Suatu Sore di Terminal Kalideres

Ketika ojek yang saya naiki masuk ke area terminal Kalideres, dua orang calo segera berlari mendekat. 

“Ke mana bang? Ke Jawa?” 

Waktu pertama kali naik bus, saya gamang jika berhadapan dengan calo. Tapi setelah terbiasa, dengan santai saya menjawab, “Udah ada tiket bang saya, ke Karangpucung, naik Budiman.” 

Mereka pun melengos pergi. Di ujung terminal dekat dengan parkiran, sebuah Bus Budiman sudah terparkir dengan mesin menyala. Petugas agen menyambut, menanyakan tujuan, lalu mempersilakan saya naik ke bus. “Masih jam 7 kang berangkatnya, sok atuh ngopi-ngopi dulu.”

Muhun, kang. Saya mah nggak ngopi,” saya balik menanggapi si akang agen yang ramah. Lantas kami mengobrol hangat dalam bahasa Sunda, persis di depan muka bus. Sang agen namanya Kang Ari bertutur, semenjak kopid, okupansi penumpang berada di titik sekarat. “Susah kang, sekarang mobil berangkat paling bawa tiga, sepuluh mah udah alhamdullilah pisan.” Ketika setiap hari berita menyiarkan statistik yang kian menanjak, keadaan ekonomi di lapangan malah semakin meloyo. Bus-bus lain juga ikut merana. Agen-agen mereka menanti dengan lesu di muka bus. Dari balik kaca, cuma segelintir kepala penumpang yang tampak. Padahal biasanya kala Jumat sore, Terminal Kalideres ini riuh. Bus-bus jurusan timur terisi lebih dari setengah, bahkan penuh. Pengamen, asongan, ikut ketiban rezeki dengan penuhnya penumpang. Namun sore ini, keadaan yang dulu normal itu tidak tampak. Seorang pengamen naik ke atas bus dengan lesu, karena mendapati cuma ada tiga penumpang di dalam. “Teu jadi nyanyinya, kang?” saya iseng bertanya. “Teu ah, saeutik teuing penumpangnya!” jawabnya sambil melengos pergi. 

Bus Budiman yang saya naiki ini baru membuka trayek ke Karangpucung dari Kalideres. Umurnya baru sebulanan. Di-launching saat era “New Normal” digaungkan. Kapasitas kursi berjumlah 32, tapi hanya setengahnya yang boleh diisi. Tapi mirisnya, sudah dikurangi setengah pun tetap ‘tidak laku.’ Penumpang masih enggan bepergian, apalagi efek dari berkurangnya jumlah angkut adalah kenaikan harga tiket. Perjalanan ini saya tebus dengan harga 165 ribu, lebih mahal daripada harga normal yang cuma 100 ribu. Kita bisa menebak bahwa penumpang bus, terkhusus dengan destinasi Cilacap Barat bukanlah penumpang dengan kantong tebal. Kebanyakan mereka bekerja di sektor kasar, sehingga kenaikan harga di atas 50 persen ini tentu amat memberatkan. 

Tapi, mau bagaimana lagi. Operator bus tidak punya lain pilihan. “Cuman ya kang, alhamdullilah sih dari Kalideres ini mah mendingan daripada Rambutan. Yang ke Tasik tadi sore lumayan setengahnya full,” tutur Kang Ari sembari mengisap ududnya. 

Terminal Kalideres jam enam sore.
Sampai jam enam sore, baru saya seorang penumpang yang naik.
Bus Budiman trayek terbaru dari Kalideres.

Budiman 

Bus Budiman adalah perusahaan bus endemik Tasikmalaya. Seragam krunya berwarna hijau tua, seperti juru bedah di ruang operasi. Kalau ditilik di KBBI, Budiman berarti “orang yang berbudi, pintar, dan bijaksana.” 

Setengah jam sebelum bus berangkat, seorang pria tua beruban mendekati saya dan Kang Ari yang sedang mengobrol. Dia menanyakan di mana supir bus ini. Kang Ari pun menemuinya dan mereka mengobrol berdua. 

“Gini kang, saya cuma punya uang 200, ini istri sama cucu mau pulang ke Pucung. Boleh kang ya dibantu.”

“Aduh pa, susah kalau gitu mah. Nanti di agen kan diperiksa, kalau bayarnya nggak sesuai harga nanti kami yang kena,” kata Kang Ari. 

Kang Ari lalu pergi ke belakang bus mencari-cari supir. Saya tak mendengar jelas pembicaraan mereka. Tetapi sejurus kemudian, Kang Ari bersama Pak Supir mendekati bapak itu. Mereka bertanya sungguhkah sang bapak tak ada uang lagi. Saat itu saya tergerak untuk memberikan talangan, tapi saya cuma bawa uang 200 ribu pas. Dipotong ongkos 165 ribu, sisa hanya 35 ribu. 

“Ya udah pak, naik gapapa. Nanti kami yang kontak-kontakan sama agen,” kata Pak Supir, lalu mempersilakan istri dan cucunya naik. “Sok ayeuna maneh telepon pos kontrolna,” tambahnya kepada Kang Ari. 

Mereka masih melanjutkan diskusi yang panjang. Yang saya tangkap adalah mereka akan bilang ke petugas di pos kontrol bahwa penumpang dua ini kasusnya spesial sehingga perlu ditolong. 

Jam tujuh tepat, bus kami hanya terisi 7 orang. Dua turun di Banjar, satu di Rajapolah, satu di Ciamis, dua di Karangpucung, dan saya sendiri di Cukangleleus, sebuah pertigaan di daerah Wanareja. 

Dengan penumpang yang cuma segelintir, ditambah duanya merupakan penumpang ‘spesial’, tentulah perjalanan malam ini tidak balik modal. Ongkos solar dan tol sudah makan biaya besar. Tetapi, kru bus tetap bersedia memberi tumpangan kepada dua penumpang yang kesusahan. Sebuah tindakan berani di tengah situasi yang semua orang setuju, ‘Ini masa-masa seret!” 

Bus lalu merayap meninggalkan Daan Mogot, membelok ke kanan menuju Tol Lingkar Luar Jakarta dan terus melesat sampai jam setengah tiga subuh, saya tiba di Cukangleleus disambut hujan lebat. 

7 pemikiran pada “Suatu Sore di Terminal Kalideres

  1. baru ketemu sama blog ini dan baca beberapa tulisannya kemudian suka sama tulisannya hahaha, semoga pandemi ini cepat berakhr hehehe

      1. Ar, selama pandemi kalo mau naik kereta dari semarang ke gambir selain rapid perlu apa lagi? apa perlu e-Hac kaya pesawat kah … Rapidnya bisa bberapa hari sebelum naik kereta kah

Tinggalkan Balasan ke Avant Garde Batalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s