Nekat Pergi di Tengah Pandemi

Jika judul tulisan ini ditayangkan pada periode Maret-April, besar kemungkinan warganet akan menghujat. Tapi, enam bulan lebih virus menggerayangi Indonesia dan kapan selesainya kita masih tak tahu. Sementara itu, hidup mulai berangsur diupayakan normal; salah satunya adalah perjalanan antar kota yang mulai dibuka kembali. 

Perjuangan untuk bertemu 

Sebagai orang yang menjalin relasi LDR lintas provinsi, pandemi ini bikin pusing tujuh belas keliling. Jadwal ketemu tiap dua bulan ambyar semua. Maret kemarin, saya bilang bahwa kita perlu sabar untuk menunda pertemuan. Di Juli, usai lebaran berlalu, saya ikut tes dengan metode serology test untuk bisa naik kereta api. Hasil tesnya non-reaktif, tapi itu ternyata nggak cukup. Di stasiun Pasar Senen, petugas mengernyit. “Kamu KTP Bandung, nggak bisa surat ini doang. Butuh SIKM,” katanya judes. Jam sudah pukul 6.05, kereta berangkat 06:30. Obral-obrol lima menit dengan petugas dengan nada paling memelas, hasilnya zonk. Saya, beserta tiga calon penumpang lain gagal berangkat naik KA Bengawan lantaran kami tak punya SIKM (meskipun sudah rapid). Sedangkan ibu-ibu di depan kami yang tak pernah rapid test atau pcr, bisa melanggeng masuk ke dalam peron karena KTP-nya DKI. Melihat kami-kami yang putus asa, pak satpam menyambangi kami, “Mas, mas-masnya kalau naik dari Senen memang kudu pake surat itu. Mending masnya sekarnag ngejar ke Bekasi, di sana gak pake surat SIKM.” Kami melongo. Mustahil bisa ke Bekasi dalam waktu kurang dari setengah jam. Opsi itu tak kami tanggapi. Saya memilih pulang, sedangkan dua yang lain segera ngojek ke terminal Pulogadung.

Karena kereta gagal, teman-teman bilang naik bus saja. Tapi opsi ini riskan juga. Pokoknya naik angkutan umum di masa kini lumayan berisiko karena kita akan duduk dalam waktu lama dengan orang banyak, plus kita tidak tahu apakah mereka membawa virus atau tidak. Apalagi jika ketahuan oleh kantor kalau nekat naik kendaraan umum ke luar kota atau main-main di kerumuman, ganjarannya adalah isolasi mandiri empat belas dihitung cuti. Alamak. Tidak deh. 

Karena rasanya tak ada lagi opsi, di bulan Juli saya menulis surat dan mengirimnya via pos. Saya bilang untuk bersabar sekali lagi, setidaknya sampai bulan Desember nanti. 

Rezeki tak diduga 

Akhir Juli, tanpa diduga saya berjumpa dengan seorang kawan lama yang tinggal di Semarang tapi kerja di Jakarta. Karena lama tak saling ketemu, kami pergi makan dan menginap bareng. Saya iseng tanya, “Eh, nanti libur Idul Adha koe meh balik Semarang ora?” 

“Ho oh, balik iki. Piye? Mau ikut? Kalau ikut, mayan, bisa gantian nyetir.” Teman saya ini punya mobil dan dia memang rutin mudik untuk menengok kedua orang tuanya. 

Seperti kejutan. “Iya, eh, aku pengen ikut.” Tapi, tujuan utama saya adalah Solo. Dari Semarang ke Solo masih lumayan jauh. Kalau naik bus, riskan tertular. Saya lalu mengontak anak magang kantor yang rumahnya di Semarang untuk meminjam motor. Jawabannya memuaskan, saya boleh pinjam motor. “Yes, aku sido melu yok!” kukabari temanku itu. 

Spot sejuta umat di Kota Lama Semarang
Kota Lama Semarang di siang bolong

Rabu malam, kami berangkat dari Jakarta jam delapan. Melibas jalan tol Japek sampai Cipali, tidak ada kendala berarti. Aspal mulus, bensin full, tiada macet. Jam setengah sebelas, kami sudah tiba di Palimanan. Aura ngantuk mulai datang. Di Pejagan, kami berhenti sebentar untuk pipis. Tancap gas lagi, dan tiba di Semarang jam setengah tiga subuh. Saya tidur sebentar, lalu jelang siang teman saya menjemput ke Kota Lama untuk ikutan foto-foto sebentar, jajan makanan ke Pecinan, dan terakhir, dia mengantar saya ke kawasan Rejosari untuk saya mengambil motor.

