Dari Kecamatan Sidareja, Kabupaten Cilacap, berkendara ke Pantai Pangandaran jauh lebih dekat dan cepat daripada ke pusat kota Cilacap. Jadi, setiap kali singgah ke rumah Roland di Sidareja, kami selalu menyempatkan diri main ke Pangandaran.
Namun, enam tahun rutin main ke Sidareja, lama-lama Pangandaran terasa bosan. Makan seafood di pantai timur (ini sejujurnya nggak ngebosenin :p), jalan-jalan santai di pantai barat, mblusuk ke cagar alam sampai isi tas dibongkar monyet hutan, semua sudah dilakukan. Di kunjungan terakhir saya ke Sidareja, terbersit ide untuk jelajah ke Mercusuar Legok Jawa. Dari Sidareja jaraknya sekitar 100 kilometer ke barat. Namun, keadaan tidak mendukung kami untuk pergi ke sana. Mama Roland baru pulang dari rumah sakit dan tidak kuat sendirian menjaga toko. Mau tidak mau kami cuma bisa pergi ke yang dekat-dekat saja, lalu segera pulang.
“Pangandaran bosen, mending tetep aja ke Legok Jawa deh,” kata Roland.
Saya menggeleng. Tidak baik jika meninggalkan mamanya lama-lama di toko. “Tenang, tujuan nomor dua. Yang penting kan momennya. Cari spot lain yang deket deh.”
Kami saling bergugling ria, dan saya menemukan satu spot di Google Maps. Pantai Lembah Putri namanya. Saya tepuk pundak Roland, “Lan, ini kayaknya oke sih pantainya. Pemandangannya bagus dan kita belum pernah, lokasinya juga deket.”
Roland setuju. Lima menit persiapan, kami pamitan dengan mamanya Roland dan berangkat.
Whuss…
Setengah jam kemudian, kami sudah menyeberangi Sungai Citanduy. Kata orang Sidareja dan sekitarnya, kalau sudah menyeberangi sungai ini artinya, kates telah berubah menjadi gedhang.
Maksudnya?
Dalam bahasa Jawa, pepaya disebut kates, sedangkan dalam bahasa Sunda, pepaya adalah gedhang. Padahal, dalam bahasa Jawa, gedhang itu pisang dan dalam bahasa Sunda, pisang itu cawu.
Selepas Sungai Citanduy, kami sudah berpindah provinsi ke Jawa Barat. Orang-orang tak lagi bicara bahasa Jawa dengan logat ngapak, ini daerah kekuasaan bahasa Sunda. Kepriwe sudah berubah jadi kumaha.
Motor melaju terus ke arah Pangandaran. Beberapa menit sebelum pintu utama Pangandaran, di kiri jalan terdapat plang besar bertuliskan “Lembah Putri”. Sepertinya, dulunya Lembah Putri ini adalah sebuah resort. Jalan masuknya besar dan membelah bukit, tapi Google Maps mengarahkan kami untuk maju beberapa meter dan berbelok ke kiri melalui jalan kampung.
Jalan kampung yang dilalui tak panjang-panjang amat, selepas jalan aspal, ada tembok yang sudah dijebol untuk masuk sepeda motor. Di balik tembok itu, pohon kelapa dan samudera raya menghampar luas. Namun, gersangnya bukan main. Tidak ada siapa-siapa di sini selain kami dan tiga remaja yang bermesraan di bawah naungan pohon kelapa.
Kami memarkirkan motor di sebuah pondokan tua yang setengah hancur. Dari hasil penelurusan Googling, tak banyak informasi yang menyebutkan sejarah atau detail tentang Lembah Putri. Pun, tak ada orang yang sekiranya kompeten untuk ditanya-tanya. Kami hanya bengong memandangi samudera.
Namun, ada yang unik. Tak jauh dari tempat kami berdiri, ada kolam-kolam bekas water park yang hancur. Ada tangga yang rusak, pun kolam-kolam yang sudah berlumut dan ditumbuhi aneka macam tanaman liar. Kolam-kolam ini ukurannya besar dan sepertinya menyenangkan jika masih berfungsi sebagai kolam renang sungguhan. Namun, dengan kondisi yang hancur, kolam-kolam ini jauh dari kata indah, lebih cocok seperti sarang dedemit yang pas sekali menjadi lokasi uji nyali.



Tidak diketahui kapan wahana permainan air Lembah Putri dibangun dan ditutup. Jika masih berfungsi, panoramanya ciamik sekali. Kolam renang terletak persis di tepi laut, mungkin sama cantiknya dengan resort Queen of the South di Parangtritis.
Saya dan Roland kembali ke pondokan. Matahari makin naik dan membakar. Cukup disayangkan, pantai ini sunyi dan tidak terurus.
“Sayang banget ya Ar, kalau dibenerin pasti rame, gak kayak sekarang,” kata Roland.
“Iya sih. Tapi sekarang juga rame kok,” kata saya sembari mencuilkan jari ke semak-semak di bawah pohon kelapa. Sepasang kekasih sedang duduk berduaan di situ. Mereka tampak menikmati semilir pantai dengan syahdu.
Pantai yang sunyi, sepi, jauh dari jangkauan manusia namun dekat dengan tatapan Nyai Roro Kidul ini rupanya jadi spot yang nyaman buat muda-mudi merajut cinta.
Saat kami kembali ke motor, kami baru sadar bahwa tepat di bawah standar motor kami ada sebuah bra berwarna pink. Entah darimana datangnya bra itu, mungkin dari sampah yang terhanyut air laut, atau……. biarlah menjadi misteri di dalam sunyinya Pantai Lembah Putri.

adakah kaitan pantai yang jadi tempat berpacaran dengan waterboom yang ditinggalkan hingga menjadi angker… hm….
wkwkwkwk, nah entah mas
Tp sepertinya di mana ada tempat sepi, di situ bisa disulap jadi tempat dua duaan.
betul sekali… hehehe…
Khas Indonesia ya, di mana jika ada tempat-tempat yang biasanya disertai dengan cerita mistis. Tapi kadang ada bagusnya juga biar kawasan itu tetap tejaga 🙂
Kisah mistis kadang jadi bumbu yang manis mas hihi, sekaligus jadi ‘aturan’ tak tertulis buat orang bertindak di suatu tempat 🙂
Kadang-kadang bagi sekelompok orang, kisah mistis itu yang jadi daya tarik 🙂
Apa mungkin waterboomnya hancur kena tsunami ya ?
Nah, saya masih bertanya-tanya. Tsunami Pangandaran 2006. Saya kurang tahu ini waterboom dibangun tahun kapan mas.
Kalau sebelum tsunami, bisa jadi iya. Soalnya menghadap laut banget.
Tempat-tempat seperti ini biasanya dimanfaatkan para muda-mudi setempat untuk berdua, heheheehe
Mungkin dulu yang membuat waterboom dan lainnya punya rencana bagus, sayang tidak terealisasikan dengan baik.
Waterboomnya masih menjadi misteri kenapa hancur. Tapi dengan ukurannya yang besar dan lokasinya yang di pinggir laut, pasti pendirinya punya ekspektasi yang besar.
Asyik juga jalan” bang.. 👍👍
Yoi mas 🙂