Kemarin, 31 Desember 2019, hujan turun di Kalideres sejak kira-kira jam 7 malam. Saya ditemani oleh dua teman: Putra dan Andre. Kami berencana bakar-bakar sosis di halaman kantor sampai pergantian tahun. Semua berjalan lancar sampai di pagi harinya tiba-tiba grup WhatsApp riuh.
“Banjir di sini udah sebetis.”
“Di sini udah selutut.”
“Di sini aman.”
Masing-masing rekan kantor saling memberi kabar. Untungnya kantor tidak banjir, tapi rumah Putra kebanjiran. Jalan Daan Mogot yang membentang 27 km dari Grogol sampai ke Tangerang ikutan lumpuh. Kanal Mookervart yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1678-1689 meluap. Luapannya menggenangi jalan arteri dan menyumbat aliran sungai-sungai kecil yang akhirnya merendam pemukiman padat penduduk.
Putra harus segera pulang untuk menolong keluarganya menyelamatkan harta benda. Dari foto yang dikirim oleh adiknya, banjir sudah sepinggang di rumahnya. Karena tak bawa motor, maka saya mengantar Putra pulang. Namun, baru keluar kantor sekian meter, air sudah menggenang. Di tepi jalan Daan Mogot, ratusan warga menonton Kali Mookervart yang hampir meluap. Sampai di perempatan Cengkareng, lalu lintas kacau. Jalan ke barat tertutup air, ke utara dan selatan juga tergenang.
Putra memilih turun di situ dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, sementara saya mencari jalan pulang ke kantor, melibas jalanan yang banjirnya sekitar semata kaki. Sesampainya di kantor, terbersit ide untuk mengabadikan momen banjir ini dalam gambar dan narasi. Segera saya mengambil kamera dan petualangan mengarungi banjir pun dimulai.
Berkawan dengan banjir
Dari kantor, saya mengenakan celana pendek dan berjalan ke tepi Kali Mookervart. Aliran air sudah menyentuh jembatan. Di jalan yang mengarah ke Rusun Pesakih, jembatan dipenuhi motor yang diamankan dari air. Banyak motor yang mogok dan diperbaiki on the spot.
Selepas jembatan, banjir mencapai selutut orang dewasa. Para bapak terlihat membawa bungkusan makanan. Mereka berjalan menerjang banjir untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka yang bertahan di rumah.





Saya berbalik arah dan mulai menyusuri Jalan Sumur Bor. Di sini ada sungai kecil yang bermuara ke Mookervart. Karena Mookervart banjir, limpahan airnya tumpah ke sungai ini dan meluber sampai ke jalanan. Permukiman yang secara kontur lebih rendah mau tak mau terendam. Di muka jalan, air hanya semata kaki, makin masuk ke dalam, sampai sepinggang.
Banjir yang terjadi di Jakarta sejatinya bukanlah hal baru. Pasca 2016, hal apapun yang terjadi di ibu kota seringkali dikaitkan dengan politik. Meski tak sepenuhnya salah, tetapi untuk melihat fenomena banjir, kita perlu menggunakan sudut pandang yang lebih luas.
Secara geografis, Jakarta berada di kawasan teluk. Sungai Ciliwung yang berhulu di kawasan Bogor membelah kota Jakarta untuk bermuara di Laut Jawa. Dari elevasinya, Jakarta lebih rendah daripada Bogor. Elevasi maksimal Jakarta adalah tujuh meter di atas permukaan laut. Di beberapa titik bahkan elevasinya minus, alias di bawah permukaan laut. Salah satu sifat air adalah selalu mengalir ke wilayah yang permukaannya lebih rendah, tak ayal, air dari Bogor pasti akan selalu mengalir ke Jakarta, tak mungkin ke Bandung apalagi Paris.





