Imlek Bagiku yang Merayakannya dengan Setengah

Orang kebanyakan mengenal tanggal merah yang identik dengan amplop merah berisi duit sebagai Tahun Baru Imlek, atau Chinese New Year. Tapi di keluargaku dan lingkungan pertemananku, kami lebih sering menyebut hari tahun baru ini sebagai sinciah, sebuah padanan kata yang diturunkan dari bahasa Hokkian yang juga memiliki arti sama sebagai tahun baru. 

Sepanjang hidupku menyandang status sebagai warga keturunan Tionghoa, Imlek tidak se-istimewa hari-hari lainnya. Ketika rekan-rekanku memamerkan panen angpau atau kumpul keluarga besar, keluargaku jarang melakukannya. Musababnya memang sedari aku lahir keluarga kami tidak banyak memegang tradisi, selain ada juga latar belakang internal yang memang membuat keluarga kami jarang guyub. 

Bagi kebanyakan orang Tionghoa, selain angpao dan perayaan, imlek adalah momen yang menyatukan seluruh keluarga. Imlek sendiri bukan perayaan keagamaan, meskipun siaran berita seringkali menayangkan adegan-adegan sembahyang di kelenteng jelang Imlek. Agama yang dianut orang Tiongha di Indonesia itu beragam. Tidak semua Buddhis atau Konghucu, ada pula yang Kristen atau Islam. Kendati pilihan agama mereka berbeda, tetapi mereka tetap tidak bisa menampik etnis yang sudah built-in dalam tubuh dan darah mereka. Jadi apa pun agama yang dianut, Imlek menjadi momen untuk kembali kepada keluarga. 

Seperti apa perayaan Imlek yang beneran Imlek? Aku tidak tahu jawabannya. 

Papaku lahir di pulau penghasil timah sebagai seorang Tionghoa yang berbahasa Khek. Setiap hari dia berkomunikasi dengan bahasa ini dengan teman-teman sekampung dan seperantauannya. “Ha ngi hinabuy a?”, artinya, “Apa kabarmu?” adalah kalimat yang paling sering kudengar. Tapi, dia tidak pernah mengajarkannya kepadaku. Katanya, “Mending elu belajar Mandarin aja.” Nasihat itu tidak pernah kuindahkan karena aku benci belajar bahasa yang satu ini, sudah aksaranya susah, bicaranya pun ribet pakai empat jenis nada. 

Mamaku lahir di Jawa Timur, dari seorang keluarga Tionghoa yang tinggal di bantaran sungai Brantas. Berbeda dengan papa yang masih memakai dialek dari Tiongkok daratan, mama dan kebanyakan Tionghoa di Jawa sudah sama sekali tidak bisa menggunakan bahasa dari sana. Malahan, bahasa Jawanya lebih bagus daripada bahasa Indonesianya. 

Kesamaan dari kedua orang tuaku ialah mereka keturunan kesekian yang telah lahir dan besar di tanah Nusantara. Membicarakan soal Tiongkok bagi mereka adalah hal yang jauh, sejauh bumi dengan planet Mars. 

“Lah, memangnya kalau kita pergi ke sana [Tiongkok] bakal dianggep?” celoteh Mama setiap kali menanggapi papa yang suka mengoceh mengglorifikasi pencapaian Tiongkok. 

Aku manggut-manggut menyetujui mama. Papa menyimpan narasi traumatis dalam hidupnya sebagai orang Tionghoa. Berbeda dengan mama yang sedari lahir sudah pakai nama lokal, papa baru memiliki nama lokal setelah aku lahir. Sebelumnya, dia ke mana-mana dan di mana-mana dikenal dengan nama Tionghoanya. 

“Tiongkok itu bakal geser posisi Amerika, lu kudu bisa bahasa Mandarin lah,” ucap Papa. Atas keyakinannya itulah, dia memindahkan sekolahku ke SMP dan SMA yang pelajaran bahasa Mandarinnya 6 jam seminggu. Tapi, usahanya itu sia-sia. Cuma segelintir kosa kata Mandarin yang kuingat, itu pun tentunya kuucapkan dengan nada yang salah. Yang paling kuingat cuma memperkenalkan diri dan izin kepada laoshi kalau ingin pergi ke WC. Sudah, itu tok. 

