Bukan Tempat Wisatanya yang Membuat Jogja Itu Ngangeni….

Lik Par, demikian ia biasa disapa. Usianya telah melampaui 60 tahun, tetapi perawakannya tegap. Setengah jam sebelum tengah malam, ia mendorong gerobak angkringannya seorang diri di sepanjang jalan Sugeng Jeroni. Tepat di tepi jembatan Sungai Winongo, ia berhenti. Gerobak itu ditatanya perlahan hingga menjadi angkringan yang utuh dan ngangeni. 

“Lik Par! Piye kabare, masih kelingan sama aku mboten?” tanya saya dengan bahasa Jawa yang belepotan. 

Lik Par tersenyum. “Eh, kamu toh, inget dong aku sama kamu,” lalu menyalami saya dengan erat. “Kok baru ke Jogja lagi sekarang?”, tambahnya. 

“Iya e. Kerjaan lumayan sibuk Lik di Jakarta, jadi baru sempet sekarang ke sini lagi.” 

Dialog singkat di atas selalu jadi percakapan pembuka setiap kali saya singgah ke angkringan Lik Par. Perkenalan saya dengan Lik Par terjadi tahun 2010. Waktu itu saya masih kelas dua SMA yang sedang libur satu minggu karena kakak-kakak kelas XII ujian nasional. Dari Bandung, saya coba backpackeran sendiri ke Jogja. Saya menginap di Bugisan, kebetulan ada Joshua, rekan zaman SMP yang melanjutkan SMA di sana, jadi ada tempat menginap selama di Jogja. Kala malam tiba, Joshua mengajak saya untuk jajan ke angkringan. 

Apa sih yang membuat angkringan Lik Par istimewa sampai-sampai saya niat datang dari Jakarta?

Jawabannya adalah nostalgia dan kesan. 

Jogja dengan segala objek wisatanya yang bermunculan mungkin jadi daya tarik yang memikat buat turis. Tapi, saya merasa diri ini bukanlah turis. Saya lebih merasa pergi ke Jogja itu seperti pulang kampung, wong dulu pernah tinggal empat tahun di sini. 

Sejak dulu sampai sekarang, Lik Par adalah pemilik angkringan paling ramah yang pernah saya jumpai. Guyonannya jenaka, walau kadang garing atau menyerempet saru. Tapi, itulah yang membikin semua pelanggan angkringannya betah. 

Tapi, untuk menikmati angkringan Lik Par butuh perjuangan ekstra. Angkringan Lik Par baru buka paling cepat jam 12 malam dan tutup jam 8 pagi. Kalau badan sudah capek dan ngantuk, mustahil bisa ke sini. Sambil menyeruput teh panas dan nasi kucing yang dibuat sendiri oleh Lik Par, Lik Par juga suka memutar radio Retjobuntung. Selepas tengah malam, biasanya pembawa acara menggunakan bahasa Krama. Duh, njawani banget! 

Coba bayangkan, segelas teh panas, sebungkus nasi kucing oseng tempe, gorengan tempe, gemericik air sungai Winongo, lantunan lagu Jawa, dan obrolan hangat bersama Lik Par……ughh, begitu syahdu dan ngangeni. 

Buat teman-teman, kalau kalian singgah ke Jogja, mampirlah ke Angkringan Lik Par. Lokasinya ada di Jalan Sugeng Jeroni, persis di tepi jembatan Sungai Winogo sebelah SPBU Bugisan, niscaya kalian akan merasakan atmosfer Jogja yang lebih syahdu. 


7 pemikiran pada “Bukan Tempat Wisatanya yang Membuat Jogja Itu Ngangeni….

  1. Kalau di bugisan ada lik par, kalo di jogokaryan ada mbah iput mas. Bapaknya berkumis dan ramah, pisang gorengnya rasanya maknyuus, harga harganya murah meriah. Kapan kapan coba kesana mas, recomended hehe

    1. Wah, saya jarang mampir ke Jogokariyan. Cuma tahunya kampung ramadhan saja di sana, banyak dodolan takjil kalau pas jelang berbuka hihi.

      Ntr kalau ke Jogja lagi saya jajal ke sana. Terima kasih infonya mas/mbak.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s