Hadiah atas Kerja Keras Kami: Jalan-jalan ke Laut Bekah

Kami merasa berdosa. Di pagi hari, kami izin meminjam motor Mbak Sekar untuk dipakai jalan-jalan keliling Jogja. Sore harinya, kami tak menyangka kalau destinasi yang kami tuju ternyata medannya tidak cocok untuk sebuah Honda Beat. Si skuter matik yang didesain untuk jalanan beraspal mendadak jadi motor off-road melibas trek berbatu di Gunung Kidul.

Kabupaten Gunung Kidul saban kemarau selalu jadi kabupaten dengan kekeringan parah terjadi. Tapi, di kabupaten ini jugalah bertebaran pantai-pantai cantik. Dari yang bisa diakses bus, sampai yang cuma bisa diakses kaki, itu pun dengan ngos-ngosan. Destinasi kami hari ini sedikit berbeda. Kami hendak ke pantai, tapi sekaligus juga ke bukit. Katanya, tempat ini mirip seperti Uluwatu di Bali, tapi versi Jawa.

Dari Imogiri, kami berkendara menuju Kecamatan Panggang. Laut Bekah bukan obyek wisata yang populer, jadi tak ada plang penanda yang memadai di sepanjang jalan utama. Dari kecamatan Panggang, kami mengarahkan motor ke arah barat, menuju Parangtritis. Istimewanya Jogja, biarpun jalanan yang kami lalui terpencil di tengah perbukitan kapur, tapi jalan aspalnya amat mulus. β€œEmpat ratus meter, belok kiri,” suara mbak-mbak GPS berbunyi.

Saya yang memegang kemudi lalu melambatkan laju motor. Di sisi kiri, ada jalan aspal yang cuma muat satu mobil. Kami disuruh belok ke situ. Delapan kilometer lagi kami akan sampai di tujuan.

Karena sinyal sudah kempat-kempot, GPS pun kami matikan. Kami bermigrasi menggunakan GPS lokal, alias Gunakan Penduduk Setempat alias tanya warga.

β€œPak, ngapunten, kula bade tanglet menawi ajeng teng Laut Bekah pundi nggih pak?” Pak permisi saya mau tanya. Kalau mau ke Laut Bekah di mana ya pak?

Meski sudah hampir empat tahun di Jakarta, skill berbahasa Kromo tipis-tipis berkat kuliah dulu belum luntur-luntur amat.

Si bapak pemilik warung mengangkat tangannya. β€œTerasan mawon mas e,” sambil senyuman tipis tersungging.

Karena GPS sudah mati, kami iseng bertanya kira-kira masih berapa kilo lagi menuju pantai. β€œ10 kilo mas,” kata si bapak. Waduh, masih lumayan. Bensin juga tinggal 1 strip. Sekalianlah kami isi tangki si Beat dengan dua liter Pertalite botolan. Kami lihat ke langit, sinar matahari masih cerah melimpah. Okelah, motor pun kami gas kembali.

Selepas warung tadi, jalanan kian tak ramah. Ciri khas jalanan di desa-desa di Jogja adalah jalan dibuat dari semen. Di tengah-tengah jalan diberi ruang kosong untuk rerumputan tumbuh. Komposisi semen membuat warga bisa lebih mudah membangun jalan secara mandiri. Tapi konsekuensinya, jalan mudah rusak dan licin saat hujan. Semakin mendekati pantai, jalanan semen itu lenyap, digantikan jalanan berbatu kapur. Kasihan si Beat, gasnya dipacu maksimal, mesinnya meraung. Saat di tanjakan, dia tetap tak kuat. Tegar pun akhirnya turun dan berjalan kaki, lalu naik lagi saat jalanan sudah datar.

Berhenti sejenak untuk mendinginkan si Beat.
Mendung hitam di lautan, tampak hujan turun di sana. Jalanan berbatu menuju Laut Bekah.

Laut Bekah benar-benar tempat wisata terpencil. Di saat kami akhirnya melihat lautan membentang, kami tak tahu di mana harus parkir. Di pinggir tebing, kami melihat ada pondokan untuk parkir motor, tapi jalan menuju ke sana bikin jantung ingin copot. Kalau yang mengemudi adalah pecinta off-road dan pakai KLX sih oke-oke aja. Lah saya, yang sehari-harinya cuma wara-wiri di Daan Mogot merasa ciut nyali. Kalau nyungsep, rumah sakit jauh. Dan, ini motor pinjaman, kami pinjam dari seorang rekan yang masih kuliah.

Eh, sekonyong-konyong datang seorang bapak tua. Dia naik motor bebek karisma, tanpa helm, tanpa alas kaki. Dengan santainya dia tersenyum dan bilang, β€œMonggo mas.”

Saya tertantang. Bukan iri, tapi kalau Karisma jadul saja kuat, mudah-mudahan Beat ini juga oke. Di sinilah ujian hidup terjadi.

Tegar jalan kaki duluan, lalu memberi komando. Slurrrr, saya meluncur di jalanan berbatu sambil ajleng-ajlengan alias lompat-lompatan.

