Kawan-kawan di Bibir Kawah

Pohon-pohon cantigi bertengger teguh di tepi tebing-tebing curam yang menghujam ke kawah. Sesekali mereka bergoyang diterpa angin, menampilkan paras elok. Tetapi, lanskap yang tersaji di belakangnya berkebalikan dengan keelokan: kawah gunung berapi yang sewaktu-waktu bisa meletup. Agustus setahun lalu, kawah ini batuk tanpa pertanda. Air, abu, dan asap pekat tumpah ke udara. Wisatawan dan pedagang lari tunggang-langgang. Tak ada yang menyangka, kawah Ratu Tangkubanperahu akan ‘murka’.

Sisa-sisa ‘murka’ itu masih terlihat. Kaldera yang dulunya lapang, kini muncul sebidang gumpalan dekat dengan sumber asap belerang. Waktu kuceritakan tentang letusan itu, teman-temanku terheran-heran. “Apanya yang beda?” tanya mereka kikuk. Aku malah jadi balik tanya, “Lah, kalian kan tinggal di Bandung, memangnya waktu ini gunung meleduk Agustus kemaren kalian nggak tau?”

“Tau sih, tapi ya nggak pernah merhatiin bentukan kawahnya.” 

Daripada pusing meributkan wujud kawah, kuajaklah mereka terus berjalan. Dari loka parkiran motor, kaki kami mengalun masuk ke pasar wisata. Jalan setapak yang sudah dipaving ini konturnya menurun. Tak perlu pakai tenaga. Apalagi angin dingin sepoi-sepoi bertiup. Delapan tahun lalu, Gunung Tangkubanperahu adalah favorit kami, sekumpulan anak SMA tak berduit yang ingin menjajal bagaimana rasanya petualangan. Dalam setahun itu, lima kali kami bertandang ke bibir kawah. Dan, masing-masing perjalanannya selalu berkesan. Kami tidak naik motor, padahal untuk sampai ke puncak kawah, Gunung Tangkubanperahulah juaranya. Konon katanya, ini satu-satunya gunung yang buat sampai ke kawahnya tinggal naik mobil. Tanpa ngos-ngosan. 

Subuh-subuh kami sudah berkumpul di lapangan sekolah di barat Stasiun Bandung. Kami lantas menyetop angkot jurusan Ciroyom-Lembang di tepi jalan Pasirkaliki. Kami cuma mau naik angkot yang kosong, supaya serombongan kami bisa masuk semua. Kalau pagi, jalan ke Lembang lancar jaya. Di jalan dekat Karmel, kami turun. Tak lupa bayar ongkos lima ribu seorang. Nah, disinilah petualangan dimulai. Kaki memacu langkah. Etape pertama tak terlalu berat. Jalan Raya Jayagiri ini sudah beraspal. Pun banyak tukang jajanan berseliweran: ada kue balok, cilok, cilor, juga gorengan. Selepas pos retribusi, barulah nafas tersengal. Jalan setapak menanjak sejauh enam kilo. Yang tak biasa keluyuran sering minta berhenti tiap lima menit. Syahdan, kami pun sampai di tepi kawah. tentunya setelah melewati perjalanan empat jam lebih. 

Mengingat nostalgia itu, kami terkekeh. “Asa gimana ya kalau inget dulu. Kok kita niat jalan kaki sejauh itu?” tanya Riky. 

“Entahlah. Sekarang mah boro-boro naik gunung. Naik tangga dua lantai aja ngos-ngosan,” sahutku. “Dan, sadar nggak sih. Dulu kita ke sini banyakan. Hampir setengah kelas mungkin ikut. Tapi sekarang, cuma tinggal kita berempat, plus cewek kalian masing-masing.” 

Aku tercenung. Bertemu di loka yang sama, masing-masing kami telah melewati lorong perjalanan yang amat berbeda. Delapan tahun lalu, kami duduk di bawah satu atap sekolah. Namun, waktu memaksa kami berpencar, meniti jalan untuk jadi orang dewasa yang mapan. 

