Cita-cita.
Kata ini sering ditanyakan pada anak-anak kecil. Jawaban mereka pun beragam. Ada yang dengan semangat menyebut profesi tertentu, ada pula yang bingung mau menjawab apa.
Setelah kita dewasa, cita-cita yang dulu kita dambakan akhirnya berjumpa dengan realita. Sebagian ada yang berhasil mewujudkannya, sebagian lainnya kandas, atau ada pula sebagian lainnya yang masih mendayung keras untuk tiba pada cita-cita itu.
Topik soal cita-cita ini kebetulan mencuat di benakku ketika aku menemukan artikel yang ditulis oleh Geger Riyanto di situs DW Indonesia. Artikel itu bertutur sedikit tentang Doraemon, si robot cerpelai biru. Ketika generasiku—para milenial—masih di fase bocah, mereka amat menggemari kartun ini sebagai tayangan yang jenaka, tentang Nobita yang sering dirundung dan selalu merengek pada Doraemon. Tapi, ada bagian yang dulu tak pernah kita pikirkan dengan dalam. Pada beberapa episodenya, terselip kisah tentang ayah Nobita yang kehilangan jalan untuk jadi pelukis. Ayah Nobita pada akhirnya cuma jadi pegawai kantoran biasa yang menafkahi seorang istri, anak, dan seekor robot cerpelai biru yang suka makan dorayaki.
Setelah masuk pada usia dewasa, aku, dan warga milenial lainnya yang mengikuti akun-akun nostalgia soal Doraemon mulai mendapati hal-hal yang sedianya jenaka ternyata malah menyuguhkan cerminan kenyataan yang kebanyakan orang harus hadapi. Apa yang dihadapi oleh ayah Nobita rupanya juga mulai dijumpai oleh sebagian besar kita.
Memaknai cita-cita
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan cita-cita sebagai ‘keinginan yang selalu ada di dalam pikiran; atau tujuan yang sempurna yang akan dicapai atau dilaksanakan.”
Cita-cita selalu berkaitan dengan keinginan kita. Dan, kita tentu setuju bahwa keinginan manusia bukanlah sebuah tujuan atau hasrat yang tetap. Ia seringkali berubah-ubah.
Waktu duduk di sekitar kelas empat SD, cita-citaku ingin jadi supir bus malam atau masinis kereta api karena merasa asyik bisa bepergian lintas kota. Selepas SMP hingga SMA awal, cita-citanya berubah lagi: ingin jadi dokter, lalu demi mewujudkannya jurusan IPA pun dipilih meskipun hasil tes minat bilang bakatku ada di bidang sosial. Di kelas tiga SMA, cita-cita yang telah direvisi dua kali ini harus direvisi lagi. Mama bilang aku perlu pikir-pikir lagi jika ingin kuliah kedokteran. Saingannya banyak, katanya. Dan, uang kuliahnya terlampau besar. Penghasilan dari berjualan makanan tidak akan cukup untuk menutupinya, tambahnya lagi.
Aku pun merenung. Mencari-cari alternatif untuk merevisi cita-cita. Muncullah ide jadi wartawan, karena aku suka jalan-jalan. Dengan jadi wartawan, aku bisa jalan-jalan untuk cari berita. Menyenangkan!
Masuklah aku ke kampus fakultas ISIP di Jogja, mengambil jurusan Jurnalistik pada semester ketiga, dan menuntaskan skripsi dengan penelitian di sebuah koran online di Jakarta pada semester delapan. Seharusnya jalan untuk menjadi wartawan terbuka lebar. Mata kuliah Jurnalisme cetak dan online sudah kuambil. Menyunting dan menata surat kabar pun mata kuliah ini aku dapat A. IPK-ku juga memuaskan dengan predikat cum laude.
Sehari setelah sidang skripsi, bahagia membuncah. Rasanya angkasa begitu cerah dan aku meraih kemerdekaan untuk menentukan pilihan dan meniti jalan hidup.
