Bicara Dua Nasib di Gunung Puntang

Setelah berbulan-bulan mendekam di kamar sembari dikejar deadline, akhirnya Iko—kawan baikku sejak tahun 2001—mengiyakan dirinya untuk pergi sejenak ke alam. “Tapi pulangnya jangan terlalu sore,” katanya sembari teringat akan empat freelance yang menyita jam-jam hidupnya. “Iya,” kataku singkat. “Sebelum jam dua kita udah balik lagi kok.” 

Sabtu pagi yang sejuk dan mendung, kami pun bertolak menuju Gunung Puntang. Sembilan tahun lalu, gunung ini sering kami sambangi. Jaraknya tidak terlampau jauh, cuma 30 kiloan dari Bandung. Pemandangannya menyenangkan. Gunung Puntang menyajikan hutan belantara yang masih rapat dengan Sungai Cigeureuh yang airnya amat bening dan dingin mengalir deras menabrak batu-batu kali aneka ukuran. Gunung Puntang adalah tempat tetirah yang memikat hati. 

Lokasi eks bangunan stasiun radio Malabar yang kini tinggal reruntuhannya.
Sungai Cigeureuh.
Trek perjalanan menuju Puntang

Tapi, di balik belantara hijaunya, Gunung Puntang sejatinya adalah loka sejarah yang terlupakan. Kisahnya kurasa tak banyak muncul di buku mata pelajaran Sejarah. 

Tahun 1923, Pemerintah Kolonial meresmikan sebuah bangunan besar dengan batu-batu kali sebagai pondasi utamanya. Bangunan ini menjadi stasiun pemancar radio yang tercanggih pada zamannya. Kabar dari Jawa bisa diterima dengan cepat di Eropa, demikian sebaliknya. Tapi usia bangunan ini tidak panjang. Ketika pasukan Belanda yang tak terima Indonesia merdeka datang lagi ke Jawa, para pemuda di Bandung meresponsnya dengan menghancurkan segala aset Belanda, tak terkecuali stasiun radio di belantara Puntang. Kita kenal sekilas peristiwa ini dengan nama Bandung Lautan Api. 

Yang tersisa dari stasiun radio ini hanyalah segelintir pondasinya dan sebuah kolam berbentuk hati yang disebut warga dengan “kolam cinta”. 

Kami berjalan mengitari reruntuhan ini. Aku sambil menatap langit yang semakin pekat oleh mendung. Sementara itu Iko mengambil kameranya, berusaha mencari tempat yang pas untuk mengambil potret reruntuhan. Tempat yang dinamai kolam cinta ini tidak banyak berubah sejak 9 tahun lalu. Tetap hijau dan sunyi. Namun, di kunjungan kali ini kami mendapati aliran air yang mengairi kolam telah distop. Kolam menjadi kering. Di atas kolam diletakkan struktur kayu. Entah akan dibangun apa. Di kiri dan kanan dibangun tenda-tenda putih semi-permanen, yang jika dilihat dari luar sepertinya di sini akan dibangun tenda glamping alias glamorous camping. 

Di samping tenda itu ada spot berupa arena dari papan kayu yang menghadap ke tebing dan sungai, tapi sungainya sendiri tidak terlihat lantaran tertutup lebatnya pepohonan. Kayunya pun masih sedikit basah karena hujan. Kami lalu duduk, membiarkan pantat kami sedikit anyep. 

“Gua teh beneran waktunya abis pisan buat gawe, siah. Ini udah empat freelance, belum ditambah sama kerjaan utama gua. Tapi gua udah sebisa mungkin atur-atur waktu,” kata Iko membuka obrolan. “Capek sih,” pungkasnya lagi. 

Aku tertawa kecil. “Ah, tapi kan itu memang jalan hidup yang elu seneng, tat?” sahutku. Aku kenal dengan Iko. Memang menjadi sibuk dan berkarya adalah obsesinya. Sehingga keluhan-keluhan dia seputar pekerjaan selalu kutanggapi dengan santai. 

“He euh sih,” jawabnya. 

“Hidup kita kan soal pilihan ya, Tat. Gua rasa, capeknya elu wajar kok. Tapi, bisa jadi nggak wajar kalau elu nggak tahu kapan harus berhenti dan memberi waktu istirahat buat badan elu,” kucoba memberikan jawaban yang pas. 

Aku kagum sekaligus juga kadang iri dengan Iko. Di usia kami yang sepantar, dalam hal finansial Iko sudah jauh lebih maju. Tapi, kusadar iri hati itu tidak substansial, mengingat jalan karier yang kami pilih berbeda. 

