Cerita di Awal Pandemi: Hati-hati Jangan Dekati Si Ary!

Ada kutipan yang bilang, “Lebih baik tidak usah tahu, biar hati tenang.” Tapi, dalam kasus pandemi, kutipan itu tidak berlaku. Semakin kita tidak tahu, justru semakin kita menjadi takut. 

Ceritanya begini: setelah kabar dua pasien positif Covid pertama diumumkan pada 8 Maret, tempat kerjaku mulai heboh. Tapi, bukan cuma tempat kerjaku saja rasanya, jagad dunia maya pun ikutan panik. Pengumuman pasien positif per hari ditunggu-tunggu, tanpa kita sendiri tahu gejala jelasnya seperti apa. Sebulan sebelumnya, video-video tentang orang-orang yang tiba-tiba bertumbangan di jalan di Wuhan lumayan viral. Dalam imaji orang saat itu, terjangkit Covid sama seperti ‘menjadi zombie’. Tiba-tiba meninggal. Atau harus masuk RS dan dipasang ventilator. 

15 Maret 2020, jelang seminggu setelah pengumuman kasus pertama, kegiatan peribadatan di gereja masih berlangsung, tapi dengan suasana simpang-siur. Minggu paginya, aku masih pergi ke gereja untuk kebaktian jam enam. Kebaktian jam sembilan dan lima sore ditiadakan. Meski pakai masker belum diwajibkan, tapi semua jemaat sudah memakainya. Di pintu depan tidak ada jabat tangan, adanya ditetesi sanitizer. 

***

16 Maret 2020, kantorku memulangkan stafnya setelah jam makan siang dan secara efektif memberlakukan sistem WFH. Dan, di sinilah drama dimulai. 

“Cuy, lu tau gak kalau di gereja itu katanya ada 20 orang anggota padus [paduan suara] yang sakit barengan mendadak,” Andre mengirimiku chat di WhatsApp. Biasanya aku dan Andre tiap minggu pergi ke gereja bareng. Tapi, minggu kemarin Andre telat bangun pagi, jadi dia tidak ikut. 

Mengernyit dahiku. “Hah? Lu tau dari mana anjir?” 

“Iya, atasan gw kan mertuanya gereja di situ. Katanya 20 orang itu muntah-muntah, terus didiagnosis tipes. Tapi ternyata pada kena kopid.” 

Rasa parno menghujam. Muncul pula penyesalan, kenapa kemarin kok niat banget ingin tetap kebaktian di gereja. 

“Haduh..haduh…ya udah, nanti kalau ada kabar lagi, kabarin ya,” ketikku gamang.  

Rupanya kabar simpang-siur ini merebak ke mana-mana, termasuk ke grup kantorku. 

Tuing, notifikasi masuk. Kali ini informasinya tampak lebih lengkap. Selain kutipan chat yang entah dari mana asalnya, disertai juga sepotong surat keterangan dari gereja. Isi suratnya mengambang, mengatakan bahwa memang ada jemaat yang sakit dan untuk itu kita perlu menjaga kesehatan bla-bla-bla. 

“Waduh, si Ary tuh kan ke gereja situ…” timpal satu orang. 

“Eh iya ya, gimana tuh jadinya? Ary kamu ada gejala gak?” timpal yang lainnya lagi. 

“Wah, semua yang kerja di lantai dua, yang seruangan sama si Ary kalau gitu perlu dites!” 

Kondisi badanku sehat walafiat, tapi membaca chat-chat itu seolah membuatku jadi sakit sungguhan. Rasa parno diperparah karena seminggu sebelumnya kawan sekamarku baru sembuh dari tipes, dan konon katanya gejala Covid itu sebelas dua belas dengan tipes. 

Opsi untuk aku ikut tes kutolak mentah-mentah. “Saya nggak mau tes, nanti kalau sebenarnya negatif tapi ketular pas waktu tes gimana?” bantahku kepada HRD. Dia merekomendasikanku untuk mendatangi RSUD Cengkareng yang jadi RS rujukan. 

