Alkisah ketika Perang Dunia II berlangsung di Pasifik, seorang marinir Amerika Serikat (AS) terpisah dari pasukannya. Berawal dari keterpisahan dan nyaris mati, sang marinir malah mendapati ‘mukjizat’ pertolongan. Tak diketahui siapa nama marinir tersebut, tetapi kemungkinan besar kisah ini terjadi di Saipan, salah satu pulau di Kepulauan Mariana.
Perang di Pasifik antara AS dengan Jepang jauh berbeda dengan palagan di Eropa. Tentara AS menghadapi medan berupa hutan belantara yang hawanya lembab, dan prajurit Jepang yang lebih memilih mati daripada menyerah. Tentara musuh memanfaatkan belantara sebagai tempat yang tepat untuk sembunyi dan menyerang tiba-tiba.
Ketika sang marinir terpisah dari pasukannya, dia mendaki ke bukit yang tanpa dia ketahui adalah teritori musuh. Langkahnya tetiba berhenti. Dia mendengar seorang prajurit Jepang berpatroli. Jika ketahuan, tentu kematian adalah jawabannya. Sang marinir lalu berusaha mencari tempat sembunyi. Tak jauh dari posisinya, dia melihat sebuah goa. Dia berdoa agar goa itu kosong, dan doanya pun terkabul.
Goa itu punya kedalaman yang lumayan, tetapi tetap saja pasukan musuh bisa sewaktu-waktu merangsek masuk. Cahaya matahari dari luar pun masuk dengan berlimpah ke dalam. Ini berbahaya. Prajurit jepang bisa dengan mudah melihat ada musuh di dalam goa. Dia pun berdoa kembali, memohon Tuhan memberikan tembok bata supaya prajurit musuh tak mampu melihatnya, atau tak bisa masuk ke dalam goa itu.
Bermenit-menit sang marinir memasang telinga, dengar-dengaran terhadap suara sekecil apa pun. “Krak…krak..” dia mendengar langkah kaki yang mematahkan ranting dan dedaunan kering. Itu langkah kaki pasukan Jepang! Lagi-lagi sang marinir berdoa agar Tuhan memberinya tembok bata, tapi tak ada yang terjadi. Tak mungkin ada pasukan marinir lain menolongnya, jadi dia pun menyiapkan senjata. Wajah pertama yang muncul di dalam goa akan dia tembak. Selama dia bersiaga, muncul seekor laba-laba besar. Laba-laba itu menjalin jaring persis di mulut goa. Menit demi menit, jaring itu bertambah besar dan besar, menutupi hampir seluruh mulut goa.
Sang marinir lantas tertawa, “Tuhan, aku perlu sebuah tembok bata dan Engkau mengirimkanku laba-laba?”
Tak lama menjelang, langkah kaki pasukan Jepang semakin dekat. Sang marinir bersembunyi di balik cerukan, sudah siap menembak sembari melihat bahwa sarang laba-laba itu nyaris selesai sempurna. Langit sedikit mendung sehingga pandangan ke dalam goa menjadi gelap. Pasukan Jepang yang telah tiba di depan goa berbicara. Mereka ragu untuk mengecek ke dalam karena jaring laba-laba tersebut. “Kita tidak perlu memeriksa goa ini. Tidak seorang pun dapat masuk ke dalam tanpa merusak jaring ini.” Mereka pun lantas pergi.
Butuh beberapa saat bagi sang marinir untuk mencerna peristiwa itu. Dia tertegun dan mengucap syukur pada Tuhan untuk ‘tembok bata’ yang dibuat dari jaring laba-laba itu.
Kisah ini menggemakan pertanyaan di hati kita: berapa banyak ‘jaring laba-laba’ yang sudah Tuhan bentuk dalam hidup kita, tapi kita malah bersikap seperti sang marinir, sangsi dan merasa laba-laba itu cuma buang-buang waktu dan upaya tak berguna. Hingga kemudian, kita menyadari bahwa itu sesungguhnya adalah berkat yang terselubung. Ketika kita mengizinkan Tuhan bekerja dalam hidup kita, itu tidak berarti jalan kita akan jadi mulus dan nyaman. Setiap orang, bahkan orang Kristen sekalipun, akan mengalami penderitaan dan kesukaran dalam hidup mereka. Cobaan-cobaan itu bisa datang dalam rupa relasi yang karam, kehilangan pekerjaan, krisis keuangan, sakit keras, atau kematian orang yang dikasihi.
Kita lantas berfokus pada bahaya yang menergap di luar dan mengabaikan ‘goa’ yang sesungguhnya cukup untuk menjadi tempat perlindungan kita. Kita getir, tak melihat bagaimana sesungguhnya Tuhan bekerja. Kita acuh tak acuh ketika Tuhan memberi cerukan dalam goa itu sebagai tempat kita bersembunyi, atau tatkala Dia membuat langit sedikit mendung agar kita diluputkan dari musuh. Kita pun mengernyit ketika seekor laba-laba dipakai Tuhan untuk menciptakan jaring yang lemah, tetapi mampu menahan kita dari kesukaran yang lebih besar.
Kisah marinir tersebut mungkin bagi bisa dianggap sebagai kisah mukjizat, tapi bisa juga sebagai kisah kebetulan biasa. Tapi jaring laba-laba itu sesungguhnya bisa jadi sungguh menyelamatkan. Setelah prajurit Jepang pergi, pasukan AS akan segera datang dan menyelamatkan dia.
Tuhan jauh lebih tahu apa yang kita butuhkan, dan terkadang apa yang Dia beri melampaui apa yang kita pikirkan.
Ditulis sebagai refleksi Saat Teduh pada 10 September 2020.
Sangat memberkati.
Terima kasih kak!