Sepanjang Jalan Naik Matarmaja

Stasiun Solo Jebres. Perjalanan Minggu sore ini adalah kali pertama saya naik kereta api jarak jauh dari stasiun ini. Suasananya sedikit berbeda. Solo Jebres jalurnya tak sebanyak Solo Balapan, pun ruang tunggunya tak seluas Purwosari.

Dari jalur satu, kereta api (KA) Matarmaja nomor perjalanan 291 akan tiba dari Malang. Alasan saya memilih naik kereta ini karena jam berangkatnya masih lumayan sore dari Solo, pukul 15:34. Estimasi nanti kereta akan tiba di Pasar Senen sekitar jam 1 pagi. Masih ada lumayan waktu untuk istirahat sebelum jam 8 masuk kerja. Ongkos Matarmaja juga ramah di kantong, cuma 150 ribu karena masih disubsidi pemerintah. Kalau dibandingkan dengan Senja Utama Solo yang tarif kala weekend mencapai 350 ribu, beda jauh.

Stasiun Solo Jebres pada zaman Belanda dulu Sumber: Leiden University Library / Public domain
Stasiun Solo Jebres tahun 2019.
Sumber: Alqhaderi Aliffianiko / CC BY-SA (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0)

Tapi, ada alasan lain yang membuat KA Matarmaja menjadi istimewa. Inilah yang ingin saya tuliskan di sini. 

Setelah berhenti sekitar lima menit, Matarmaja melaju perlahan. Dari balik jendela, langit Solo hitam pekat. Air hujan turun dengan lebat. Pemandangan di balik kaca jadi tak terlalu jelas, tapi suasanya terasa lebih syahdu. Beruntung pula saya duduk di tepi kaca. 

Pulau Jawa sejatinya punya jaringan rel yang beragam. Ketika Belanda membangun layanan kereta api, mereka tak cuma menghubungkan kota-kota besar. Kota-kota kecil pun disambungkan dengan layanan kereta. Mulai dari Bayah di Banten, Bantul di Yogyakarta, sampai Bondowoso di Jawa Timur. Selepas dekade 70-an, banyak jalur-jalur cabang itu mati lantaran penumpang makin sedikit dan transportasi roda karet dianggap lebih cepat. 

Ada lima kereta yang melayani perjalanan dari Jakarta ke Malang. Jayabaya melewati full lintas utara, dari Jakarta via Semarang dan Surabaya. Bima melewati lintas selatan, namun tetap di jalur utama melalui Purwokerto, Yogyakarta, dan Surabaya. Gajayana rutenya mirip dengan Bima, namun di Kertosono ia berbelok memasuki jalur kantong Kediri-Malang. Paling unik adalah Matarmaja dan Majapahit. Dua kereta ekonomi tapi tak serupa ini mengambil rute lintas utara sampai Brumbung, lalu berbelok ke jalur cabang nan tua melewati Kedungjati sampai Solobalapan. Selepas Kertosono, dua kereta ini masuk kembali ke jalur kantong melalui Kediri, Blitar, sampai dengan di Malang. 

Saya sudah tiga kali naik Matarmaja, tapi belum pernah sampai ke Malang. Biar begitu, tetap saja perjalanannya berkesan. Karena dari Solo masih sekitar jam setengah empat, perjalanan kereta sampai ke Brumbung masih lumayan terang. Jalur ini adalah jalur legendaris. Perusahaan Nederlandsh-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) membangun jalur ini pada 1867-1873, sebagai pengembangan dari pembangunan jalur Samarang-Tangoeng. 

Tak seperti jalur utama di Jawa yang sibuk, jalur Solo-Semarang tergolong sepi. Cuma segelintir kereta yang melalui jalur ini: Bangunkarta, Majapahit, Matarmaja, Brantas, Sancaka Utara, dan sedikit lebih ramai berkat kehadiran Joglosemarkerto yang sekaligus juga menghapus layanan KA Kalijaga. 

