Sudah dua tahun lebih di Jakarta saya tinggal sekamar bersama seorang kawan dari Nias, namanya Themas. Usia kami terpaut tiga tahun. Dia bekerja di lantai tiga, saya di lantai dua. Kami cuma ketemu saat malam. Itu pun jarang mengobrol karena biasanya kami langsung tidur.
Per tanggal 15 Maret 2020, kantor kami memberlakukan sistem kerja dari rumah. Tapi, saya dan Themas tetap tinggal di kantor. Meski dekat, saya tidak mau pulang ke Bandung. Lebih baik di kantor saja daripada pulang-pulang bawa virus. Demikian juga dengan Themas. Kampung halamannya jauh, ongkos pulangnya pun mahal. Sudah tiga tahun lebih dia tidak mudik.
Karena kantor kosong, kami jadi lebih sering mengobrol. Setiap bangun pagi, Themas selalu bertanya, “Abang kita makan apa hari ini?” Saya lalu menjawabnya dengan “Hmm.. Apa ya?”
Supaya hemat, di dua minggu pertama kami memasak bareng. Awalnya saya belanja ke supermarket, tapi rupanya ini tidak hemat-hemat amat. Themas lalu mengusulkan kami belanja saja ke Pasar Cengkareng. Belanjanya jam 1 pagi, saat pasar belum ramai. Dengan modal 100 ribu, kami bisa beli ikan kembung 1 kilo, ayam 1,5 kilo, caysim, jeruk nipis, tahu, tempe, cabe, bawang, dan kue cucur.
Kala weekend tiba dan rasa bosan sudah tak tertahankan, kami diizinkan atasan pergi jalan-jalan naik mobil kantor, sekalian memanaskan mesinnya.
Di dalam mobil saya dan Themas saling berbagi cerita. Pada suatu bahasan tentang rumah, Themas bilang kalau rumahnya itu lokasinya cukup terpencil. “Dari Gunungsitoli masih jauh itu bang. Aku belum pernah pulang lagi ke sana,” tuturnya.
“Nggak kangen apa? Terus rencana mau pulang kapan?” tanya saya.
“Entahlah. Pulang mahal, aku belum sukses.”
Dua tahun lebih mengenal Themas, dia adalah sesosok pemuda yang istimewa. Temperamennya kolerik, plus dia asli Nias. Kadang, nada bicaranya suka meninggi, padahal dia tidak sedang marah. Awal-awal kenal, intonasi bicaranya sering memicu miskomunikasi. Setelah tamat SMA, Themas yang adalah anak ketiga dari delapan bersaudara merantau ke Jakarta. Dari penghasilannya, dia membuat pos-pos pengeluaran: untuk makan, menabung, kuliah sepulang kerja, dan kirim ke orang tuanya.
“Natal tahun lalu, aku kirim THR-ku ke ibu-bapak di kampung. Kusuruh mereka beli anak babi, untuk dimakan rame-rame di rumah, untuk Natalan,” kata Themas.
“Waw, anak babi?” saya melongo. Belum pernah saya dengar ada teman yang menggunakan uang THRnya untuk membeli binatang seperti itu. “Kok anak babi, nggak kamu beliin ayam aja?”
“Nggak bang, anak babi lebih enak, empuk dagingnya,” kata Themas terkekeh.
Cerita pun berlanjut. Sambil menyetir, saya membayangkan anak babi seperti apa yang dibeli oleh orang tuanya. Lalu, bagaimana anak babi yang merah seperti piglet di film Winnie The Pooh itu mengerang kesakitan saat disembelih. Tapi, saya lalu terpikir, bagaimana orang-orang perantau jauh seperti Themas menyalurkan rindu kepada keluarganya yang jauh.
Zaman memang semakin maju, dan katanya tiket pesawat masa sekarang sudah lebih terjangkau. Tapi, lebih terjangkau bukan berarti menjangkau semua kalangan kan. Bagi pemuda yang sedang menulis kisah hidupnya, pergi ke Jakarta ibarat prajurit pergi ke palagan. Tak ada prajurit yang ingin pulang dalam keadaan kalah dan nestapa. Mereka ingin pulang dengan kemenangan dan kebanggaan, supaya keluarga di rumah beroleh sukacita.