Akhirnya, kami pun tiba di Laut Bekah.

Laut Bekah nan teduhΒ 

Kami tiba di Laut Bekah sekitar jam 3 sore. Langit masih cerah, tapi dari timur kami melihat gumpalan awan hitam bergerak cepat ke arah kami. Badan masih keringatan dan pegal. Kami pun duduk di rerumputan sambil menengadah ke lautan yang membentang di depan kami.

Laut Bekah bukanlah pantai. Ia adalah tebing yang menjorok ke laut. Jika kita berjalan ke tepi tebing, deburan ganas Samudera Hindia terlihat dilematis: di satu sisi dia cantik mempesona, di sisi lainnya dia tampak mengerikan. Tegar tak berani mendekat ke ujung tebing. Saya membayangkan, kalau ada seseorang yang ketiban sial, amit-amitnya jatuh ke sana, pasti badannya hancur seketika menghujam karang, lalu terseret gelombang. Ugh, betapa mengenaskannya.

Saya buang segera jauh-jauh pikiran itu, toh perjalanan kami hari ini adalah untuk memberi hadiah pada diri kami atas pekerjaan yang telah kami geluti di tahun 2019. Selama setahun ini, saya dan Tegar tidak ketemu karena kami bekerja di beda kota. Saya di Jakarta, dan Tegar di Jogja. Di akhir tahun, kami menemukan tanggal yang cocok untuk jalan-jalan bareng, meneruskan ritual kebersamaan yang semasa kuliah dulu sangat sering kami lakukan. Saat waktu senggang atau kelas kosong, kami berdua motoran. Dari Babarsari ke Mangunan, ke Kulonprogo, dan trip terakhir sebelum saya pindah ke Jakarta adalah kami melihat Laut Selatan dari Bukit Paralayang di Parangtritis.

Pemandangan ke sisi timur Laut Bekah. Garis pantainya berupa tebing terjal tanpa pantai.
Deburan ombak Samuderah Hindia menghujam kaki tebing.

Kala itu waktu bukanlah barang mahal. Dengan mudah kami bisa bertemu dan pergi. Tapi setelah masing-masing kami bekerja, waktu menjadi barang langka. Kami tetap punya 24 jam sehari, tapi kebanyakan disita oleh tanggung jawab yang perlu kami emban. Dulu kami terpana melihat samudera dari ketinggian. Sekarang kami terjaga karena mengarungi samudera itu di dalam perahu kami masing-masing.

β€œKene pak, foto, ben ono kenangan,” saya menyahut pada Tegar, memintanya berpose di pinggir tebing.

β€œDuh, ojo lah, aku wedi,” jawab Tegar yang dilanjutkan dengan misuh-misuh karena dipaksa foto di pinggir tebing.

Saya yakinkan dia lagi untuk ambil posisi. Dengan bantuan tripod, cekrek, kami pun punya foto di Laut Bekah.

Tak terasa, sudah satu jam kami menikmati Laut Bekah. Awan mendung di timur sudah makin dekat. Buru-buru kami berkemas dan memacu si Honda Beat untuk kembali ke Jogja.

Terjebak hujan di Laut Bekah agaknya bukanlah pengalaman yang indah.

20 pemikiran pada “Hadiah atas Kerja Keras Kami: Jalan-jalan ke Laut Bekah

  1. Wow lengkap sekali cerita perjalanannya mas…
    Beberapa waktu yang lalu saya dolan ke laut Bekah,
    jalan menanjak yang rusak itu sudah dicor, dan sudah nyaman untuk dilewati.
    Hanya saja pas kesana ada pengerjaan proyek pemasangan pipa di sepanjang pinggiran jalan.

    Salam Dolan πŸ™‚

  2. Lagi nyari-nyari info tentang perjalanan ke Laut Bekah, eh akhirnya sampai di sini…. Btw, itu pergi ke sananya kapan, mas? Sekitaran awal 2020 kah?

      1. Waduh, ternyata komen saya kedobel. Efek sudah jarang komen2 di blog orang nih, jadi lupa ternyata kalau mau komen harus di-acc dulu ya sama author-nya hehehe. Wah, berarti belum lama ya, Mas. Oke, jadi punya gambaran kalau mau ke sana nih. Thanks for sharing, Mas! Btw, itu motornya persis kayak punya saya hahaha. Sampai Jogja masih aman kan mesinnya? 😁

  3. Aku merasa jogja nggak ada habisnya yah di-explore.. ada aja yg bisa diliat πŸ™‚
    Bahasa krama nya bagus mas hehe…
    Bener ya, mirip banget sama uluwatu…

      1. Pastinya ya, terkadang perjalanan menuju ke destinasi walaupun capek pasti tetap gasss.. pas baliknya kepengen banget bisa tiba di tujuan dengan hanya mengedipkan mata πŸ˜…
        I am a bad thinker 😜

Tinggalkan Balasan ke Winarto K. Amat Batalkan balasan