“Gapapa Tat sekarang sibuk. Ini nolong elu berproses lebih cepat. Nanti di umur 30 mungkin elu udah sanggup kebeli rumah dan hal-hal basic, sementara gua dengan ritme hidup yang lebih santai dari elu, mungkin nanti pasca umur 30 masih harus kerja keras buat menuhin hal basic itu. Mana yang lebih baik? Dua-duanya baik,” kataku. 

Lepas landas dari usia seperempat abad, aku sungguh menyadari bahwa hidup ini bukan perlombaan siapa yang jadi tercepat. Bukan pula soal menghakimi siapa yang lebih baik dalam menjalani hidupnya. Kadang aku tergoda untuk menghakimi orang-orang yang selalu disibukkan mengejar deadline tanpa jeda sebagai orang yang tidak asyik menikmati hidup. Demikian juga dari sudut pandang Iko, menghakimi orang-orang yang menikmati ritme hidup yang lambat sebagai orang yang kurang bekerja keras. Aku melihat Iko sebagai kawanku yang baik ini diberkati dengan ritme pekerjaan yang cepat, yang memang menjadi pilihan hidup dia. Sedangkan aku sendiri memilih ritme yang lebih santai dan diberkati dengan hasrat untuk selalu melakukan perjalanan, yang untuknya aku akan berproses lebih panjang.  

Kerja keras Iko membuatnya kehilangan banyak waktu di masa-masa sekarang, tapi aku yakin jika Iko bijak, kelak di masa mendatang dia bakal punya cara untuk menebus kerja kerasnya. Kalau aku sendiri, kerja ‘santai’ku membuatku bisa menikmati momen-momen setiap hari dengan cerita, pertemuan, dan perjalanan. Tapi, jika aku pun tidak bijak, kesempatan ini bisa membuatku abai akan masa depan. 

Di tepi belantara dengan alunan air Sungai Cigeureuh siang itu, betapa aku menyadari bahwa hikmat dan kebijaksaan itu amat diperlukan, dan itulah yang sejatinya menjadikan kita kaya. Bekerja dengan bijak menolong kita mengetahui batas-batasan diri: kapan memulai, kapan beristirahat, dan menolong kita pula untuk menggapai tujuan utama kita. 

“Iya yaa, bener. Gua berusaha ngurang-ngurangin sekarang, supaya guanya nggak kewalahan,” kata Iko sembari menyodorkan sebungkus kukis Good Times.

Kami lalu menyantapnya sembari mengingat nostalgia masa kecil, waktu kami bisa amat bahagia hanya dengan naik sepeda lalu minta makan indomie ke rumah guru sekolah Minggu kami. 

Dua nasib yang berbeda, tapi dibahagiakan oleh nostalgia masa lalu yang masih terasa hangat. 

Dua tenda yang berdiri di tepi kolam cinta
Ketenangan di Gunung Puntang.

17 pemikiran pada “Bicara Dua Nasib di Gunung Puntang

  1. “dua nasib berbeda, jadi satu oleh nostalgia” ini can relate banget sewaktu event reunion bareng temen-temen SMA maupun kuliah,

    planningnya februari tahun lalu saya ke Puntang, tapi jadinya ngebelok ke Artapela. next wishlist Puntang deh..

    gaya cerita nya kayak lagi baca buku mas, mantappuu, will be one of fav link blog bacaan

  2. pertama-tama aku iri banget sama masnya bisa jalan-jalan ke gn puntang pengen rasanya ke sana hahaha, aku pun sama tahun ini rasanaya seperti naik halilintar.. di pertangahan tahun tidak bisa bekerja karena situasi pandemi namun bersyukur banget di akhir tahun udah bisa sibuk kerja lagi. Tiap masing-masing orang punya cerita tersendiri ya >_<

  3. Sampai akhir tahun lalu, aku kayak kamu yang santai, Ry. Tapi tetep ada beberapa pekerjaan blog yang mengisi waktu di sela-sela jam kerja kantor yang lowong.

    Tahun ini aku kayak temenmu Iko yang setiap weekday kerja sibuk dari pagi sampe malem karena puji Tuhan dipercaya (dan menerima) tanggungjawab yang lebih besar.

    Hidup itu seperti Instagram. Tiap orang punya linimasanya masing-masing, jadi nggak usah memaksakan orang lain punya masa yang sama dengan kita.

    Anw, kalo ke Bandung lagi dan mau ke alam, ajak-ajak broh! 😀

  4. pernah sekali main kesini … itujuga sudah lama bangettt
    terkesan dengan reruntuhan bangunan dan baca sejarahnya, kabarnya hanya dari lokasi dan ketinggian gn Puntang ini bisa sampai gelombangnya ke Belanda

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s