Ke Purwokerto Bukan untuk Jalan-jalan

Minggu terakhir di bulan Mei, akhirnya aku bisa pergi kembali ke luar Jakarta. Kali ini tujuanku adalah Purwokerto, namun untuk sampai ke sana perjalanannya panjang dan bukan untuk jalan-jalan. 

Sebulan sebelumnya, Roland, kawanku yang tinggal dan membuka toko di Sidareja mengabari kalau bulan Mei ini mamanya harus berobat lagi ke Purwokerto. 

“Nggak ada dokter jantung, Ar, di Sidareja,” jawabnya menanggapiku yang mengomel ngapain jauh-jauh ke Purwokerto ketika di desanya sudah ada bangunan rumah sakit umum. 

“Kalau kamu bisa ke Sidareja, sekalian kamu tolongin supirin mobil ke sana,” tambahnya lagi. 

“Iya wes, aku ngajuin cuti deh ke kantor. Tapi hari Minggunya jangan lupa kita ke Pangandaran, makan cumi.” 

Setelah kesepakatan dan jadwal terbentuk, Jumat sore kuraih ransel beratku, naik ojol ke terminal Kalideres. Calo-calo tiket mengerubung, “Ke mana bang?”. Kutolak dengan halus, “Ke Sidareja bang, udah tau mau naik Gapuraning.” Mereka pun membuyarkan diri. 

Bus yang kunaiki meskipun sudah ber-ac, tapi jauhlah dari kata nyaman. Beberapa joknya sudah kempes. Sampah-sampah bekas makanan tidak dibersihkan. Aroma AC-nya sungguh ambigu: dibilang harum tidak, dibilang bau banget pun tidak, tapi terasa tidak enak saja di hidung. Memang ada bus lain yang lebih anyar, tapi bus itu baru bertolak dari Jakarta jam tujuh malam. Kupilih bus yang lebih jelek ini karena jam berangkatnya yang lebih awal. 

Kursi kusam dan agak amblas
Sampah yang tidak dibersihkan

Namun, kesialan dalam perjalanan siapa yang tahu. Bus yang harusnya berangkat jam lima kurang malah mandek sampai jam enam sore gara-gara ada satu penumpang yang meminta supir untuk menunggu saudaranya. Adzan maghrib sudah berkumandang, terang di langit telah memudar, barulah bus kami merayap meninggalkan Kalideres, tapi Jakarta rupanya tidak ikhlas melepas kami dengan mudah. Ditahannyalah kami dengan macet yang mengular, sedari Slipi sampai ke Cawang. 

Macet saja tidak cukup membumbui perjalanan ini. Selepas Bekasi, kandung kemihku mulai penuh. Bingung aku pun, karena kurasa sejak jam 3 sore aku sudah tidak minum air. Barulah aku ingat kalau jam empat aku sempat makan pepaya satu mangkok. Sambil menahan pipis, dua penumpang di depan dan belakangku mengeluarkan suara, “Hoeekkkk….” Aroma muntahan semerbak dibawa aliran udara AC. Buru-buru kuraih minyak angin dan kuoleskan ke maskerku, kuping pun segera kututup dengan headset agar suara hoek-hoek itu terlupakan. Meski aku tidak mabukan, tapi melihat, mendengar, dan membaui aroma mabuk orang lain bisa mensugesti perutku untuk ikut bergejolak. 

Bus berhenti untuk istirahat di Nagreg
Macet karena ada bus pariwisata mogok

***

Perjalanan yang kupikir bisa selesai dalam 8 jam molor. Di Garut, macet lagi-lagi menghadang. 

“Udah sampai mana?” Roland mengirimiku chat. “Aku jadi tidur ayam, nungguin kamu gak sampe-sampe.” 

“Baru di Tasik,” jawabku. 

“Haduh, jam tiga masih di Tasik, masih lama itu.”

“Emang, yaudah sana lu tidur lagi.” 

Jam setengah enam, aku baru turun di Terminal Sidareja. Roland, dengan penampilannya yang mirip dengan engkoh-engkoh pasar sudah menungguiku di terminal dengan muka masam. 

Tiba di rumahnya, kutidur sekitar dua jam, lalu bangun lagi dengan setengah sadar. Perjalanan ke Purwokerto pun dimulai. 

Pegang kemudi

***

Antara Sidareja dan Purwokerto terbentang jarak sekitar 70 kilometer yang bisa ditempuh dalam dua jam. Aku memegang kemudi mobil, Roland duduk di sebelahku, dan mamanya di belakang. 

Sejak menderita sakit parah komplikasi jantung, ginjal, dan diabetes dua tahun lalu, Mama Roland wajib kontrol ke dokter, tapi tidak ada dokter yang kompeten di Sidareja sehingga mereka harus ke Purwokerto. 

Bagi orang yang muda dan sehat, perjalanan cuma dua jam tentu bukan perkara berat, tapi bagi yang sakit itu lain cerita. Roland tidak punya mobil. Untuk setiap kunjungan berobat dia harus sewa mobil berikut supirnya, tapi kali ini dia cukup sewa mobil saja karena supirnya telah diimpor dari Jakarta. 

Tiba di Purwokerto, kami mampir dulu ke klinik untuk mengambil rujukan, tapi kliniknya tutup dan Mama Roland juga lupa untuk memperpanjang rujukan pada kontrol bulan sebelumnya. 

