Hujan geledek menyambut saat motor kami tiba di Desa Cijeruk, Kabupaten Bogor. Kami hendak pergi ke penginapan di kaki Gunung Salak. Jarak yang tertera di peta kurang dari dua kilometer, dalam seperapat jam harusnya bisa sampai. Tapi, hujan terlampau besar. Kami terpaksa harus menepi beberapa waktu. Kuparkirkan motor di depan sebuah kandang sapi yang atap sengnya menjorok ke luar.
“Bakal zonk gak ya tempatnya?” tanyaku pada Andre. “Entah, tapi harusnya sih nggak ya. Kalau lihat foto-foto di Google kan lumayan tuh,” jawabnya sembari menyodorkan layar ponsel ke mukaku. “Ya namanya juga nekat, syukur-syukur bagus.”
Perjalanan kali ini sudah kami matangkan dua minggu sebelumnya. Kami memang ingin cari tempat yang sunyi sepi untuk menepi, dan ketika mengecek di aplikasi airBnB, muncullah nama ‘Villa Lumbung Gunung Salak’. Penampakannya rapi, pemandangannya indah, dan lokasinya tampak terpencil. Tapi, tidak ada ulasan apa-apa di sana. Dicari di Google juga nihil ulasan. Andre bilang nekat saja booking, yang penting perginya nggak sendirian. “Ada cekikian Kuntilanak juga yawes lah, yang penting nggak sendirian,” timpalnya.
Saat hujan mulai mereda, kami melanjutkan perjalanan. Sepatu kami copot, sebab motor sportku pasti bikin area lutut sampai ujung kaki becek terkena cipratan air jalanan. Dari kandang sapi tempat kami berteduh, jalanan mulai menanjak curam. Mula-mula jalanan masih mulus, lama-lama hancur sampai tak tersisa lagi aspal.
“Nah, ini ambil kiri atau kanan?” tanyaku sambil sedikit berteriak. Tangan kananku memutar gas, sedangkan tangan kiri jaga-jaga menarik tuas kopling jika harus berhenti.
Andre gamang. Google Maps berputar-putar tak jelas. Makin ke atas makin kembang kempis kekuatan sinyal. Kuambil jalan kanan, tapi rupanya itu jalan yang sesat. Agak susah untuk melakukan manuver putar balik meskipun cuma pakai motor. Jalanan menanjak, berlubang, dan mengalir air bercampur lumpur. Licin. Sukses putar balik, kami ambil jalan yang mengarah ke kiri. Seharusnya jalanan ini sudah benar, tapi ada sekelompok pekerja bangunan yang meminta kami putar balik karena jalanan sedang dicor katanya.


Kami pun kembali lagi ke desa di bawah, berteduh di bangunan koperasi pemerah susu sapi karena hujan kembali turun, dan kami menelepon bapak pemilik villa. “Udah bener mas jalannya mas tadi. Pokoknya naik aja sampai ketemu gerbang gede, ambil kiri yang jalan off-road,” suara bapaknya putus-putus kendala sinyal yang tak kuat. Sial. Gumamku dalam hati. Tahu gitu tadi panjer aja terus ke atas daripada balik lagi. Jaket dan celana kami sudah anyep.
Kami pun naik lagi ke atas, melewati sekumpulan pekerja bangunan tadi dan tiba di lokasi pertigaan yang dimaksud bapak. Betul ada pengecoran, tapi rupanya jalan yang dicor cuma di yang kiri. Jalan off-road yang mengarah ke Villa Lumbung bebas diakses, tapi karena hujan deras habis mengguyur, jalan off-road itu jadi licin. Andre kuminta turun dan berjalan kaki saja supaya lebih aman.
***
Impresi pertama ketika akhirnya kami tiba di villa adalah: luar biasa. Villa ini umurnya baru setahunan, dibangun persis di lereng utara Gunung Salak. Pucuk gunung tampak begitu dekat, walau untuk meraihnya, kata bapak perlu berjalan kaki sampai lemas. “Salak itu puncaknya ada banyak. Kalau dari bawah iya kelihatan pucuknya sedikit, tapi sebenarnya banyak,” tuturnya sambil menunjuk-nunjuk kerucut puncak Salak yang tertutup pepohonan rapat. “Nah, kalau dulu waktu Sukhoi jatuh, itu jatuhnya di puncak yang sana lagi. Jalan kaki masih enam jam,” sambungnya.
