Sejak pindah ke Jakarta, saya suka bertandang ke pemakaman kuno. Bukan untuk mencari demit atau uji nyali, tetapi saya suka ‘menyapa’ mereka yang telah berpulang lebih dulu, sekaligus mencari tahu kisah-kisah baik apa yang terpendam di balik bisunya nisan.
Gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan kesan. Makam-makam peninggalan era kolonial yang tersebar di Jabodetabek punya kisah yang tak cuma kisah sejarah atau perang-perangan. Ada kisah tentang kasih, persahabatan, dan pengorbanan yang pesan moralnya tidak usang sampai kepada masa kini.
Inilah beberapa makam yang pernah saya sambangi yang kisahnya baik untuk diceritakan ulang.
1. Persahabatan sampai kematian – Heinrich Kuhl dan J.C Van Hasselt

Kalau kita berkunjung ke Kebun Raya Bogor (KRB), ada sepetak lahan di tengah hutan bambu. Dulu sepetak lahan ini ditutup pagar bata setinggi pinggang, tetapi sekarang pagarnya telah diruntuhkan. Kita bisa melenggang masuk dan melihat puluhan nisan-nisan orang Eropa dari abad 18-20. Makam ini ada lebih dulu daripada KRB yang diresmikan pada 1817, dengan catatan makam tertua adalah milik Cornelis Potmans yang tertera meninggal dunia pada 1784. Sedangkan usia makam termuda adalah milik Dr. AJGH Kostermans yang dikuburkan di KRB pada 1994.
Di antara yang tertua dan termuda, terselip kisah menarik. Ada satu nisan yang rupanya terisi dua jasad. Nisan itu milik Heinrich Kuhl dan J.C Van Hasselt, keduanya adalah seorang ahli biologi muda yang dikirim ke Bogor untuk mempelajari keberagaman flora dan fauna.
Heinrich Kuhl (17 September 1797-14 September 1821) lahir di Hanau, Jerman. Pada tahun 1820, Kuhl bersama sahabatnya, van Hasselt, diutus ke Jawa yang kala itu bagian dari wilayah Hindia Belanda. Mereka berdua berhasil mengirimkan sejumlah 200 kerangka, 200 lembar kulit mamalia dari 65 spesies, 2000 lembar kulit burung, 1400 spesimen ikan, 300 reptil dan amfibia, dan lainnya ke Museum Leiden1.
Jawa pada dua abad lampau selain adalah tempat yang indah, tetapi juga berbahaya. Orang-orang Eropa yang hidup di benua empat musim tak tahan dengan iklim tropis yang lembab dan penuh malaria. Menjelang ulang tahunnya yang ke-24 pada tahun 1821, Kuhl terkena infeksi liver karena iklim tropis dan kelelahan. Sepeninggal Kuhl, Johan van Hassel, sang sahabat meneruskan pekerjaan mereka berdua. Tetapi, van Haseel hanya bertahan hidup dua tahun setelahnya. van Hassel meninggal pada tahun 1823 dan jasadnya dimakamkan di satu liang bersama Kuhl. Tengara kehadiran sepasang sahabat ini hadir dalam rupa nisan kecil di tengah Kebun Raya Bogor.



