Senin, 21 Desember 2020
Bulan terakhir di tahun tutorial akhir zaman. Pandemi belum selesai, malah bertambah parah. Banyak kota di Jawa berwacana melakukan semi-karantina untuk mencegah arus pendatang.
“Sial,” gerutuku beberapa minggu sebelumnya. Di akhir tahun ini, jatah cuti tahunanku masih melimpah akibat tidak dipakai. Rencananya, semua jatah cuti ini akan kugunakan untuk pergi bertandang ke Solo menunaikan ritual LDR, lalu pulang ke Bandung, sebelum nantinya ke Jakarta lagi. Tapi, dengan ketetapan yang katanya semua pemudik yang masuk kota Solo akan dikarantina, aku jadi bingung. Naik kendaraan umum rasanya bukan opsi yang bagus. Ada rasa takut, kalau-kalau di dalam bus atau kereta malah tertular virus.
“Ya wis, Ri, kalau memang nggak bisa, nggak usah dipaksakan,” ketik sang pacar. Dia menenangkanku dengan memberi pengertian. Memang bepergian di masa pandemi bukanlah opsi yang baik.
“Iya, kita lihat keadaan ya,” jawabku.
Lalu terbersitlah ide. Jika berjubel di kendaraan umum rawan tertular virus, dan simpang siur pula akan ketetapan syarat perjalanan, aku bisa naik motor saja. Dari Batavia, menuju Vorstenlanden alias tanah raja-raja di Jawa yakni Surakarta dan Yogyakarta itu kan masih satu tanah. Tidak perlu menyeberangi samudera raya. Maka kususunlah rencana perjalanan panjang ini. Kutetapkan durasi perjalanan selama 13 hari, dengan bujet 1 juta 300 ribu. 1 juta untuk menginap dan makan, 300 ribunya untuk bensin.
Senin sore, jam kerjaku selesai pukul 16:30. Langit lumayan mendung. Komat-kamit aku berdoa supaya tidak hujan, tapi kalau sampai hujan turun pun, aku sudah siapkan jas hujan. Setelah bersiap-siap, mengecek semua bawaan yang terdiri dari satu ransel ukuran 35 liter + jas hujan + sandal, lalu mengecek kondisi ban dan rantai motor, aku meluncur dari Kalideres.

Perjalanan yang berkisar sejauh 600 kilometer ini akan kulalui tanpa jalur tol. Menyusuri jalanan tua yang menjadi tulang punggung arus barang dan penumpang di Pulau Jawa, yang kini pamornya meredup karena hadirnya jalan tol. Keluar dari kantor, macet sudah menyambut. Macet semakin mengganas mendekati putaran balik di dekat halte Jembatan Gantung. Setengah jam lebih tanganku pegal menahan kopling, panas dan pengap pula karena helm full-face menutupi semua kepalaku. Itu belum ditambah masker yang menutup hidung dan mulut.
Neraka macet jalan Daan Mogot akhirnya kulewati, tapi masih ada rintangan lain. Selepas Pasar Senen, sepanjang Matraman macetnya pun tidak lebih baik dari Daan Mogot. Ini hari Senin, hari kerja, dan jam pulang kerja pula. Corona tidak kenal waktu, dan mereka-mereka yang ada di jalanan ini kurasa bukanlah orang-orang yang bisa seterusnya kerja di rumah saja. Motorku berjalan pelan, menyemut melewati lautan macet dan bangunan-bangunan tua yang masih bertahan sampai sekarang.