Tetapi, sekalipun papa tampak bangga akan identitas ketionghoaannya, nyatanya segala tradisi Tionghoa telah banyak pudar dalam keluarga kami. Pun, benar celoteh mama, “memangnya kalau ke sana bakal dianggep?” Tiongkok adalah negeri asing bagi kami, tempat yang katanya negeri leluhur tetapi tak pernah kami sambangi. Kerabat terdekat, kawan-kawan seperjalanan kami ialah orang-orang Indonesia yang terdiri dari beragam suku, etnis, bahasa, dan agamanya. Kami tidak lagi menganut agama leluhur dan menjalankan tradisi seperti sembahyang kubur saat Cengbeng, atau sembahyang di malam sincia. Juga ramalan peruntungan shio-shio juga tidak kupercayai. Tidak ada satu pun dari kami yang mampu berbahasa Mandarin ataupun dialek-dialek lokalnya selain papa. Itu pun dia tidak meneruskannya buatku. Dan, mengenai kumpul keluarga, itu sebelumnya tidak pernah kami lakukan. Barulah dua tahun ke belakang, saat aku sudah stabil bekerja di Jakarta dan kakak-kakak telah menikah, kami keluarga inti rutin bertemu. Keluarga besar sih tidak mengingat lokasinya terpencar jauh-jauh dan ikatan kekerabatannya tidak terjalin kuat. 

Kembali ke judul artikel ini, jika keluargaku tidak totok, lantas mengapa Imlek tetap dirayakan dan aku tetap menyempatkan diri untuk mudik? 

Kurasa jawaban sederhananya adalah karena kami tidak bisa menyangkali identitas kami sebagai keturunan Tionghoa. Ini adalah identitas yang tidak kami pilih. Kita semua tidak pernah tahu dan tidak bisa pilih ketika lahir mau dilahirkan di keluarga, bangsa, dan negara seperti apa. Kita hanya terima bersih, plek, lahir menangis oe-oe, lalu diasuh dalam norma dan tradisi dari keluarga kita. Bentuk rambut, rupa wajah (meski bisa dioperasi plastik), tinggi badan, dan hal-hal lahiriah yang berkaitan dengan tubuh tentunya adalah hal default yang tak bisa kita ubah. 

Menyangkali identitas siapa diri kita sebenarnya kurasa bukanlah hal yang baik. Memang di masa lalu telah terjadi hal-hal kelam yang dikarenakan identitas sebagai salah satu pemicunya. Tetapi, masa lalu telah benar-benar berlalu. Yang bisa dilakukan adalah menjadikannya sebagai pelajaran untuk mempersiapkan masa depan. 

Indonesia, Nusantara, adalah rumah bagi kami, orang-orang Tionghoa, juga bagi kita semua. Sebuah negara dan bangsa yang dibangun atas dasar kesepakatan untuk hidup bersama. Di rumah inilah kita lahir, bertumbuh, juga kelak akan mati. 

Selamat sinciah

Dua menu saja untuk makan Imlek kami.

8 pemikiran pada “Imlek Bagiku yang Merayakannya dengan Setengah

  1. Dari dulu aku nyari-nyari kenapa disebut Imlek gak menemukan referensi yang tepat huvt. Namanya tahun baru, banyak orang berbondong-bondong ke tempat sembahyang untuk memohon kebaikan di tahun mendatang. Makanya mungkin orang melihat identik dengan perayaan agama, padahal ya bukan sih.

    Fakta memang kalau Tionghoa di Jawa nggak bisa bahasa Mandarin. Temen-temenku di kampung di deket area rumahmu dulu di Ploso juga klo ngomong Jowo lebih fasih ahahah. Sepertinya mereka juga tidak merayakan hari khusus tersebut. Lha wong klo Imlek aku main ke rumah mereka, nggak ada ornamen atau hidangan khusus khas Imlek. Ya kayak nggak ada apa-apa gitu. Apa mereka juga nggak memegang tradisi? Beda sama Tionghoa di luar Jawa, masih banyak yang bisa Mandarin dan memegang tradisi.

    Masih mending aku dong bisa basic Mandarin dikit daripada hanya “Laoshi minta izin ke toilet dong” haha

    1. Hahahahahahahaha!
      Aku merasa sia-sia belajar mandarin dengan setumpuk buku tebal, karena yang paling nyangkut di otak ya cuma itu.

      Dua kali ke Singapur, disangka bisa basa Mandarin juga karena mata sipit dan diajak ngmg, jawabanku cuma senyum plonga-plongo wkwkwkwk.

      Nah mas Alid, daeler Kawasaki di Rejoagung sing pinggir jalan raya, itu tempat tinggal kakek-nenek-buyut dari mamaku dulu :)))

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s