2. Mendampingi suami sampai ke Timur Jauh – Lady Olivia Raffles

Tidak jauh dari halte Transjakarta Harmoni, terselip satu kompleks pemakaman jadul. Usia pemakaman ini lebih tua daripada dua ereveld yang ada di Jakarta. Pemakaman Jahe Kober, kini disebut sebagai Museum Taman Prasasti adalah kompleks pemakaman warga sipil Belanda pada kisaran abad 18 hingga awal abad 20. Sekarang kompleks makam ini telah difungsikan sebagai museum. Tulang belulang dari para jenazah telah dipindahkan, menyisakan nisan-nisan yang menceritakan masa lalu dengan membisu.
Ada banyak tokoh terkenal yang pernah hidup pada masa Hindia Belanda di sini, salah satu yang populer adalah makam milik Lady Olivia Raffles. Kita tentu ingat bahwa dalam buku sejarah semasa sekolah dulu, kita diceritakan kalau Inggris pernah memerintah di Jawa pada kurun waktu yang singkat, 1811-1816. Kedatangan Inggris kala itu terjadi karena Belanda tengah dikuasai oleh Prancis, sedangkan Inggris adalah musuh dari Prancis.
Inggris datang memboyong serta Thomas Stamford Raffles, seorang gubernur jenderal yang dikenal karena buku karangannya, The History of Java. Sebelum datang ke Jawa, Tim Hanningan (2015) dalam bukunya “Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa” menuliskan kalau Raffles bertugas di Penang, British Malaya. Kabar untuk menyerbu Jawa disambut Raffles dengan antusias. Agustus 1811, Raffles beserta rombongan Inggris mendarat di Pantai Cilincing, Jakarta Utara dan melibas Batavia.
Menariknya, Olivia yang menjadi istri dari seorang gubernur jenderal punya masa lalu yang tak terlalu baik. Hannigan, dalam bukunya di bagian “Helaan Napas Pertama di Timur” bertutur bahwa kisah Olivia sedikit janggal. Dia punya kemungkinan besar lahir di India pada 1771 dan sempat menikah lebih dulu dengan seorang kapten di kapal bernama Rose yang berlayar dari Inggris ke Madras2.
Olivia mendampingi Raffles sepanjang perjalanannya di Jawa. Namun, pada 26 November 1814, Olivia meninggal dunia lebih dulu pada usia 43 tahun. Sepeninggal Olivia, Raffles membangun suatu monumen di Kebun Raya Bogor yang tertulis sajak:
“Sacred to the memory of Olivia Marianne, wife of Thomas Stamford Raffles, Liutenant-Governor of Java and its dependencies, who died at Buitenzorg on the 26th November 1814.
Oh thou Whom Neer My Constant Heart, One Moment Hath Forgot, Tho Fate Severe Hath Bid Us Part, Yet Still Forget Me Not.”
Baris kedua jika diterjemahkan secara bebas kurang lebih artinya, Engkau yang selalu dekat di hatiku, tak pernah sesaat pun engkau kulupakan. Kendati takdir memisahkan kita, janganlah pernah lupakan aku.”
Seorang suami, petinggi suatu negeri, ditinggal oleh istri untuk selama-lamanya di masa ketika internet dan telepon belum eksis, tentu kita bisa membayangkan kesepian seperti apa yang dirasakan.

3. Berkorban untuk saudara – Luuth Ubels

Ketika Jepang menyerbu Hindia Belanda pada 1942, kisah kekejamannya yang lebih detail bisa kita saksikan di ereveld-ereveld yang ada di Jawa. Di Ereveld Ancol, ada sebuah makam yang lokasinya menyendiri. Makam dengan salib ujung melengkung ini milik Luuth Ubels, terpisah dari ribuan makam lainnya yang berderet rapi.
Cerita tentang apa yang terjadi pada kehidupan Ubels dikisahkan oleh Dicky Purwadi, staf yayasan OOGS ketika saya dan rekan-rekan bertandang ke Ereveld Ancol di tahun 2018.
“Di pojok sana, ada satu makam yang cuma sendirian. Namanya, L. Ubels, dia korban salah tangkap,” tutur Dicky sambil menunjuk ke arah utara.
Luuth Ubels ditangkap oleh tentara Jepang karena nama belakang dia sama dengan saudara lelakinya. Kemungkinan besar saudara lelakinya itu tentara. Ketika Jepang menggerebek kediaman Ubels dan mencari si saudara lelaki, Luuth tidak mengelak. Tentara Jepang tidak tahu kalau Ubels adalah nama keluarga. Luuth lantas dibawa oleh tentara Jepang dan dieksekusi. Tidak diketahui dengan pasti cara eksekusi terhadap Luuth, tetapi ada kemungkinan dilakukan dengan cara yang sadis.
Selain Ubels, di liputan sebelumnya tentang Ereveld Ancol, saya pernah menulis bahwa korban kekejaman Jepang tidak cuma orang dewasa. Ada satu pusara yang berisi balita, yang ketika ditemukan tulang-belulangnya masih dalam kondisi terborgol. Tentara Jepang juga hemat dalam urusan biaya. Untuk mengeksekusi, mereka eman-eman jika harus mengeluarkan peluru. Metode eksekusi dilakukan beragam: dipenggal, digantung, dan konon katanya ada pula yang dimasukkan ke kapal yang sengaja dilabeli bendera Jepang hingga akhirnya kapal itu dikira kapal musuh dan dibombardir oleh Sekutu.