Ada tiga bangunan villa yang dibuat dari kayu—dua menghadap ke arah timur, menyajikan panorama Gunung Gede-Pangrango, dan satu menghadap ke arah Puncak Salak. Kami menyudahi sebentar adegan obrolan itu untuk berganti baju. Dari tiga bangunan, dua disewakan dan satu ditinggali oleh bapak beserta istri dan anaknya. Kalau ada tamu yang menginap, atau kala akhir pekan, mereka sekeluarga naik ke sini. Aku agak takjub melihat kendaraan Suzuki Estillo, mobil mungil yang dirancang untuk mosak-masik di aspal perkotaan rupanya kuat juga menanjak sampai di sini. Dari balkon kamarku kulihat mobil mungil bapak itu terparkir diguyur hujan.




“Ini ada jahe sama pisang rebus, silakan,” putri dari bapak empunya villa menyuguhkan kami kudapan nikmat itu. Sambil menanti hujan reda, kami pun lanjut mengobrol.
Basa-basi perkenalan rupanya memunculkan kesamaan antara aku, Andre, dan bapak sang empunya villa. “Kalian dari mana asalnya?” tanya bapak.
“Kami dari Jakarta di Kalideres, pak. Dulu kami satu kosan di Jogja.”
“Loh, kuliah di Jogja kalian? Di daerah mana kosnya?”
“Babarsari, pak”
“Lah, saya juga orang Jogja. Saya pindah ke Bogor tahun 1996, dan tahun ini anak saya yang kecil kekeuh tuh pengen masuk ke Atma Jogja.”
Bapak kemudian bertutur kalau wilayah asri di ketinggian ini bukanlah tanah-tanah tak bertuan. Dulunya, kawasan lereng Salak di Cijeruk ini pernah dimiliki oleh orang-orang kaki tangan Pak Harto. “Tapi sekarang kebanyakan mereka udah meninggal, jadi banyak dijual. Tuh villa yang bawah, itu sudah jarang dipakai.” Di jalan semi off-road menuju villa bapak, ada satu bangunan villa besar yang terbengkalai. Aku sempat iseng mengintip jendelanya. Lantainya masih rapi, tapi atap-atapnya banyak yang sudah ambruk. “Itu punya dokternya Pak Harto,” tambahnya.


Besar dan luasnya villa-villa yang bertaburan di lereng Salak ini agaknya kontras dengan pemandangan yang kulihat satu kilometer ke bawah. Di jalan sempit yang menghubungkan desa-desa di sekitar Cijeruk, rumah-rumah warga berdiri kumuh, mepet dengan badan jalan. Mungkin jika jalan raya suatu saat dilebarkan, rumah mereka akan rata.
Lebaran 2020 lalu, aku pernah pergi ke Rahong, sebuah desa di Bogor juga. Bersama rekan sekantor, kami mengantar bingkisan Idul Fitri kepada Pak Jamal. Sebenarnya desa Pak Jamal ini asri. Bukit-bukit hijau mengelilingi pemukiman, yang kala hujan rampung turun, halimun tipis menggerayangi punggung-punggung bukit itu, menciptakan suasana magis sekaligus romantis. Tapi, kehidupan warganya berbanding terbalik dengan keindahan alamnya. Rumah-rumah berdiri tumpang tindih. Pak Jamal yang umurnya belum sampai 55 sudah punya 10 anak!
“Ini anak yang ke berapa pak?” tanya temanku ketika salah satu anak Pak Jamal mengantarkan kami mangkok-mangkok mie rebus. Anak perempuannya itu berkulit terang, senyumnya tipis malu-malu, dan tinggi semampai. Setelah merunduk meletakkan mangkuk di depan kami, dia buru-buru pamit undur diri, kembali lagi ke dapur.
“Aduh, hahaaha,” Pak Jamal terkekeh sambil merokok. “Ah teuing, saya lupa ya dia teh anak keberapa.” Dia lalu berteriak memanggil nama istrinya. “Ieu teh si eneng teh anak kasabarahanya?”
Saat kami pamit pulang, rekanku kembali bertanya, apakah ada hal lain yang Pak Jamal dambakan di masa tuanya. “Saya kalau boleh pengen nambah istri satu lagi.” Jawaban ini membuat kami tercengang. Logika kami mencoba mencerna, dengan 10 anak dari istri pertama, apa gerangan ingin punya lagi istri kedua.
Melihat kami bergeming, Pak Jamal menegaskan lagi kata-katanya. “Ini mah beneran, saya pengen nambah istri satu lagi.”