Di luar kereta, hujan masih mengguyur. Pandangan tak terlalu leluasa, namun halimun tipis tampak menyelimuti area persawahan yang mulai menguning. Laju kereta pun dipacu konstan, sekitar 40 kilometer per jam saja. Bagi pecinta sepur, laju kereta yang lambat dan meliuk-liuk adalah kenikmatan tersendiri. Saat kereta berbelok tajam, gesekan antara roda dengan rel menciptakan decitan yang khas. Pun goyangan ke kiri dan kanan terasa seperti irama yang serasi. 

Stasiun Kedungjati 

Agak disayangkan, karena jalur ini sepi, praktis tak banyak persilangan yang dilakukan. Padahal ada stasiun-stasiun eksotik masih lestari di jalur ini. Salah satunya Stasiun Kedungjati. 

Jika kita pernah main-main ke museum kereta Ambarawa, pasti bangunan di Stasiun Kedungjati terasa familiar. Stasiun Kedungjati diresmikan pada tanggal 19 Juli 1868 dan merupakan stasiun bertipe pulau. Artinya bangunan stasiun ada di tengah. Di kanan-kirinya ada rel yang merupakan dua percabangan: satu ke arah Gundih dan Solo, satu lagi ke arah Willem I atau Ambarawa. Tapi, semenjak Stasiun Ambarawa tak lagi beroperasi di tahun 1976, jalur dari Kedungjati pun turut dinonaktifkan. Sekarang, Kedungjati hanya melayani perjalanan kereta ke arah Semarang dan Solo. 

Kereta Matarmaja cuma melengos saja di sini. 

Stasiun Kedungjati pada masa pemerintahan kolonial 
Arsip dari Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures
Stasiun Kedungjati tahun 2019
© Alqhaderi Aliffianiko, Licensed with CC BY-SA 4.0
Stasiun Gundih
Sumber: Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures / CC BY-SA (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0)

Terus ke Jakarta

Setelah kereta tiba di Brumbung, perjalanan di jalur cabang berakhir. Di lintasan utama Surabaya-Semarang-Jakarta, rel kereta telah menggunakan tipe R54. Kereta bisa dipacu konstan pada kecepatan tinggi. 

Tepat pukul 17:50, Matarmaja berhenti di Stasiun Semarang Tawang. Ada waktu berhenti 12 menit. Lumayan untuk keluar kereta, foto-foto, dan jajan beli roti. Tepat pukul 18:02, kereta diberangkatkan kembali. 

Selepas Semarang Tawang, aktivitas yang saya lakukan cuma tidur. Kereta ngebut konstan, di kanan kiri pun gelap gulita. Kalau siang hari sih kita bisa melihat pemandangan laut Jawa di sekitaran Stasiun Plabuan. 

Bangun-bangun kereta sudah sampai di Jatibarang. Jam 1 kurang 3 menit, kereta merapat sempurna di peron 4 Stasiun Pasar Senen. 

Total waktu tempuh dari Solo Jebres ke Pasar Senen sekitar 9,5 jam. Dengan harga 150 ribu, untung banyak naik Matarmaja! Tapi, itu jika kamu adalah pecinta sepur. Jika bukan, mungkin kamu akan mengomel karena perjalanan terasa lama dan membosankan. 

Salam sepur! Semoga pandemi COVID-19 segera selesai dan kita bisa merayakan kembali perjalanan-perjalanan naik kereta. 

 

3 pemikiran pada “Sepanjang Jalan Naik Matarmaja

  1. Salam Sehat Aryanto….
    gimana keadaan loe selama pandemi ini,,, sll sehat khan,, dah lama bingits tak mengunjungi/ sowan/ silaturahmi ke blog loe,,, btw selama pandemi ini nyempetin jalan-jalan pake KA gak??? kalo iyya dah ke mana ajja, n naek KA apa???? ada KA baru lho??? KA Baturraden Express (Purwokerto Cikampek Bandung) ama KA Nusa Tembini (Jogja Cilacap),,,, mau nyoba gakkkk???? hehehhe….

  2. Seumur umur baru sekali naik Matarmaja karena ada acara di Malang. Rasanya lama banget di kereta, sudah tidur bangun tidur bangun lagi…masih juga belum sampai haha

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s