Tapi, perasaan itu tidak awet. Besoknya, aku mulai bingung. Habis ini mau kerja ke mana?
Selama dua bulan setelahnya, kumelamar kerja ke sana sini. Gagal di A, coba di B, berjuang di C, dan akhirnya berlabuh di D setelah melewati rangkaian proses yang panjang, yang melibatkan rasa was-was dan bimbang.
Terhitung sejak 5 Desember 2016, sampai detik ini, perjalananku mengejar cita-cita telah berbelok jauh. Apa yang kujalani sejak tanggal itu tidaklah tertuju pada pekerjaan menjadi wartawan yang pernah kuinginkan.
Sempat beberapa kali aku hendak putar kemudi, menemukan kembali jalur pelayaran yang menurutku akan lebih tepat. Tapi, berulang kali pula keinginan itu terpatahkan oleh beragam kesempatan yang menurutku dirancangkan oleh Sang Ilahi.
Berjumpa dengan panggilan
Gagal meraih cita-cita pernah menjadikanku tawar hati. Kulihat teman-teman di media sosial yang tampaknya begitu sukses dan menikmati pencapaian mereka. Semangatku rasanya makin ciut, merasa samudera yang kuarungi terlampau tenang dan tak menjanjikan petulangan yang sepadan.
Hingga akhirnya, ketika aku tiba pada tahun kelima bekerja di tempat yang sama, aku menemukan sebuah benang merah.
Pekerjaanku di sebuah lembaga non-profit saat ini memang tidak menyuguhkan petualangan yang sesuai dengan dambaanku: pergi jalan-jalan dan menjelajahi dunia. Kenyataannya, aku menjadi orang kantoran yang duduk manis di depan laptop sepanjang hari kerja dan haus weekend setiap bulannya.
Tapi, dari rutinitas yang jujur sampai hari ini masih kurasa membosankan, aku berjumpa dengan sebuah panggilan.
Ketika aku masuk dan mengawali pelayanan karierku di sini, aku memulainya dari titik nol. Sebagai orang yang bertanggung jawab mengisi website dengan konten-konten yang relevan, aku tak punya orang-orang yang bisa kurekrut untuk menjadi relawan. Aku seorang diri tidaklah mampu untuk mengisi website dengan ribuan pageviews setiap bulannya. Tertatih-tatih kucoba banyak cara untuk memenuhi target dari atasan. Bosku pernah bilang begini, “Kamu memang bisa nulis lumayan bagus, tapi kurasa kekuatanmu yang paling kuat bukan di situ. Kamu bisa membangun jaringan volunteer dengan kemampuan komunikasimu.”
Kata-kata itu kumentahkan, kupikir akulah yang paling tahu tentang diriku sendiri. Aku tak merasa kompeten untuk menjumpai orang-orang baru dan mengajaknya untuk melayani bersamaku dengan menulis untuk website ini. Lagipula, aku tak punya jejaring yang besar, pikirku saat itu.
Keraguan itu akhirnya terkikis ketika ditabrakkan dengan keadaan yang keras.
Terjadi restrukturisasi pada departemenku di tahun 2018 akhir. Tim yang dulu berempat, berubah jadi dua, dan dua tahun berselang berubah lagi jadi satu orang, aku sendiri.
Barulah di sini aku mau tak mau mulai mencari orang-orang baru, mengontak, mengobrol, dan mengajak mereka untuk bergabung menjadi relawan. Pelan-pelan, obrolan awal yang dibuka dengan formalitas ajakan itu berubah menjadi karib. Dari relawan-relawan yang tak kukenal, mereka menjadi kawan yang menolongku menumbuhkan website ini menjadi bukan sekadar website, tetapi sebuah komunitas yang melayani untuk dan bersama anak-anak muda.
Tanpa kusadari pula, aku merasa senang berelasi dengan orang-orang, dan setiap perjumpaan dengan orang lain baik itu secara virtual maupun nyata terasa begitu menggairahkan. Aku senang mendengar cerita-cerita mereka, dan mereka pun senang mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam sebuah organisasi non-profit.