Kisah Pak Jamal, kendati tidak terjadi di desa di bawah Villa Lumbung, ialah kisah yang juga terjadi pada desa-desa lainnya di pinggiran Bogor. Rendahnya edukasi warga membuat angka kelahiran tidak terkendali. Jumlah anak yang banyak jika tidak disertai dengan kemampuan finansial yang cukup kelak akan menghasilkan siklus kemiskinan yang sulit diputus. Siklus ini pula yang akhirnya menempatkan warga lokal tak mampu berdikari atas tanah yang mereka jejaki. Ruang hidup mereka menjadi sempit, meskipun tanah di sekitar mereka luas. Pemikiran dan impian mereka berkutat pada persoalan internal, tentang kepuasan diri. Edukasi, investasi, inovasi, dan bagaimana cara-cara agar berdaya menjadi jauh dari pikiran….
Pada akhirnya, di atas lahan-lahan yang sejatinya bisa dimanfaatkan oleh warga sebagai arena untuk berdaya—bercocok tanam atau mengembangkan agrikultur, tanah-tanah tersebut terlepas, dibeli dan diolah oleh orang-orang kota. Villa-villa atau hunian mulai bermunculan dibangun. Ada yang sekadar jadi tempat tetirah, ada pula untuk kegiatan komersial yang mendatangkan untung, yang menarik minat orang-orang kota untuk datang dan berelaksasi.
Tidak…aku tidak sedang menggugat villa yang tengah kunikmati di akhir pekan ini. Toh memang secara elevasi lokasi tempat dibangunnya villa ini terlampau tinggi untuk menjadi area pemukiman penduduk. Dan, seharusnya pula tetap dijaga agar hijau, agar kala hujan deras mengguyur, airnya tidak menjadikan Jakarta tenggelam. Perjalanan tetirah di villa ini membuatku berefleksi. Ketika loka-loka nan indah ini menjadi tempat pelarian bagi warga kota, apakah ia juga mampu mendatangkan penghidupan yang lebih baik bagi warga yang telah bergenerasi hidup di dekatnya?
Hujan telah berhenti, kuambil tustelku dan kami berjalan santai mengitari area kebun di depan villa. Bapak menanam aneka tumbuhan—ada pohon cabe yang sudah berbuah merah ranum, daun pohpohan yang ditanamnya di dekat kolam, tomat, jeruk, dan sepetak ladang sayur yang belum ditaburi bibit.




Ketika jam makan malam tiba, bapak dan putrinya membuatkan kami dua porsi nasi liwet. Nasinya boleh kami ambil sepuasnya di dapur jika masih kurang. Lauk pendampingnya disediakan ikan asin, ayam goreng, dan yang paling lezat bagiku ialah dedaunan pohpohan yang tadi sore dipetik langsung dari kebun. Segar!
Adegan makan malam ini terasa seperti jamuan makan di surga karena pemandangan yang tersaji di depan kami sungguh sedap dilihat. Di kaki Gede-Pangrango, lampu-lampu kota berpendar. Wilayah yang seabad lalu masih disebut Buitenzorg, yang sunyi sepi dan dingin, kini menjadi penyangga metropolitan besar. Dan, di lereng-lereng gunung yang mengelilingi Buitenzorg inilah orang-orang kota melarikan diri untuk mencari kenyamanan dan ketenangan.
salfok sama foto terakhir mas, biasanya ngeliat kerlap-kerlip kota dari ketinggian seperti itu saat saya camping di gunung, earth tone yang menjadi warna dari interior bangunan villa-nya membuat foto sangat ciamik,
ohya kalo boleh tau, masnya pake kamera apa yah? hehe salfok juga saya, keren2 gitu, apakah fotonya melewati proses editing terlebih dahulu kah?
Saya pakai Canon 77D kak, lensa 24mm f/2.8 pancake.
Kalau di post ini saya olah dulu di Lightroom Desktop sekalian untuk nambahin watermark.
Bagus sekali tempatnya, pastinya sejuk yaa… sayang infrastruktur jalannya masih belum mendukung ya… semoga semakin baik kedepannya
Tempatnya sangat tenang.
Aku dalam hati berharap tempat ini tetap sepi :))
Cakep banget tempatnya Ri, cocok ya buat escape kalo bosan sama puncak, plus bonus pemandangan dari ketinggian… Suka 🙂
Iyes mas. Syahdu banget bengong di sana.