4. Kisah persahabatan suami istri – Ibu Riboet

Jika tiga cerita di atas mengisahkan tentang orang-orang Eropa, cerita keempat ini adalah kisah tentang orang Indonesia yang hidup pada masa Hindia Belanda. Ketika saya berjalan-jalan di Taman Prasasti, saya terhenti pada sebuah nisan berbentuk kotak. Nisannya sudah retak-retak tetapi tulisannya masih jelas terbaca.
“Atas dasar mutlak, tjinta sutji murni selama ampir 50 taun. Hidup rukun beruntung berredjeki dalam persahabatan suami/estri…”
Teksnya terasa menyentuh. Perjalanan hampir 50 tahun didasari oleh cinta dan hidup dalam susah maupun senang dalam persahabatan antara suami dan istri. Tapi, siapakah gerangan Bu Riboet ini?
Tahun 1920an berdiri perkumpulan Opera Komedi Stambul3. Wikipedia bilang, tokoh yang paling terkenal dari opera ini adalah Miss Riboet. Manajemen opera dipegang oleh Tio Tik Djien yang sejatinya adalah suami dari Miss Riboet.
Tidak diketahui bagaimana Miss Riboet meninggal dunia. Di nisan tertulis beliau meninggal pada tahun 1965, tahun di mana Taman Prasasti masih difungsikan sebagai pemakaman sebelum akhirnya diubah menjadi museum. Sang suami, Tio Tik Djien tertulis “menjusul” di nisan, yang berarti belum meninggal. Pencarian secara daring juga tidak membuahkan hasil bagaimana kisah cinta dua sejoli ini, dan bagaimana akhir hidup dari sang suami.
Tetapi, dari sekelumit teks di nisan cukuplah tersirat bahwa relasi suami-istri antara Bu Riboet dan Tio Tik Djien terkesan manis.
Empat makam tentu terlalu sedikit dari ribuan makam kuno yang tersebar di seantero Jawa, itu pun baru makam yang bisa teridentifikasi. Oleh karenya, benarlah sebuah ungkapan yang berkata bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Kecuali kita adalah orang super terkenal, maka kisah dan nama kita mungkin akan lestari dari generasi ke generasi. Jika kita adalah orang biasa, maka kurang dari seratus tahun kita akan sungguh lenyap dari dunia—jasad demikian juga kisah-kisah kita yang tak lagi dikenal dunia.
1 Husson A.M., L.B. Holthuis. 1955. The dates of publication of “Verhandelingen over de natuurlijke Geschiedenis der Nederlandsche overzeesche Bezittingen” edited by C. J. Temminck, Zoologische Verhandelingen, Vol. 34 p. 17-24
2Tim Hannigan, Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa (Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, 2015), hlm 31-34.
3 Stambul, dilansir dari KBBI, kata ini bisa berarti: 1 komedi yang biasanya dimainkan untuk para bangsawan (sebangsa sandiwara keliling) 2 jenis keroncong yang terdiri atas stambul satu, stambul dua, dan stambul tiga
Baru pernahngeliat-liat yang di Taman Prasasti dan Kebun Raya Bogor doang. Buat saya, salah satu yang menarik dari makam-makam peninggalan Belanda adalah nisannya. Sering banget menemukan pesan-pesan dan informasi menarik di sana.
Sayang dulu tidak ada medsos, kalau ada mungkin kita bisa tahu lebih baik profil orang-orang yang sudah meninggal itu 🙂
saya suka juga berjalan jalan kepemakaman tua seperti ini.
yang di daerah Ancol saya belum pernah masuk kedalamnya.
Coba mas, yg di Ancol suasananya teduh. Tapi enaknya sore ke sana. Kalau siang terlalu terik.
Cerita soal pemakaman selalu menarik buatku. Penasaran, di samping “keangkerannya”, ada cerita apa di baliknya. Jadi penasaran sama pemakaman Belanda, deh.
Dulu aku takut sama pemakaman, krna ditakut-takutin film horor. Tapi setelah gede dan suka sejarah, ugh pemakaman itu menarik buat disambangi.
Mgkin kemenpar perlu menggalakkan wisata makam kali ya wkwkwk
Sama-sama Ary!
Dengan berziarah kita dapat berefleksi tentang masa lalu, sekarang dan akan datang.
Terima kasih sudah membuat pelajaran sejarah lebih humanis 😊
Sama-sama kak!
Masa lalu selalu aktual dan ada bagiannya yang indah untuk dikenang 🙂
Di petamburan Ar…. Nah, mba Olive lebih paham deh hihi…
Puluhan cerita dari ereveld, tapi belum sekalipun kesana …
Termasuk makam Khouw di Jakarta Barat …
Makam Khouw di mana nih mas? Aku baru denger nih.
Opa Khouw ya? Mampir sini <a href=”https://obendon.com/2013/06/02/selamat-pagi-opa-khouw/>Mousoleum Opa Khouw aja, Ri 😉
Eh DI SINI. tautannya koq putus wkwk
ahh, makasih mas Djangki dan Kak Oliv.
Yah, aku belum pernah blas ke makam Opa Khouw. Makam kapitan cina yang kalau air laut pasang kena rob juga aku belum pernah :”)
Jelaburku belum lengkap di Jabodetabek ini.
Souw Beng Kong? aku juga belum kesampaian ke sana, tiap berencana tak pernah jalan haha .. belum waktunya
Nahh, November atuh kak kita gaskeuuunn yukkk.
yuuuk, mari janjian