Dari catatan sejarah yang dihimpun Historia, tercatat 1 Januari 1892, hujan lebat selama delapan jam lebih mengguyur Batavia, akibatnya: banjir. Rel kereta api Batavia-Buitenzorg nyaris terendam di sekitar Pasar Minggu. Setahun berselang, banjir terjadi lagi. Kali ini efek banjir berhasil merusak jalan-jalan di Weltevreden (Gambir). Tahun 1909. ketika terjadi banjir lagi, harian De Locomotief menyebut Batavia sebagai Batavia Onder Water alias Batavia di Bawah Air.
Ketika Jan Pieterzoon Coen menjadi pemimpin di Batavia, trik menanggulangi banjir yang dia lakukan adalah menjinakkan Ciliwung. Sungai yang alirannya tunggal di hilir disodet di sana sini membentuk kanal-kanal layaknya kota-kota di Belanda. Selain menambah kecantikan kota, kanal-kanal ini dimaksudkan juga untuk mengurangi beban air yang harus ditanggung Ciliwung.
Namun, cara ini tidak efektif. Pelan-pelan, kanal-kanal mengalami sedimentasi dan menjadi dangkal. Belum lagi nyamuk yang tumbuh subur di sepanjang kanal. Banjir tetap saja jadi tamu tak diundang.
Setelah VOC bangkrut, pemerintah Hindia Belanda terus mencari cara untuk menjinakkan banjir di Batavia. Tahun 1910, pemerintah menganggarkan 25 ribu gulden untuk menanggulangi banjir di Jembatan Lima, Blandongan, dan Klenteng. Juga digalakkan penelitian mengenai penebangan hutan di kawasan hulu Ciliwung. Akhir 1913, disetujuilah lima proyek utama penangkal banjir: pembuatan pintu air Matraman, pintu air Gusti, normalisasi Sunter, kanal banjir, dan saluran Cideng.
Puncak pengendalian banjir di Batavia terjadi pada periode 1913-1930. Pada tahun 1927, jumlah anggaran yang digelontorkan pemerintah kolonial mencapai 280 ribu gulden lebih untuk membiayai delapan proyek. Namun setelah masuk masa Jepang, pengendalian banjir terbengkalai. Pasca merdeka, pemerintah republik sibuk dengan upaya mempertahankan kemerdekaan. Banjir tidak diberikan program pengentasan yang holistik dan jangka panjang.



Setelah Indonesia merdeka, beragam cara membenahi banjir kembali dilakukan. Beberapa tetap mengadopsi cara yang dahulu telah dilakukan Hindia Belanda: menguruk sungai, membangun pintu air, waduk, dan sebagainya. Namun, melihat kondisi Jakarta yang kian hari kian sesak dan elevasinya yang terus menurun, cara-cara tersebut bisa jadi kurang efektif.
Membenahi banjir Jakarta diperlukan pendekatan yang sifatnya menyeluruh. Tak cuma Provinsi DKI Jakarta yang berbenah, tetapi juga pemerintah dan masyarakat kota penyangga Jakarta harus turut ambil bagian.
Segala kanal, waduk, pompa air, dan lainnya agaknya tak mempan jika kawasan hulu sungai semakin gundul, apalagi dengan terjadinya pemanasan global yang meningkatkan curah hujan.
Menutup artikel ini, menghujat ataupun memaki tak akan memperbaiki keadaan, demikian juga dengan membenarkan diri seolah banjir ini memang murni salah alam.
Kita berdoa kiranya pemerintah dapat bijaksana dan tanggap, serta kita sebagai warga masyarakat peduli untuk menjaga lingkungan. Bumi semakin hari semakin tua, kita cuma meminjamnya dari anak cucu di masa depan. Jika dari sekarang kita tak mampu menjaganya, maka kita mengizinkan kiamat datang semakin dekat.
Selamat tahun baru 2020 dan selamat memasuki dekade yang baru.
Salam hangat dari Jalan Daan Mogot!

Pernah waktu itu dinas ke Jakarta, pas musim banjir. Kemana-mana jadi susah.