Pada masa kolonial dulu, ketika wilayah Batavia Lama yang kita kenal sekarang dengan nama Kota Tua dianggap tidak lagi baik untuk menjadi pusat pemerintahan, wilayah Weltevreeden (Gambir) hingga Meester Cornelis (Jatinegara) dianggap sebagai lahan yang baik. Di sepanjang jalan inilah muncul bangunan-bangunan bersejarah. Ada stasiun Pasar Senen, Gereja GPIB Koinonia di Matraman, hingga Stasiun Meester Cornelis sendiri yang fasadnya ciamik. Bangunan-bangunan itu tampak indah dan kokoh kendati seabad lebih telah berlalu.
Sekitar jam setengah tujuh, aku telah tiba di Jalan I Gusti Ngurah Rai, bersandingan dengan rel kereta api paling sibuk se-Indonesia. Rel dwiganda yang membentang di sebelah kiriku adalah tulang punggung perkeretaapian kita, semua kereta yang berangkat dari Jakarta ke arah timur harus lewat ke sini. Sedikit saja gangguan, kacau semua jadwal. Seperti di Desember 2019 lalu ketika petir menyambar tiang sinyal di Stasiun Karawang, semua jadwal perjalanan kereta api di daerah operasi 1 Jakarta kacau balau sampai 12 jam lebih.
Aku tidak menggunakan Google Maps, karena jika menaruh ponsel di stang motor itu malah memancing tindakan kriminal. Seingatku, dari jalan di tepi rel ini, aku cuma perlu berjalan lurus ke arah timur untuk sampai di Cikarang. Memasuki area Klender, ingatan dan keyakinanku diuji. Jalanan bercabang dua: satu belok kiri, satunya lurus. Tapi, arah panah menyatakan kalau kedua jalan ini mengarah ke Bekasi. Kupilih jalan yang lurus. Eh, tapi jalan lurus kali ini rupanya sesat. Aku malah masuk ke Terminal Pulogebang yang jika dilihat di peta, tidak mengarah ke timur melainkan ke utara. Kucari-cari jalan lain, sebab putar balik di jalanan arteri Jabodetabek itu banyak ranjaunya. Jika salah belok, bisa-bisa kena tilang. Instingku tidak berjalan baik, aku malah nyasar ke apartemen Sentra Timur, lalu putar balik lagi, sampai akhirnya aku tiba di Stasiun Cakung. Nyasar ini belum selesai, karena jalan utama ada di seberang rel. Sedangkan aku ada di jalan kampung di seberangnya. Kususuri jalan kecil yang membelah perumahan. Tiba di kolong fly-over, kulihat ada putaran yang bertuliskan “Bekasi”, kupilih jalan itu dan kembalilah aku ke jalan utama yang benar.
Waktu sudah lebih dari jam 7 dan aku masih di Bekasi. Setelah melalui Stasiun Bekasi, perjalanan lebih lancar. Hanya ada satu titik macet yang kutemui: menjelang Bekasi Timur. Setelahnya, perjalanan lancar jaya. Kecepatan motor kupacu konstan di 70km/jam. Tidak terlalu lambat, tapi juga tidak terlalu ngebut. Aku tiba di Karawang pukul 20:40. Perjalanan hari ini kuputuskan selesai di sini dulu, karena badan sudah terasa lelah setelah seharian kerja.


Selasa, 22 Desember 2020
Jam enam pagi, aku sudah siap melanjutkan perjalanan. Jaket Eiger berwarna biru gelap melekat di badan. Supaya tidak masuk angin dan paru-paru basah, kulapisi lagi jaketku dengan rompi khusus motoran merek Respiro. Aman, tetapi jika berhenti di lampu merah panasnya bukan main. Helm dan masker kukenakan lagi, dan perjalanan pun dimulai menuju warung soto di pinggir jalan.
06:40 – Kenikmatan dari perjalanan naik motor adalah kita bisa berhenti kapan saja dan di mana saja. Makan di warung gerobakan pinggir jalan tidak masalah, karena motor tidak butuh area parkir yang besar. Aku menepi sejenak di warung soto Madura di tepi jalan arteri. Semangkuk soto seharga 12 ribu memenuhi perut, cukup untuk tenaga sampai jam makan siang tiba.

