya sekadar angka-angka yang tertera.
Namun, belakangan ini statistik itu terasa jauh lebih personal. Di balik angka-angka kasus yang tiap hari kian bertambah, ada orang-orang dalam lingkaran sosial kita di sana. Saban hari kita mendengar berita si A, si B, si C, dan lainnya terdeteksi positif. Media sosial kita juga tidak sepi dari kabar-kabar pilu. Atau, di dunia nyata, kita bisa mendengar sirine ambulans yang berlalu lalang lebih sering dari biasanya.
Tanpa perlu menjelaskan lebih panjang lagi, kurasa kita mungkin sepakat bahwa hari-hari ini keadaannya tidak lagi biasa. Duka dan rintih jadi lebih sering hadir di sekeliling kita.
***
Beberapa hari lalu, keluargaku di Bandung memberi informasi kalau kakakku mengalami sakit demam dan agak flu yang tak kunjung sembuh.
“Aduh. Udah berapa lama ini nggak sembuh?” tanyaku lewat telepon.
“Tiga hari, Ri,” jawabnya dengan nada lemah.
Aku segera menaruh curiga. “Udah minum obat?”
“Udah. Minum paracetamol, tapi gini terus.”
Kecurigaanku menjadi nyata ketika kakakku (atas desakan dari kakak lainnya) akhirnya bersedia diswab. Hasilnya: positif!
Efek domino pun terjadi. Suaminya turut dinyatakan positif. Kami segera melakukan tracing mandiri. Kakakku mengingat lagi selama seminggu ke belakang dia telah bertemu dengan siapa saja: ada kakak pertama kami, mama kami, juga anaknya. Mereka yang telah berkontak segera melakukan isolasi mandiri. Mama sempat mengomel ketika diminta mengisolasi diri. Dia merasa badannya sehat dan sempat menentang rencana kami walaupun akhirnya bersedia menurut.
Hingga ketika tulisan ini ditulis, keadaan kakakku belum stabil sepenuhnya. Saturasi oksigen menunjukkan angka normal, tetapi lambungnya cukup bermasalah. Sejak dua hari tidak bisa diisi makanan. Dari Jakarta, aku mengontak dokter rekanan dari kantorku untuk memberikan resep buat kakakku di Bandung. Setelah resep selesai dibuat, menebus obat-obat ini jadi petualangan tersendiri. Dengan posisi kakakku dan suaminya yang diisolasi, serta kakak dan mama kami yang juga melakukan isoman karena kontak erat, tak mudah menjumpai orang yang berkenan dimintai tolong. Biaya obat pun tak bisa dianggap murah: 2 juta lebih!
Singkat cerita, obat berhasil didapat dengan bantuan seorang temanku yang apoteker di Bandung, tetapi masalah belum selesai. Meski telah diberi obat lambung, perut kakakku tetap tak kuat untuk menenggak obat-obat lainnya. Muntah.
“Nggak bisa ini sih, harus ada penanganan dokter,” kakak pertamaku mengabariku lewat voice notes. “Tapi, semua rumah sakit penuh,” lanjutnya lagi.
Aku sepakat dengan pendapat itu. Sembari kakak pertamaku mencari informasi mengenai prosedur membawa pasien ke RS, aku membujuk kakakku yang positif ini untuk melembutkan hatinya bersedia dirawat di RS. Tetapi, masuk RS baginya adalah momok menakutkan. Ide ini ditentangnya dengan tangisan keras.
Gejolak emosiku tersulut, “Pikirannya jangan gitu! Mending dirawat di RS atau kesakitan di sini terus amit-amit meninggal?!”
Kuberi ultimatum. Jika sampai nanti malam tidak ada perubahan berarti pada kondisi perutnya yang melilit dan selalu muntah, kakak pertamaku akan memaksanya untuk dilarikan ke RS kendati setibanya di sana kami pun tak yakin ada RS yang masih bisa menampung.
Kutelepon lagi dokter dan menceritakan keluhannya. Obat tambahan sekaligus pengganti pun diresepkan. Syukurlah, kali ini gejolak di perutnya mulai mereda meskipun agaknya masih jauh dari kesembuhan total.
***
Cerita di atas hanyalah sekelumit dari ribuan narasi tentang perjuangan mendapatkan pengobatan di tengah badai pandemi hebat. Banyak kisah lainnya diakhiri dengan getir. Mereka yang berjuang melawan penyakit ini tak mampu bertahan, meninggalkan orang-orang terkasihnya dalam kedukaan yang terasa aneh—tak ada upacara pemakaman, tak ada dekap dan peluk, tak ada kehadiran fisik dari orang-orang terkasih.
Celakanya, sampai di titik krusial ini pun kita masih mudah menjumpai orang-orang yang menyangkal hadirnya pandemi ini dengan menggelontorkan narasi kusut tentang konspirasi.
Sedikit lebih baik dari itu, kita pun menjumpai orang-orang yang percaya akan adanya pandemi ini. Tetapi, mereka cuma sekadar percaya, seperti yang ditayangkan pada video di akun Instagram Ganjar Pranowo.
Kita telah tiba di titik di mana musuh telah masuk menjebol berlapis-lapis dinding pertahanan kita.
Sekadar percaya bahwa virus-virus tak kasat mata ini ada tidaklah banyak menolong jika tidak diimbangi dengan aksi nyata: memakai masker dobel, membatasi mobilitas dan pertemuan fisik jika memang tugas dan tanggung jawab kita bisa mengakomodirnya, serta mengikuti semua anjuran dan instruksi dari pihak-pihak yang kredibel.
Dan, sebagai tambahan yang tak kalah krusial daripada poin terakhir ialah: janganlah kiranya kita asal-asalan membagikan informasi. Dalam formasi pertempuran, pasukan hanya akan mendengar instruksi dari pemimpinnya. Pada kasus kita, mintailah dan dengarlah anjuran dari mereka yang memang kompeten seperti dokter atau tenaga medis.
Kita masih tidak tahu kapan pertempuran melawan virus yang variannya semakin banyak ini akan berakhir, tetapi satu hal yang pasti ialah melawan pandemi dibutuhkan aksi-aksi kolektif yang terstruktur.
Semoga kita semua bertahan melalui badai kelam ini.
Lekas sembuh keluarganya, mas.
Saya pernah merasakan sendiri positif covid, beruntungnya tanpa gejala. Sehingga mungkin lebih agak tenang. Waktu itu langsung isoman difasilitasi tempat kerja. Pokoknya, tahun-tahun ini, kita sehat adalah sebuah pencapaian luar biasa.
Iya mas, kesehatan jadi nggk terkira. Obat-obatan buat koped nih lumayan nguras isi dompet.
Sedih sekali. Semoga keluarganya lekas pulih ya.
Semoga juga semua ini cepat berlalu.
Keluarga kami juga sudah ada yg mengalami. Syukur mereka telah pulih dengan menjalani isolasi mandiri tanpa harus opname.
Turut senang kak keluarganya sudah pulih.
Berharap segala upaya yang kita lakukan bisa berbuah manis di waktu-waktu mendatang ya.
Sehat selalu kak!