Riky, kawanku yang dijuluki lelaki ‘abuy’ telah mendapatkan pekerjaan yang baik dan calon istri yang baik pula. Joshua, kawanku yang temperamental, reformis, dan tak mau tunduk pada aturan, rupanya kini malah mengabdi jadi seorang guru, profesi yang dulu tak pernah muncul dalam benaknya. Atau jikalau pun muncul, tak dipilihnya profesi ini. Willi, kawanku yang dulu pr-nya selalu dicontek seisi kelas dan sulit bicara di depan umum, malah jadi guru pula. Tak ada yang menyangka itu semua. Jika dulu ditanya kelak akan jadi apa, tak ada yang punya gambaran pasti. Demikian juga aku, yang dengan semangat tinggi merantau ke Jogja, eh ujung-ujungnya malah terdampar di Jakarta. 

Perjalanan kami telah berbeda. Kebersamaan masa lalu jadi kenangan yang menghangatkan hati. Dan, kami sebenarnya amat beruntung. Kami masih diikat rasa yang belum pudar sedari berkawan sejak empat belas tahun silam. Kami masih kami yang dulu, yang walaupun sekarang susah untuk menentukan jadwal bertemu, tapi selalu punya hati untuk saling mendengar cerita masing-masing. 

Hari ini, di bibir kawah Tangkubanperahu, kami merayakan dan mensyukuri kembali pertemanan kami. 

12 pemikiran pada “Kawan-kawan di Bibir Kawah

  1. Ini yang kemaren sempat rame ya, mleduknya pas kawahnya lagi dibuka dan ada pengunjung kayanya ya. Sempat liat videonya, pengunjung berlarian menjauh dari kawahnya. Serem juga.

    Ngomong-ngomong, dalam hidup, kita akan selalu ketemu dengan banyak orang yang datang lalu pergi. Katanya sih kalau kita bisa menjaga persahabatan dengan seseorang (atau beberapa orang) lebih dari 7 tahun lamanya, bakalan selamanya jadi teman dan bersahabat. Semoga pertemanannya bisa begitu ya!

    1. Video amatirnya sempat viral itu mas, dan nggk nyangka juga sih Kawah Ratu yang tenang-tenang aja, tetiba mbledos kayak begitu. Untungnya nggk ada korban jiwa 🙂

      Soal pertemanan, aku juga dengar begitu mas. Mmg waktu adalah penguji yang tepat 🙂

  2. Tulisan yang manis tentang persahabatan! Semoga awet terus yaaa friendship-nya! Btw setting foto dan tone-nya bagus, deh. Somehing magical gitu, kayak jadi lokasi shooting film-film fantasi hahaha

    1. Tengkyu kak!

      Ini spot favoritku sama temen-temen. Di lorong menuju kawah upas ini pohon-pohon khas gunung berapi tumbuh rapi di kiri-kanannya. Sesuatu yg nggk kita temui di Jakarta yaaa haha

  3. Pernah sekali ke kawah ratu pas jaman study tour SMP belasan tahun silam, aku liat di ig mu udah berubah banget ya bentuk kawahnya setelah letusan gunung bbrp tahun lalu 🙂

  4. Jadi ceritanya perjalanan reuni yaaa.

    Yakin cuma Tangkubanperahu saja yang sampai kawah nggak ngos-ngosan? Gunung Kelud apa kabar hehehe. Dulu tinggal parkir dan jalan bentar udah sampai kawah dan anak gunungnya. Sekarang kawahnya hilang setelah meletus. Eh ada lagi Kawah Sikidang di Dieng, tinggal jalan kaki dari parkiran. Eh tapi itu bukan gunung sih ehehe.

    1. Wkwkwkwwkkwkwk.. iya sih, makanya konon katanya wkwk.

      Gunung Kelud soalnya masih kudu naik ojeg lagi toh ya mas? Belum pernah ke sana, cuma memandangi Kelud dari jauh. Kejauhan kalau mbolang sabtuminggu tok dari Jekartaa.

      1. Enggak, dulu sebelum meletus tinggal parkir dan jalan bentar melewati gua Jepang. Setelah meletus emang kudu ngojek, bisa jalan kaki, tapi udah gak ada kawah sih, mana panas banget sekarang.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s