Perjalanan dari Karawang terus ke timur, melewati Cikampek dan menyusuri pantai utara Jawa Barat. Di tahun-tahun sebelum Tol Cipali rampung, semua kendaraan yang hendak ke timur keluar di Cikampek. Titik temu antara kendaraan dari jalan nasional dan tol adalah di Simpang Jomin. Setiap musim lebaran, simpang ini menjadi simpang neraka. Macetnya tidak terhindarkan. Sekarang kisah macet itu sudah jadi legenda. Motorku melenggang bebas tanpa macet.
Kabupaten pertama setelah Karawang yang dilalui adalah Subang. Jika kita lihat di peta, jalur tol dan jalan nasional tidak dibangun bersandingan. Jalan nasional dibangun mengikuti garis pantai, alias mengarah ke utara, sedangkan tol membabat habis area persawahan ke arah timur. Alhasil, jalur tol lebih sedikit kelokan dan jaraknya menuju Palimanan lebih pendek ketimbang jalan nasional. Memasuki daerah Patokbeusi, Subang, lusinan warga berdiri di kiri-kanan jalan sambil memegang sapu panjang. Mereka bukan petugas atau panitia pembangunan masjid yang biasanya menggelar lapak amal di tepi jalan. Mereka adalah orang-orang yang dikenal sebagai penyapu koin. Koin dari mana? Tentu awan dan langit tidak menurunkan hujan koin, jadi mereka mengais koin yang dilempar oleh kendaraan-kendaraan yang lewat. Fenomena ini terasa seperti ironi. Menarik, tetapi janggal. Nominal koin yang tidak besar diperebutkan dengan cara yang berisiko besar. Kendaraan yang lewat di jalur pantura tidak berjalan pelan seperti siput. Bus dan truknya pun tidak seramah Si Tayo. Mengais koin di tepi, atau bahkan sampai ke tengah jalan punya risiko tertabrak yang tinggi. Tapi, dengan jumlah lusinan warga yang berdiri setia panas-panasan di pinggir jalan, kurasa lempar-lempar koin dari dalam mobil ini masih sering dilakukan oleh para pengendara.

Dari Ciasem, jalan Pantura terasa begitu nyaman. Sedikit sekali kendaraan yang melintas di sini. Kujumpai segelintir motor berplat aneka daerah di Jawa Tengah ikut mengaspal. Ditemani angin kencang dan sinar matahari yang masih hangat, perjalanan ini terasa sentimentil. Sepanjang jalan kubernyanyi, menaikkan kidung-kidung pujian. Tidak ada lelah yang terasa, yang ada hanyalah perjalanan yang sungguh terasa nikmat. Sementara motorku terus melaju di kecepatan 100an km/jam, jam setengah sembilan aku telah tiba di Eretan, Indramayu.
Desa Eretan terletak persis di tepi Laut Jawa. Aku menepikan motor di pinggir pantainya yang berair coklat dan bearoma amis. Ada motor lain yang ikut menepi, berplat AA.
“Wah, dari Bandung mau ke mana mas?” tanya si bapak pengendara motor tersebut. Dia langsung menyebut Bandung karena plat nomorku yang berhuruf “D”.
“Saya dari Jakarta pa, mau ke Solo. Bapaknya ke mana?”
“Purworejo, mas.”
Diskusi singkat di pinggir laut pun terjadi. Lima menit menepi, aku melanjutkan perjalanan duluan, sementara si bapak dan rekannya menyalakan rokok dulu. “Biar nggak ngantuk,” ujarnya.


Eretan pada tahun 1942 adalah desa yang tidak biasa. Di pantainya yang berair coklat, serdadu Jepang mendarat dari kapal-kapal besi sarat senjata, menandai berakhirnya kekuasaan Hindia-Belanda yang telah bercokol ratusan tahun di Jawa. Sekarang tak ada keistimewaaan yang kulihat di Eretan. Hanya jalan pantura memanjang dengan garis pantainya yang terlihat jelas. Selebihnya, nama Eretan hanya terdengar di buku sejarah, diingat oleh segelintir murid.
08:45 – Motorku tiba di Lohbener, Indramayu. Di sini jalur pantura terbagi dua: ke utara memasuki kota Indramayu lalu tembus ke Cirebon, atau berbelok ke selatan melalui Jatibarang sampai ke Palimanan. Kupilih rute kedua. Rute via Jatibarang lebih dekat secara jarak. Udara tidak lagi sejuk. Semakin siang kota-kota di Pantura semakin terasa seperti oven raksasa. Selepas Jatibarang, jalanan yang semula beton mulus mulai bergelombang. Truk-truk besar telah bermunculan, mereka ada di lajur kiri-kanan jalan, membuat motor harus pandai-pandai bermanuver jika ingin tetap dipacu pada kecepatan tinggi.
09:30 – Tiba di Palimanan. Panasnya semakin terasa. Baju di dalam jaket sudah basah oleh keringat. Aku menepi selama setengah jam di mini-market tepi jalan. Meminum sebotol isotonik, sembari memberi kabar sudah sampai di mana. Bagi orang yang jarang bepergian, motoran ratusan kilometer adalah ide sinting. Agar mereka tidak khawatir aku meninggal atau celaka di jalan, sesering mungkin kukabari mereka.

