Seminggu sebelum virus corona dinyatakan resmi masuk di Indonesia, alhamdullilah saya sukses menunaikan perjalanan ngebis. Meski sekarang perjalanan antar-kota masih diperbolehkan, tapi demi kebaikan bersama, lebih baik kita #DiRumahAja untuk sementara waktu.
Berasa seperti blog layanan masyarakat ya, hehe. Tapi di tulisan kali ini kita tidak akan bicara soal virus. Saya mau bertutur tentang pengalaman naik bus malam via agen di Kalideres.
Sebenarnya saya sudah beberapa kali berangkat dari terminal Kalideres, tapi biasanya saya naik bus Gapuraning Rahayu, Primajasa, atau Arimbi yang tak perlu beli tiket lebih dulu. Tinggal naik gojek, cari busnya, lalu naik deh. Bayarnya nanti saat kondektur berkeliling menagih ke masing-masing penumpang.
Di grup-grup Facebook komunitas bus yang saya ikuti, sering ada postingan tentang hal-hal seram di terminal. Ada yang dicopet, dipalak calo, sampai ketinggalan bus. Saya sendiri punya pengalaman buruk sih di terminal Kalideres. Saat perjalanan pulang dari Solo ke Jakarta, supir bus ogah menurunkan saya di pertigaan Daan Mogot Baru. Takut ditilang, ada kamera cctv, begitu katanya. Alhasil saya diturunkan di depan terminal jam 3 subuh. Belum sampai kaki menyentuh aspal, puluhan opang alias ojek pangkalan langsung beringas. Tas ditarik-tarik, pundak dipegang-pegang sembari ditanya, “ke mana bos, ke mana”. Ditolak secara halus, malah dibalas secara ngegas. Saya dikata-katai kasar.
Tapi, saya belum kapok untuk ngebis. Tanggal 6 Maret, saya berangkat menuju Terminal Tirtonadi, Solo menaiki bus Rosalia Indah. Sebulan sebelumnya saya sudah pesan tiket online. Untuk kelas eksekutif biasa, tarifnya 180 ribu sudah termasuk makan.
Menghindari calo bus
Bukan terminal namanya kalau saat kita datang tidak dikerumuni orang. Begitu turun dari ojol, kira-kira 5 orang menghampiri.
“Ke mana bos? Bus apa bos? Udah dapat tiket bos?”
Kadang ada orang yang takut, lalu berusaha cuek. Tapi, biasanya respons ini yang malah membuat para ‘calo’ jadi agresif. Karena saya sudah punya tiket, saya cukup bilang, “Udah ada tiket bang. Naik Rosin”. Mereka pun langsung bubar, bar, bar.
Loket Rosalia Indah letaknya masih agak di depan terminal. Dari tempat turun ojol, tinggal jalan selemparan batu. Di bagian loket ini ada puluhan loket-loket bus yang tulisannya tumpang tindih. Cukup bingung juga mencari-cari plang “Rosalia Indah”.
Clingak-clinguk semenit, ketemu juga loket Rosalia Indah. Lokasinya agak di pojokan.
Jika kita sudah mencetak tiket sendiri, di loket kita cukup lapor dan diberi kupon makan. Tapi jika belum cetak, kita tinggal sebutkan nama atau kode pesan, lalu petugas loket akan mencetakkannya buat kita. Prosesnya singkat, mas petugas juga ramah.
“464 yo mas, jangan salah naik,” kata si petugas.
Nomor lambung atau bodi bus ini wajib hukumnya untuk diingat. Pasalnya, di terminal busnya tidak cuma satu. Salah nomor bus bisa berabe nantinya.
Saya lalu duduk di ruang tunggu yang bentuknya semi permanen. Ruang tunggunya cuma beralaskan tenda, tapi nyaman dan sejuk.



Sembari menunggu, para pejuang ibu kota hilir mudik menghampiri: mulai dari asongan penjaja kacang goreng, tahu, tolak angin, sampai yang jualan alat tulis, kaca mata, dan power bank. Ini nih istimewanya terminal. Kalau di stasiun, kita tak lagi bisa melihat geliat ekonomi rakyat kecil sebab stasiun telah dibuat steril. Kalau di terminal, lain cerita. Kita bisa jajan langsung dari para asongan.
Saya ditawari lengkeng sekantong 20 ribu, tapi saya tolak. Lalu ditawari lagi permen jahe. Kali ini tak bisa mengelak. Permen jahe adalah kawan serasi untuk perjalanan jarak jauh.
Bus tanpa topi
Jam lima lewat sepuluh, bus Rosalia Indah berwarna kuning Sponge Bob menyembul dari balik atap-atap bus.
“Teettttt”, klaksonya memecah bengong para penumpang.
Saya lihat nomor lambungnya, “464”. Ini bus saya. Cuma 5 orang yang naik dari Kalideres. Di dalam bus, hampir semua kursi sudah terisi oleh penumpang yang naik duluan dari Bitung.
Lima menitan berhenti, bus langsung berangkat.