Aku memang tidak jadi wartawan, pun aku tidak dikirim berdinas ke banyak tempat.
Tapi, dari pekerjaan ini, relasiku melebar, jejaringku semakin kuat. Benang merah pun kutemukan. Dicemplungkan dalam kegiatan organisasi sejak masa SMA, baik itu di gereja maupun di tempat studi, kuliah mendalami Ilmu Komunikasi, rupanya menjadi pondasi utama dari apa yang kulakukan sekarang: membangun komunikasi yang jernih dan bersifat suportif dengan orang-orang di sekitarku.
Cita-citaku mungkin meleset jauh, tetapi akhirnya aku menjumpai panggilanku.
Berbeda dengan cita-cita yang selalu berasal dari keinginan diri sendiri, panggilan seringkali bertentangan dengan apa yang jadi hasrat diri kita.
Panggilan tidak berbicara tentang apa yang diri kita ingin lakukan, tetapi berbicara tentang kontribusi apa yang bisa kita berikan.
Cita-cita berasal dari hasrat hati kita sendiri, sedangkan panggilan berasal dari Sang Ilahi, yang menciptakan kita dengan tujuan masing-masing yang unik dan khusus.
Kehidupan seringkali memanggil kita untuk masuk ke dalam ladang yang berbeda dari keinginan kita, dan itu bukanlah tanda kita orang yang gagal.
Kita bisa memeriksa diri kita: dalam tanggung jawab yang kita kerjakan saat ini, kebaikan apakah yang kita hasilkan bagi orang-orang sekitar kita?
Tidak setiap kita dipanggil untuk menciptakan karya-karya besar nan spektakuler, membangun bisnis raksasa, atau menjadi inspirator terkemuka, tetapi yang pasti adalah kita semua dipanggil untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab kita sekarang—yang terasa remeh, membosankan, dan mungkin menjengkelkan—dengan kasih yang besar.
Aku tidak tahu hari esok aku akan dipanggil untuk pergi ke mana atau akan melakukan apa, tetapi yang aku tahu dan percaya: ke mana pun aku diutus, Mukhalisku selalu menyertaiku.
Very well-written! Enjoyed your writings. Semakin dewasa saya juga merasa hal-hal yang menemukan jalannya ke hidup kita itu adalah hal-hal yang memang meant to be for us, regardless bagaimana perasaan kita terhadap hal-hal tersebut. Jadi, jalani dengan ikhlas dan rasa tanggung jawab itu menjadi kunci. Salam kenal btw!
Salam kenal kak! Terima kasih sudah mampir.
Ikhlas walaupun terkadang nyesek, melihat keinginan-keinginan yang tak terwujud. Tapi, balik lagi, ketika ikhlas, bisa melihat dengan jelas bahwa tidak semua yang kita inginkan di dunia bisa terwujud yaa kan :))
Sejauh ini sepengetahuanku, banyak orang yang tidak bisa meraih cita-cita masa kecilnya tp justru sukses di bidang baru yg digeluti Ar 🙂 Tetap semangat dan sehat selalu…
Betul banget, tak banyak orang yang bisa hidup sesuai cita-cita. Tapi memaksimalkan diri di tempat kita berada sekarang adalah upaya terbaik. Tak ada hal yang remeh.
Kadang dari hal-hal remeh yang kita kerjakan, kita mendapati makna hidup ya kak 🙂
Ari…. Tulisan mu sangat mewakili perasaan ku akhir-akhir ini. Aku jadi merasa tidak sendiri. Jadi terharu. Makasih yaa….
Nchuss, terima kasih ya. Semangattt!
Terimakasih sudah berbagi pengalaman, Bang. Sukses selalu! Semangat bekerjanya! Hehe
Terima kasih juga kak! Semangat dan sukses buat kakak yaa
Terkadang kita dibenturkan dengan kenyataan hidup, tapi itulah yang membuat kita kuat.
Terbentur, terbentur, lalu terbentuk 🙂