12:30 – Tiba di Tegal Kota Bahari! Perjalanan dari Palimanan sampai ke Tegal memakan waktu hampir tiga jam. Motor-motor pemudik dengan plat karesidenan di Jawa Tengah bagian selatan tak lagi terlihat. Di Pejagan, mereka berbelok ke kanan, ke arah selatan menuju Prupuk yang nantinya akan mempertemukan mereka dengan jalur nasional selatan di Wangon. Dari Cirebon sampai ke Tegal pemandangannya gersang. Jalanannya pun bergelombang. Stang motor kupegang erat sembari mata fokus ke jalan. Kecepatan kupacu standar di kisaran 80 km/jam agar tidak kaget dan bahaya jika motor harus melibas lubang atau undakan.
Di Tegal, kuberhenti di KFC. Restoran cepat saji harganya tidak terlalu mahal. Jika ingin sekalian istirahat agak lama, berhenti di sini adalah opsi yang tepat. Ada AC yang bisa bikin kita adem, dan duduk lama-lama pun terasa nyaman. Sekitar satu jam aku berhenti, menyantap nasi panas dan ayam goreng, serta mencuci muka yang kusam terkena debu jalanan. Aku tidak makan sampai kenyang banget. Terlalu kenyang bisa menimbulkan efek mengantuk. Setelah otot-otot di badan terasa lebih rileks, kulanjutkan kembali perjalanan.


15:30 – Di catatanku tertulis pukul 13:30 aku lepas landas dari Kota Tegal. Jam setengah empat, aku sudah tiba di Alas Roban. Jalur yang membelah hutan ini dulu dianggap sebagai jalur mistis: rawan begal dan penampakan makhluk halus. Tapi itu dulu, di masa kini Alas Roban tidak terasa seram. Sebabnya kendaraan yang lewat sudah ramai, dan telah dibuatkan jalur khusus untuk truk-truk agar tidak terlalu menanjak. Jalan sebelum sampai masuk Alas Roban sangat mulus. Motor bisa dipacu di atas 100km/jam tanpa khawatir ada lubang atau undakan.
Selepas Alas Roban, kuberhenti sejenak di Weleri untuk melemaskan badan, melepas helm agar aliran darah ke otak tidak tersendat. Sepuluh menit menepi, kulanjutkan lagi perjalanan.


16:50 – Tiba di Jalan Pandanaran Semarang. Jika ditotal tanpa memasukkan jam istirahat, perjalanan dari Jakarta memakan waktu sekitar 13 jam. Sampai di sini, kulihat indikator bensinku masih tertera dua garis. Artinya, masih tersisa hampir 4 liter bensin dalam tangki. Motor CB 150R yang kunaiki punya kapasitas tangki sebesar 12 liter. Sebelum berangkat, tangki telah kuisi penuh di Kalideres.
Perjalanan hari kedua kusudahi di Semarang mengingat ada urusan pekerjaan yang harus kulakukan sebentar di sini.