Emosi Roland mulai merangkak, dia membentak mamanya. “Mama ini piye toh? Kan aku sudah bilang kalau mau berobat dicek dulu kliniknya. Ini malah tutup. Sia-sia dong kalau nggak bisa berobat.” 

“Sabar, sabar,” kataku menenangkan. Kuinjak lagi pedal gasku. “Ya wes, kita coba aja dulu ke rumah sakitnya. Kalau semisal di sana beneran gak bisa tanpa surat rujukannya, ya kita pulang. Tapi kan walahualam, coba dulu aja.” 

Tiba di RS Tentara Wijayakusuma, proses pendaftaran berjalan lancar. Karena tak ada surat rujukan akibat klinik langganannya tutup, kami masuk melalui jalur umum non-bpjs. 

“Antreannya ke 47 ya,” kata Mama Roland. “Sekarang baru nomor 18.”

Angka 18 ke 47 itu lama bukan main. Kami tiba di sana jam 11, dan jam 4 sore semua prosesnya baru selesai. 

Kutanya Roland, “Apa memang selama ini ya tiap kali berobat?”

“Ooo, ini mah lumayan. Pernah datang dari pagi jam 7, baru kelar jam 7 malem. Antrenya itu loh.” 

Ada beberapa dokter jantung di Purwokerto, tapi Mama Roland paling cocok dengan dokter Yusuf yang praktik di RST. Berdasar kesaksian pasien lain, dokter Yusuf disebut bagus, jadi pasien pun membeludak. Pasiennya tidak cuma dari kota Purwokerto, tapi dari kota-kota kecil di sekelilingnya juga. Dan, berhubung ini adalah RS Tentara, maka keluarga tentara adalah prioritas. Pasien umum harus menunggu lebih lama. 

“Astajim,” keluhku. “Gilak ya kalau ngantre selama itu. Nyerah deh.” 

Setelah semua obat-obatan tuntas dibeli, kami bersiap pulang kembali ke Sidareja. Langit mulai memudar cahayanya, kami menepi dulu di rumah makan Cahaya Mas. Di kota-kota kecil rumah makan Tionghoa selalu menyajikan suasana yang khas: bangunannya jadul, dinding penuh kalender, dan ruangannya yang lapang. Roland dan mamanya memesan mie, dan aku memesan semangkuk bubur yang ternyata porsinya jumbo. 

Walau jadul, tapi sudah menerima pesanan online
Penampakan rumah makan dari ambang pintu
Pilih aman makan bubur, karena jika diisi mie, perut yang sudah punya kendala lambung akan bergejolak.
Daftar menu di RM Cahaya Mas. Harganya lumayan mahal untuk ukuran kota kecil, tapi ini porsi besar.
Menutup perjalanan melelahkan dengan makan bersama

***

Antara Sidareja dan Purwokerto, di antara jarak desa dan kota itulah terbentang perjuangan seorang ibu dan anak. Roland adalah anak ketiga dan laki-laki satu-satunya di keluarga. Ketika ayahnya telah meninggal, dan dua kakaknya dipinang suami masing-masing, tersisalah Roland yang mau tak mau mengembalikan langkahnya ke titik nol. 

“Aku pengen jadi orang kantoran,” dia selalu mengeluh begitu kepadaku yang sering mengeluh jadi orang kantoran. “Jadi orang kantoran itu rasanya enak. Tiap bulan gak pusing ngitung untung rugi, gaji selalu tetap.” 

“Eits, rumput tetangga selalu lebih ijo, Lan,” pungkasku. “Aku ya pengen kok punya toko kayak kamu. Tinggal di desa. Nggak pusing dengan trend orang-orang Jakarta yang ritmenya cepet.” 

Dengan nada lebih lembut, dan sambil memandang langit gelap, kuberkata lagi, “Salib yang harus dipikul tiap orang beda-beda, tapi aku selalu percaya kalau masing-masing salib kita itu mulia. Pekerjaanku di kantor dan pekerjaanmu di toko sembari merawat mama, keduanya mulia.” 

Kemuliaan sebuah profesi tidaklah diukur dari berapa pendapatan yang diraih dan kenyamanan yang dinikmati, karena kita tahu persis berapa banyak orang-orang yang memiliki jabatan tinggi atau terpandang, dan berkecukupan secara dunia, malah menjadikan pekerjaannya itu sebagai sarana memuaskan ego sendiri. Pekerjaan tangan yang kita lakukan menjadi mulia ketika kita tahu kepada Siapa kita bertanggung jawab, dan dengan sepenuh hati meyakini bahwa yang kita lakukan itu mengerjakan bagi kita sebuah makna hidup. 

“Nggak banyak, Lan, anak muda seumur kita yang mau pulang ke rumah, mengubur mimpinya demi merawat orang tuanya. Kamu itu hebat. Perjuanganmu akan memberikan berkat yang sepadan. Merawat mamamu, itu mulia. Membuka toko dan jualan, itu pun mulia.” 

Selasa pagi, kami kembali berpisah. Ketika langit masih gulita, Roland sudah mengantarku di terminal bus, dan aku pun kembali pada panggilanku yang sampai saat ini masih menyabdakan untukku tetap berkarya di Jakarta. 

Duc in altum….  

Terminal Sidareja sekitar jam setengah enam pagi
Kembali ke Jakarta

6 pemikiran pada “Ke Purwokerto Bukan untuk Jalan-jalan

Tinggalkan Balasan ke aryantowijaya Batalkan balasan