Banjir memang bkin repot, semoga ketemu cara penanggulangannya yang tepat
Sepertinya memang perlu inovasi canggih buat menanggulangi banjir tahunan atau lima tahunan di Jakarta. Belanda, Inggris, Belgia, dan Jerman pun pernah mengalami banjir besar, Watersnoodramp, tahun 1953. 1800-an orang meninggal di Belanda saja. Tapi usai fenomena itu negara-negara itu mencari cara untuk mencegah agar peristiwa serupa tak terjadi lagi. Belanda, misalnya, mengubah sistem “dykes” jadi “delta system.” Sekarang mereka lebih siap.
Omong-omong, saya yakin tulisan ini bakal jadi klasik. Ceritanya menarik, getir, dengan sedikit sentuhan humor gelap. Fotonya berkelas.
Bravo!
Betul mas, inovasi canggih sepertinya memang dibutuhkan, apalagi Jakarta kian sesak dan berpacu dengan waktu sebelum dampak perubahan iklim makin nyata.
Terima kasih sudah mampir ke sini.
Salam kenal 🙂
Keren bang, salam kenal. Membaca tulisan ini – yang dilengkapi dengan foto-foto “kepedulian kemanusiaan” – membuat pembaca seolah sedang berada di tengah2 orang2 yang rumahnya jadi korban banjir. Ketimbang ikut ribut saling menyalahkan terkait masalah klasik ini, jauh lebih baik ikut menjadi bagian dari solusi. Itu yang sedang diupayakan penulis melalui tulisan ini, menurut saya.
Terima kasih mas.
Semoga bencana ini tidak terulang kembali ya
Suka sekali dengan konklusinya. Sudah cukup sering baca2 blog ini, tapi baru sempat komentar. Tulisan-tulisannya mas Ary mengalir dan humble. Satu lagi, menemukan fotografi human interest yang berhasil mencuri simpati. Semoga jakarta lekas surut, ya, mas,.. dan bisa kembali aktifitas dengan lancar. Amiin
Halo Mas Rifan,
Terima kasih banyak sudah mampir ke blog ini. Waktu saya nulis ini, saya sebenarnya jengah dengan orang-orang yang sibuk saling tuding ini salah siapa. Kemanusiaan tetap harus jadi yang pertama 😊.
Puji syukur sekarang banjir sudah berangsur surut mas, sekarang tinggal tugas warga membenahi rumah mereka pasca banjir, dan tugas pemerintah untuk mengeksekusi kebijakan dan melakukan tindakan preventif.
Sekarang kondisi kantor dan tempat tinggalmu gimana, Ry? Awal tahun 2014 atau akhir 2013 aku juga mengalami momen banjir Jakarta. Puji Tuhan kantor dan mess di kawasan Kemayoran nggak terdampak, tapi temen2 yang mess-nya di Pluit kena imbasnya.
Kantor aman Guh, puji Gusti.
Tapi, akses ke kantor kelelep semua. Sekarang sudah surut, tinggal remah-remahnya haha.
Pengalaman pertama juga mengalami langsung banjir di Jakarta. Alhamdulillah wilayah kosan aman. Hanya akses ke tempat kerja saja yang jadinya harus muter-muter.
Semoga ke depannya Jakarta semakin berbenah. Kalau kayak gini gini aja sih bisa jadi Jakarta menjadi kota yang hilang alias tenggelam. Semoga banjir lekas berlalu.
Oh iya, foto-fotonya bagus mas 👍
Sama mbak. Dlu d Bdg pernah rumah tenggelem, tp sy masih orok jadi gk inget apa apa hehee.
Amin mbak. Lekaslah surut ini banjir
Banyak kawan yang menginfokan daerahnya terkena banjir, di sisi lain, segitu banyak akun di media sosial saling mengejek satu dengan yang lainnya.
Semoga banjir segera surut, dan semua mengevaluasi diri. Pemerintah pusat berkolaborasi dengan pemkot serta dinas terkait untuk menanggulanginya. Masyarakat pun aktif menjaga kebersihan dan tidak membuang sampah sembarangan.
Kita harapkan Jakarta dan sekitarnya yang terkena banjir lekas berlalu.
Amin mas, menyikapi bencana nggak bisa cuma dengan otot dan gontok-gontokan. Butuh kebijaksanaan dan bahu membahu demi kebaikan bersama