Ngomong-ngomong Semarang, meski kota ini lumayan familiar bagi saya, tapi jalanannya saya tak terlalu hapal. Dari Rejosari, saya dikasih tahu begini, “Pokoke nanti ke kanan, terus ke kiri, wes nemu jalan gede udah kak, bablaske ae.” Teori yang dijelaskan itu menguap saat gas motor sudah dipacu. Ini ke mana? Mau buka Google Maps repot karena harus lepas sarung tangan dulu. Ah sudahlah, ikuti kata hati. Untungnya kata hati saya tidak sesat. Belok sana sini, akhirnya saya masuk di jalan raya Semarang-Solo, via Sukun. Dari sini saya sudah anteng, sudah khatam. 

Berkendara motor dari Semarang ke Solo ini menyenangkan sekali. Ia membangkitkan lagi nostalgia sewaktu kuliah di Jogja dulu. Kalau libur semesteran, biasanya saya nggak langsung mudik ke Bandung, tapi ikutan pulang ke rumah teman-teman yang tinggal di sekitaran Jawa Tengah. Saya sering ke Temanggung, Salatiga, Ambarawa, sampai ke Kudus. 

Jam setengah lima sore, saya tiba di Boyolali. Di sini saya mampir dulu ke Desa Ngargosari, ke sebuah gereja yang setahun lalu perpustakaannya menjadi tempat dilaksanakannya Mural Project. Saya bawa oleh-oleh berupa bakpau berisi daging B2 untuk Mas Jalu, sang pendeta di sana. Ketika motor yang saya kendarai merangsek masuk ke halaman gereja, Mas Jalu terbelalak. Dia pikir saya bawa motor dari Jakarta, tapi meski cuma dari Semarang bawa motornya, dia masih tetap kaget. Nggak menyangka menerima tamu jauh. Kami bertemu singkat di pekarangan dan menjaga jarak, supaya tetap patuh pada protokol kesehatan. 

Jumpa Mas Jalu di Boyolali.
Desa Ampel, Boyolali. Itu gunung kalau tidak Merapi, Merbabu. Saya lupa.

Jam lima, saya lanjut lagi. Kali ini udara semakin adem. Di belakang saya, Gunung Merapi Merbabu tampak kokoh. Sayangnya saya cuma bisa melihatnya dari spion karena perjalanan ke Solo membelakangi kedua arga tersebut. 

Jam setengah tujuh, saya tiba di Kepatihan, Surakarta. Disambut dengan perasaan senang dan tidak percaya kalau saya akhirnya mewujudkan janji untuk tetap bertemu muka di Solo. 

Tujuh jam nyetir mobil sampai Semarang, dilanjut motoran tiga jam sampai ke Solo. Capek memang. Tapi sungguh mengharu-biru. 

Hari Minggunya, perjalanan serupa diulangi kembali. Pagi-pagi saya motoran ke Semarang, lalu siangnya nyetir mobil kembali ke Jakarta. Perjalanan kembali ke Jakarta ini lebih lama karena kami terjebak macet di tol. Sialnya, kami lupa bawa bekal. Semua rest-area ditutup. Oleh-oleh dari perjalanan ini adalah sakit lambung yang kembali menyapa. Butuh dua minggu terapi madu sampai akhirnya lambung ini kembali normal. 

 

Semoga pagebluk segera usai. 

 

14 pemikiran pada “Nekat Pergi di Tengah Pandemi

  1. Romantis bener deh pake surat-menyurat hihi

    Itu petugasnya rada kurang waras deh, masa suruh ke bekasi dari senen. Pake pintu kemana saja kali yah. Oh, kamu ke Ngargosari kemaren Ar? Kalo rumah ortu ku sebelum pasar Ampel, kamu pasti lewat kalo motoran…

    Aku oleh-olehnya kemaren flu. Dingin banget di kampung….

    1. wkwkwk, aku senang bertukar pesan model zaman dulu mas, ada manis-manisnya gitu haha.

      Aku liwat dan mampir di Ngargosari mas. Setahun lalu aku bikin project di situ, kami membikin mural di perpustakaan salah satu gereja di sana. Sekarang usai project itu, aku masih suka mampir ke sana 😀

      1. I see… iyak, pernah kamu post di blog kan 🙂

        Sensasi menunggu suratnya nyampe, lalu harap2 cemas dibalas apa nggak yah 🙂 Mendebarkan sekaligus mengasyikkan sih hehe…

  2. Oleh-olehnya sangar, sakit lambung.. 🙂

    Jane mending disileh mobile sekalian ke solo mas, ngetol solo semarang kan sejam tok. jadi biar amal temen sampeyan makin paripurna… 😀

    1. wkwkwkwwk, ndak apa-apa motoran semarang solone mas, lebih bersensasi 😀

      Nek sakit lambung sudah bawaan, kemarin sakitnya bersemi lagi karena kebodohan sendiri: lupa makan haha

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s