Waktu itu tes Covid belum semudah sekarang, dan waktu itu orang-orang masih berdebat metode tes apa yang paling akurat. Pemerintah memborong jutaan alat tes rapid antibodi yang menggunakan sampel darah, tapi sekarang tes itu sudah ditinggalkan karena tidak akurat. Tes PCR jadi opsi, tapi biayanya masih selangit. Kubaca di status-status media sosial sekali tes bisa di atas 2 juta. 

Berawal dari kabar burung dan chat-chat tidak jelas itu, hidupku akhirnya terisolasi sungguhan. Orang-orang yang sebenarnya masih ada urusan untuk datang ke kantor, tidak diperkenankan hadir. Ada seorang staf yang hendak mengambil surat sampai menunggu di bawah pohon mangga di ruko sebelah, karena kalau kelihatan cctv dia bisa kena tegur. Sekitar dua minggu aku dan temanku tinggal di mes yang menyatu dengan kantor dalam kesunyian. Kami sungguh bosan, tidak melihat orang lain. Dan yang lebih membuat sedih adalah dituduh sebagai pembawa virus. 

Lepas dua minggu, fakta membuktikan aku tidaklah terjangkit ataupun membawa virus. Tubuhku sehat walafiat, tidak ada gejala apa pun. Tes serologi yang dilakukan di Mei pun menunjukkan hasil non-reaktif, yang berarti aku belum pernah terinfeksi virus Covid. 

***

Cerita ini kutulis untuk mengajak kita mengenang kembali masa-masa ‘kengerian’ yang timbul akibat ketidaktahuan ketika pandemi awal-awal masuk ke Indonesia. 

‘Ketidaktahuan’ ini muncul dari apatisme yang dimunculkan oleh pejabat berwenang, jauh sebelum virus terdeteksi di tanah air. Kehadiran virus yang merebak di Wuhan dijadikan bahan guyonan dan upacara seremonial tanpa membangun komunikasi publik dan manajemen krisis kepada masyarakat. Akibatnya, ketika virus akhirnya terdeteksi, bukan cuma pemerintah dan instansi terkait yang kerjanya tidak terorganisir, masyarakatnya pun jadi kalang kabut. Penderita Covid dicap aib. Masyarakat terkotak menjadi dua kubu: kubu parno yang sangat higienis karena takut, dan kubu konspirasi yang menolak mentah-mentah kehadiran virus ini. 

Kebijakan-kebijakan untuk menanggapi Covid pun diluncurkan. Armada Transjakarta seketika dibatasi jumlahnya. Maksudnya baik memang, tapi akibatnya mengerikan. Ribuan orang jadi berdesakan, antrean sampai mengular ratusan meter. PSBB diberlakukan, satu mobil cuma boleh 50% kapasitas dan pakai masker, tapi razia dan check-point-nya malah menimbulkan kerumunan. 

Sekarang setahun telah berlalu, pandemi masih belum berakhir. Polarisasi masih terbagi di masyarakat: si parno dan si pecinta konspirasi. Yang parno memakai atribut lengkap (pernah ada yang belanja pakai APD), belanja di supermarket pun sampai plastik-plastiknya disemprot dulu, makan di tempat makan dilap lagi sendiri semua meja kursinya. Sedangkan si apatis ogah pakai masker dan mengagung-agungkan teori konspirasi. 

Semoga…….dan semoga……pandemi ini bisa usai segera! 

Menggenjreng gitar ditemani si kucing anak Suketi.

6 pemikiran pada “Cerita di Awal Pandemi: Hati-hati Jangan Dekati Si Ary!

  1. Aku sendiri pernah jadi otg, mas. Itupun waktu salah satu lingkunganku ada yg kena, terus kami tracking. Alhamdulillah setelah isolasi mandiri 2 minggu dan keluar hasilnya aman. Benar-benar tanpa gejala hehehhehe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s