Menikmati Bandung dari Kebun Tehnya

Mencari tempat sunyi di Bandung agaknya sudah jadi barang yang sulit. Kota dengan penduduk dua setengah juta jiwa ini bertambah sesak tiap kali tanggal merah menyambut. Libur Natal 2019 kemarin, macet parah mengular mulai dari jalan Setiabudi sampai ke Lembang. Jalan-jalan alternatif juga tak luput dari limpahan kendaraan. Itulah sekelumit kesan yang disandang Bandung sebagai kota wisata. 

“Jadi kita ke mana?” tanya Putra, rekan sekantor di Jakarta yang menginap di rumah. 

“Bebas. Tapi ke Pangalengan gak mungkin, kita udah terlalu siang,” sahut saya. Semalam, kereta yang ditumpangi Putra molor lima jam akibat tiang sinyal di Karawang disambar petir. “Gimana kalau kita coba eksplor daerah Cimahi arah Lembang? Di sana kayaknya gak terlalu rame. Orang Jakarta gak banyak ke sana.”

Kami sepakat. Berkemas sepuluh menit, kemudian kami mengendari Jupiter MX tahun 2009 yang saya beri nama Maxi. Sebelumnya Maxi sempat ikut saya di Jakarta, tapi di tahun ini dia saya pulangkan supaya kalau saya mudik, ada kendaraan di rumah. 

Maxi melibas jalanan berbatu

Tujuan utama kami adalah Curug Bubrug, tapi sampai di jalan arah Ciwangun, kami kehilangan arah. Saya coba tanyakan ke warga setempat dalam bahasa Sunda, mereka tidak memberi arahan yang jelas. Terdamparlah kami di Ciwangun Indah Camp yang ternyata di curug-curugnya, airnya tidak deras. Agak kecewa, kami cari destinasi lain. Inginnya ke kebun teh, tapi kalau ke kebun teh di Tangkuban Parahu, artinya kami harus melewati lautan macet di Jalanan Kolonel Masturi sampai ke Lembang. Tidak deh, sudah jengah di Jakarta ketemu macet, masak di Bandung bermain lagi sama macet. 

“Di Google Maps ada kebun teh bagus deket sini, Kebun Teh Sukawana namanya. Gak jauh sih,” saya mengusulkan ke Putra. 

Kami coba ikuti arahan yang diberikan Google Maps, tapi suram. Maps mengarahkan kami lewat jalan desa yang berlumpur dan menanjak. Tak mungkin si Maxi kuat. Kami matikan maps, mencoba menelusuri jalan sendiri melewati jalan raya. Pilihan trek ini lebih manusiawi, jalanannya lumayan lebar walaupun sama-sama hancur. Dari tepi Jalan Raya Kolonel Masturi, ada satu pertigaan kecil ke kiri. Tertulis plang “PTPN VIII”. Kami ikuti arahan itu, melibas jalanan desa yang berlumpur coklat. 

Awalnya saya yang memegang kemudi. Namun, setiap kali ban belakang motor selip, jantung rasanya deg-degan. Daripada oleng dan patah tulang, Putra menggantikan posisi saya. Tangannya lebih kuat memegang stang si Maxi agar tidak oleng, tapi Maxi sudah berumur. Di beberapa tanjakan, saya mesti turun. 

Maxi beristirahat sejenak.
Jalan menuju Kebun Teh Sukawana

Saya ingat satu kutipan yang ditemukan di Facebook sepuluh tahun silam, difficult roads often leads to beautiful destinations. 

Jalan yang kami lalui, untuk ukuran motor Jupiter MX jeleknya lumayan parah. Batu-batu aneka ukuran jadi pengganti aspal. Ban motor selip. Gas dipacu terus. Mesin panas sampai engine cooler menyala. Dalam hati saya mengimani kutipan itu, semoga saja jalan yang rusak ini memang mengantar kami ke tujuan yang ciamik. 

Sekitar dua kilometer melibas jalanan licin, kami tiba di pos perkebunan. Dua orang satpam bertanya ke mana tujuan kami. Kami bilang mau jalan-jalan saja dan katanya ada uang retribusi lima ribu per motor. Tanpa tiket, saya yakin itu uang untuk udud. Menjaga kebun teh yang jauh dari keramaian memang butuh kawan berasap. 

Selepas pos satpam, jalanan lebih suram lagi. Kali ini saya berjalan kaki di beberapa titik karena terlampau licin dan si Maxi tak kuat. Di belakang kami, dua mobil jeep offroad dengan santainya melaju. Mereka lalu berbelok ke kanan, ke jalanan yang dikhususkan untuk offroad. 

Kebun Teh Sukawana berada di bawah naungan PTPN VIII. Dulunya, kebun teh ini bernama Pangheotan. Saya tak tahu arti dari nama itu, tapi konon katanya kata “pangheotan” diserap dari nama “Van Houten”, seorang meneer Belanda yang dulunya punya kebun di sini. Menanjak ke atas, ada Villa Merah berdiri anggun. Sesuai namanya, villa ini berwarna merah dan hari itu isi villa sedang ramai oleh acara makrab mahasiswa salah satu kampus di Bandung. 

Kami mencari spot yang tenang lalu menepikan motor. Peralatan memotret dikeluarkan dan episode menangkap momen pun dimulai. 

Menikmati Bandung, merayakan pertemanan 

Perjalanan kali ini adalah perjalanan ke Bandung kedua bersama Putra. Setiap Senin sampai Jumat kami selalu bertemu kurang lebih 10 jam di ruangan yang sama. Posisi duduk Putra, tepat di depan saya. Karena rutin bertemu, lama-lama kami bosan. Kadang topik pembicaraan rasanya sudah habis. 

Pergi ke luar semacam ini bisa jadi salah satu cara kami untuk tetap membuat pertemanan yang terkurung dalam dinding kantor ini tetap punya rasa: pertemanan yang tak cuma bicara soal setumpuk kerjaan, tapi juga tentang bagaimana kami menikmati dunia. Karena kami berdua suka memotret, segeralah kami pun cocok menjadi kawan ngebolang bersama. 

Selama dua jam kami asyik sendiri di pojokan kebun teh. Lensa kamera menangkap detail-detail pucuk teh yang menghijau dan paru-paru kami bersukacita menikmati segarnya udara pegunungan. 

Kontras dengan suasana perkotaan yang penuh tekanan, kebun teh menawarkan wisata tetirah yang memberikan ketenangan batin. Mungkin, terlepas dari motif uang, ini pulalah yang menggerakkan para Belanda totok dua abad silam untuk mengarungi samudera enam bulan dan menjadi meneer-meneer di tanah Priangan. 

Salam! 

Tips menuju Kebun Teh Sukawana:

Kesatu, jangan naik mobil yang ground-clearancenya pendek Dijamin pasti akan tergasruk. 

Kedua, jika tak ingin macet, bisa ambil jalan dari Cihanjuang/Cimahi. 

Ketiga, jangan terlalu percaya Google Maps. Ikuti jalan raya Kolonel Masturi, selepas Parongpong (dari arah Cimahi) ada pertigaan kecil yang berplang “PTPN VIII”, masuk ke jalan itu dan lurus saja. 

 

9 pemikiran pada “Menikmati Bandung dari Kebun Tehnya

  1. harus ke pelosok ya buat nemuin kesunyian di Bandung 😀 ..

    btw, jadi keingat motor pertamaku, jupie mx juga, telah menemani kehidupanku sejak 2005 – 2011 🙂

    -Traveler Paruh Waktu

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s