Itulah yang Themas yakini. Dia bilang dia tidak akan pulang ke Nias sebelum dirinya sukses. Sekarang dia punya waktu beberapa tahun lagi untuk menuntaskan studinya. Kadang kuliah Akuntasi yang diambilnya membuat dia pusing, tapi dia tidak ingin menyerah. Kesempatan-kesempatan untuk belajar jadi pemimpin di kampusnya pun dia ambil. Meski agak pemalu, tapi dia bersedia ketika ditunjuk jadi MC acara wisuda, bahkan ketua panitia Natal di kampusnya.
Sebulanan ini, dikarantina di Jakarta bersama Themas, saya jadi belajar. Betapa seorang muda punya semangat yang kuat bagi kebaikan keluarganya.
Anak baby yg lucu dan menggemaskan kalo di foto blognya huhu..
Themas ini marga apa Ar?
Bisa lompat batu nggak hehe..
Saya punya bbrp teman asli Nias dan emang suaranya agak menggelegar
Laia marganya wkwk.
Nggk bisa dia lompat batu, dulu aku jg mkir gitu. Wah org Nias pasti bs lompat batu wkwkwk
Aha….kirain bisa 🙂
daging anak babi enak, jangan yang terlalu kecil tapi ya .. kasihan 🙂
Belum pernah nyicip :”(
Tp nggk bakal tega juga kayaknya kak kalau liat penampakan baby pigletnya kalau masih hidup.
Jadi teringat perjuangan saya saat baru merantau di Jakarta. 8 bulan menganggur, terkadang malu karena masih dibantu orang tua padahal udah lulus kuliah. Saya sama seperti Themas, sama2 dari kampung dan dari Sumatera utara. Sukses buat kalian berdua mas, salam buat Themas.
Halo mas, salam kenal 🙂
Semangat juga mas!
Selamat berjuang Themas
Makasih kak. Sy sampaikan ke Themas 😊
Gaya bahasanya bagus banget.. tapi kurang anti klimaks.. kirain.. ada klimaks sama anti klimaksnya..
Hehehe
Keren dan salut
Wahh, makasih kak apresiasinya.
Haha, iya nih, tulisannya kurang greget. Nanti kl ngbrol lagi sama si Themas saya coba gali lagi kisah2 menariknya. 😄
semoga semangatnya tetap menyala dan segera berjumpa dengan sukses sesuai targetnya..
sama kaya bro Nugie, kirain anak babinya buat dipelihara sampai besar trs dikawinkan dll.. ahaha.. tapi ni jadi kebayang juga gimana rasanya anak babi,, kayanya gurih empuk gitu ya, wkwk..
-Traveler Paruh Waktu
Nah itu, sy nggk kebayang rasanya daging anak babi, mgkin bagi orang sana rasanya nikmat.
Lho, kirain beli anak babi buat diternakkan, ternyata buat dimakan 😀
Dulu saat aku kuliah, bapak sempat ternak babi. Ada induk dan anak-anaknya. Hasil penjualan babi bisa kami pake untuk beli motor, menopang hidup sehari-hari, dan uang jajan anak bungsunya ini di Bandung.
Beberapa tahun lalu for some reason, udah nggak ternak babi lagi, tapi aku kepikiran untuk membelikan bapak sebidang tanah dan babi biar bisa beternak lagi.
Aku juga koleris, keduanya sanguin. Temen-temen kantor kadang ngomong, “Biasa aja Nug, nggak usah ngegas gitu.” Hahaha.
Btw, sampaikan kepada Themas: udah sukses atau belum, kalau sudah ada cukup berkat, pulanglah. Uang bisa dicari lagi, tapi waktu tidak.
Wuih, komentarnya mengundang haru. Siap guh, kusampaikan ke orangnya.
Ngmg ternak babi jadi ingat waku live-in di Boro, Kulonprogo dulu. Di desa ini banyak warganya pilih beternak babi, lucu, tapi bau.
Hahaha iya memang bau x))