Rabu, 23 Desember 2020
10:30 – Puas beristirahat, satu etape perjalanan terakhir siap kutempuh. Dari Semarang menuju Solo jaraknya tidak jauh, hanya 120-an kilometer. Jauh lebih pendek daripada jarak Kalideres ke Bandung yang mencapai 180km.
Yang menarik dari perjalanan di etape ini adalah bensin motorku yang terbilang awet. Sampai di Kota Salatiga, bensinku masih tersisa 1 liter, padahal speedometer telah menunjukkan angka 560km. Artinya, untuk perjalanan dari Jakarta sampai Salatiga, rata-rata konsumsi bensin adalah 1 liter untuk 56 kilometer. Irit!
Selepas Salatiga, cuaca mengajak bercanda. Hujan lebat turun. Menanti hujan terasa lama, jadi kuputuskan untuk memakai jas hujan. Sepuluh menit berselang, tepatnya memasuki area Boyolali, langit yang semula mendung mendadak cerah. Mau tak mau jas hujan kembali dilepas karena jika tetap dipakai terasa panas.
13:30 – Speedometer menunjukkan angka 620 kilometer dan aku telah tiba di Solo.


***
Jika tersedia moda transportasi lain yang lebih aman, nyaman, dan cepat, mengapa tetap memilih naik motor? Jawabku adalah: selain karena alasan yang kusebutkan di awal tulisan (agar terhindar dari kerumunan, dan menyiasati syarat administrasi yang belum jelas), berkendara motor memberiku kepuasan lebih.
Bayangkanlah ini: kita pergi ke sebuah hutan belantara, lalu menemukan tempat yang indah di tepi sungai dengan rumput yang halus. Kita lalu mendirikan sebuah tenda kecil di sana. Sebuah perapian dari kayu-kayu dan ranting-ranting kering kita nyalakan. Asapnya membumbung ke langit. Kita lalu meletakkan sebuah panci dan merebus air di atasnya, lalu menyeduh kopi atau teh. Rasanya tentu akan nikmat, bahkan jauh lebih nikmat daripada kita memberi segelas kopi di mini-market.
Upaya besar yang kita lakukan terkadang memberi makna lebih pada hal biasa yang kita lakukan. Demikianlah dengan perjalanan ini.
Motoran jauh lintas provinsi mengajariku bagaimana rasanya menjadi keluarga kelas menengah bawah yang merantau, yang setiap lebaran tiba berpacu di atas motor untuk menebus rindu pada keluarga mereka. Dan, pergi jauh dan melelahkan ini juga membuatku lebih menikmati pertemuan yang ada. Untuk keluarga, dan orang-orang yang kita kasihi, pertemuan adalah hal yang amat berharga.
Dari Batavia ke Vorstenlanden, telah berhasil kutempuh.

Wah, keren sekali Ar, salut sama mereka yg tiap taun mudik dari jakarta ke jateng/jatim motoran, gak kebayang gimana capeknya di jalan… Kamu di karawang nginap di penginapan apa dmn?
bakpao luber enak tuh, tiap sore pulang kantor lewat depan kelenteng hok tek bio 🙂
Aku di Karawang nginap di Voxstay Karawang. Penginapanne unik mas, di tepi sawah, tapi bentuknya kos-kosan gitu. Tempatnya enak sih, kasur empuk dll. Harga 140 ribu dah ok banget menurutku.
Nyenengi banget turing lintas provinsi ini wkwk
kalo aku no deh wkwkwkw… pegel dan capek hehe… Keren kamu Ar
Mantap mas, sensasinya beda pokoknya dg nyepur atau ngebis. Ga bs disamain ya wkwk.
Motoran sendirian terjauhku cuma 700km, muter2 dr Semarang-Solo-Wonogiri-Jogja-Kulonprogo balik ke Semarang lg via Klaten.
Iya mas, sensasinya itu susah dijelasin. Capek sih iya, tapi senengnya itu. Bisa berenti kapan pun, nyanyi-nyanyi sendiri berasa karoke, kayak sentimentil banget dah haha. Tapi perjalanan baliknya biasanya sedih 😦
Semarang-Wngiri-West Prog mayan adoh mas, tapi rutenya seger semua ituuu. Next ditembusi ampe Pacitan Trenggalek cakep mas.
Hebat,naik motor Jakarta-Solo,aku dulu naik motor Jakarta-Subang kapok. Capek banget,pantat panas.
Tapi sensasinya kan tiada duanya mbak hihihi.