Minggu siang di tepian jalan raya Yogyakarta-Solo, panas terik menyengat tubuh. Tangan yang sudah diusap losion tabir surya pun tetap tampak gosong. Di tepi jalan, ada bangunan tua yang berdiri sepi, tetapi lumayan teduh dirindangi pepohonan.
“Mampir sini dulu, ya?”, tanya saya pada Putra.
“Iya, sekalian istirahat, panas gila ini,” jawabnya sambil menepuk pundak saya. Sein kiri pun menyala. Motor kami berbelok dan terhenti di kawasan Pabrik Gula Gondangwinangoen, hitung-hitung melepas lelah sebab perjalanan ke Solo masih lumayan jauh.
Pabrik Gula (PG) Gondangwinangoen sejatinya bukanlah tempat yang asing buat saya. Saat kuliah di Jogja dulu, saya sempat mampir satu kali ke sini. Atau, saban perjalanan motoran Jogja-Solo, pabrik gula ini selalu saya lalui.
Meski hari itu hari Minggu, tak ada wisatawan yang berkunjung. Petugas parkir menyerahkan karcis kepada kami lalu melengos pergi. Satu lokasi yang belum pernah saya kunjungi di PG ini adalah museumnya. Tapi, pintu museum saat itu ditutup dan tak ada orang di dekat situ. Saya lalu mengajak Putra berjalan-jalan ke area perumahan pegawai.
Pabrik gula pada zaman Belanda dikenal dengan nama suikerfabriek. Lokasinya ada di mana-mana. Pada masa itu, penanaman tebu yang diolah jadi gula mungkin sama primadonanya seperti sawit di masa kini. Pabrik-pabrik gula pun menjamur. Di Jawa Tengah saja berdiri 51 pabrik gula!
PG Gondangwinangoen berdiri pada tahun 1860. Perusahaan yang menaunginya bernama NV Klatensche Cultuur Maatshappij yang kantor pusatnya ada di Amsterdam. Untuk operasional rutinnya, PG Gondang dikelola oleh NV Mirandolle Vaute & Co yang kantornya di Semarang.
Stasiun lori Berlagak mandor PG
Pasca Indonesia merdeka dan terjadi nasionalisasi aset-aset Belanda, nasib pabrik gula tak jauh berbeda dengan nasib stasiun-stasiun kecil di jalur penghubung, mereka perlahan-lahan mati. Seperti meremajakan lokomotif, meremajakan mesin-mesin di pabrik gula juga mahal dan susah. Kondisi perekonomian republik yang belia belum sanggup untuk melakukan revitalisasi aset. Alhasil, satu per satu pabrik gula pun tumbang.
Dari total 51 pabrik gula yang ada di Jawa Tengah, sekarang tersisa 8 (atau mungkin sudah berkurang) saja yang masih beroperasi. Memang tak ada yang abadi di dunia ini, demam tebu telah diganti menjadi demam sawit.
PG Gondangwinangoen nasibnya tidak seberuntung dua saudaranya di Karesidenan Surakarta: PG Gembongan dan PG Colomadu. Dua PG tersebut dipoles dan didandani total. Dari seonggok bangunan tua menjadi obyek wisata hits. PG Colomadu tenar lebih dulu setelah perusahaan BUMN mengubahnya menjadi museum, lokasi foto, dan tempat konser. Dalam sekejap, ribuan foto ciamik berlatar PG Colomadu bertebaran di jagad Instagram, demikian juga dengan PG Gembongan.
Tetapi, jika boleh skeptis, saya tidak yakin bahwa mengubah pabrik gula menjadi wisata kekinian adalah salah satu cara yang tepat untuk memelihara sejarah, alih-alih hanya meraup pundi-pundi. Pengunjung yang hadir dengan niatan mencari spot foto yang ciamik, tanpa dibarengi dengan pemberian informasi yang menarik dan benar hanya akan menjadi turis-turisan yang tak paham dengan nilai historis dan makna perjalanan yang dilaluinya. Setidaknya ini kesan yang saya alami tatkala singgah ke PG Gembongan tahun 2018 silam.
Terus berjalan melewati rumah-rumah dinas yang kosong, kami tiba di stasiun lori. Rel tua dengan lebar sepur sekitar 600 milimeter membentang kaku. Lori-lori tebu berkarat juga diam membisu.

Jika hari libur dan wisatawan membeludak, ada satu jalur rel yang difungsikan sebagai lori wisata. Tapi, hari itu tak ada satu orang pun selain kami yang singgah di sana. Suara yang muncul hanyalah desiran angin yang berpadu dengan langkah kaki kami.
Saya iseng bertanya ke Putra. “Lu malem-malem uji nyali sendirian di sini berani?”
“Idih. Siang aja udah sepi begini, apalagi malem,” jawabnya sambil melirik kanan-kiri.
Memang, tak ada yang abadi selamanya. Ketika kejayaan gula telah surut, PG Gondangwinangoen merana dalam sunyi. Wisatawan lokal tak begitu tertarik dengan sejarah, mungkin mereka baru akan singgah ke sini jika PG Gondangwinangoen dijadikan lokasi syuting film horor atau uji nyali.

Kalau boleh jujur kami lebih suka melihat PG Gondangwinangoen tetap menjadi apa adanya alih-alih direnovasi hanya untuk kepentingan selfie. Biarlah sejarah terlelap dalam bangunannya yang sunyi.
Salam kenal dari kami Travel Blogger Ibadah Mimpi
Mas Redha dan Dendy,
Terima kasih sudah mampir ke tulisan ini, salam kenal juga dari Jalancerita 🙂
Saya pribadi juga sama mas, entah kenapa saya suka lihat sunyinya PG Gondang sebagai nilai mahal sejarahnya, tapii agaknya dari kacamata ekonomi, pemikiran ini tidak menguntungkan haha.
Kalau saya gak salah inget, PG ini pernah jd lokasi syuting film habibi ainun
Nah iya mbak, kemarin ini pak satpam juga sempat bilang begitu. Tp msh belum banyak org yang singgah ke sini.
nah..rumah pojok depan garasi itu dulu rumah dinas bapak saya mas, yang tingkat hehe..
saya dua tahunan stay disini..
jadi kalau klo sama Gondang Wingangoen hafal banget hahaha
mau tau tempat horrornya dimana saja?
kwkwkw
Waaahhhh, di belah mananya mas yg horror banget?
Kalau membaca artikel tentang pabrik gula yang sudah tua saya jadi ingat masa kecil sering minta ke (alm) bapak lewat Pabrik Gula Kalibagor Banyumas
Saya suka banget ke pabrik gula, kesan sejarahnya kuat banget. Tapi pabrik gula yang pernah sy datengin masih dikit banget nih.
sayang kalau tempat seperti ini jadi semakin terlantar …. padahal tempatnya keren menurut saya …. mungkin butuh “kemasan” menarik supaya banyak pengunjung datang kesini
Yoi mas, dikemas menarik supaya ndak lupa sejarah hihi.
Nampaknya pabrik teh dan perumahan stafanya yang ad didaerahku akan bernasib sama dengan PG ini… padahal banyak potensinya
Di daerah mana mbak?
Perkebunan teh Sidamanik Simalungun…
Wah, di Sumut yaaa.
Iya betul..