Saya sengaja naik kelas eksekutif biasa dengan harapan dapat bus model lama yang tidak pakai “topi”. Bus-bus sekarang yang modelnya SHD atau UHD, di kaca depannya ada semacam pembatas. Dari depan memang membuat penampilan bus tambah gagah, tapi dari dalam pemandangan penumpang jadi sedikit terhalang. Eh, syukurnya perjalanan kali ini dapat bus yang tanpa topi.
Kelas eksekutif biasa Rosalia Indah konfigurasi kursinya 2-2. Jumlah penumpangnya 32 orang. Tapi soal kenyamanan, masih okelah. Tidak jomplang amat dengan kelas Super Top. Cuma sayangnya, mungkin karena umur bus yang sudah lumayan tua, di tepi kursi banyak baby coro alias bayi kecoa yang jalan-jalan.
Di tiap kursi sudah disediakan selimut. Dua jempol untuk Rosalia karena selimutnya harum dan tidak gatal.
Ekstra sabar
Tapi, senyaman-nyamannya naik bus, soal waktu tempuh semuanya sangat bergantung dengan situasi dan kondisi jalanan. Baru keluar terminal, macet sudah menyambut. Setelah masuk tol lingkar luar, jalanan lancar jaya. Eh, tapi kebahagiaan itu cuma berlangsung 10 menit. Setelahnya, macet panjang.
Perjalanan kal ini sedikit suwek. Sang driver maksud hati ingin menghindari macet. Alih-alih belok lewat Tol Semanggi, driver malah belok ke jalan tol lingkar-luar arah Cakung. Ndilalah, ternyata di tol itu ada truk muatan elpiji ngguling dan belum bisa diangkat dari jam 3. Alhasil, sampai jam 10 malam pun kami masih bengong di tol dalam Jakarta.


Dari kursi penumpang saya bisa dengar supir dan kernet misuh-misuh. “Syuuu, meh tekan jam piro ki..”
Ada dua driver yang bertugas. Setelah macet terurai, driver utama pamit tidur ke belakang bus, digantikan driver yang lebih tua usianya. Perjalanan sekarang sudah lancar. Bunyi kriyet-kriyet suspensi bus seperti irama nina bobo.
Jam setengah satu, kami tiba di Subang, di rest-area khusus Rosalia Indah. Lengkapnya tentang rest-area ini bisa dibaca di liputan saya di sini.
Sehabis makan, bus melaju lagi. Kali ini driver mengganti dangdut Pantura dengan lagu-lagu Indonesia jadul tahun 80-an. Semakin nyenyak tidurnya.
Jam setengah empat pagi, bus sampai di Semarang. Di etape Semarang-Solo bus bolak-balik keluar-masuk tol. Saya masih ngantuk, lanjut tidur lagi saja.
Jam setengah enam, bus melintas daerah Boyolali. Kabutnya pekat.
Jam enam lewat sepuluh, bus berhenti di Tirtonadi. Penumpang yang tersisa tinggal segelintir. Kebanyakan sudah turun di Semarang, Bawen, Salatiga, dan Boyolali. Yang turun di Solo kota cuma saya dan dua ibu-ibu. Kalau tidak salah, penumpang yang masih tersisa di bus cuma sekitaran 5 orang lagi. Bus masih melanjutkan perjalannya sampai ke Madiun.
Kelebihannya naik bus kali ini adalah meskipun macet, tapi kursinya nyaman dan supir mengemudi dengan aman. Saya bisa tidur sekitar 6 jam, sehingga saat sampai di Solo badan tidak setengah sadar.
Baca cerita perjalanan muduk naik bus gini jadi keingetan dulu aku juga sering mudik naik bus yang banyak coronya.
Geli banget rasanya pas merem tau-tau lari-larian ke kaca yang kusandarin.
Hahaha, kecoaknya biarpun kecil tetap bikin geli. Tkutnya kl tidur, naik ke muka.
Jakarta kalau gak macet mah namanya bukan Jakarta. Tapi kalo macetnya sampe 3 jam, bisa-bisa tua di jalan.
Wkwkwk, itulah mas. Untungnya di bus ada toilet, kalo nggk berabe.
HAAA? BABY COROOO? Wah, bisa gelisah sepanjang jalan aku, hahaha. Kalo cuma satu dua okelah. Bus Bandung Express yang biasa kunaiki biasanya nggak separah itu meski kadang udah agak tua.
Beberapa kali naik turun di terminal, nggak pernah dapat perlakuan seberingas itu. Jakarta memang beda.
Yang di Rosalia Indah ini baby coronya nggk terlalu banyak, kurus-kurus pula.
Kalau naik bus lain, yang aku pernah tulis juga di blog ini, baby coronya melimpah dan gemuk-gemuk. Mungkin ini efek dari jam istirahat bus yang nggk lama. Sampai lokasi, bersihkan ala-kadarnya, puter balik narik lagi.
Hehe mantap mas, ternyata bukan cuma saya saja yg kurang nyaman dengan bus bertopi
Btw service makannya enak nggak?
Lumayan mas. Tp krna naik yg ekse biasa, menunya gak sekomplit yg super top. Trus krna sy sampe Subangnya udh telat banget, jd makanannya kurang anget.