Mengajak Para Sahabat Singgah ke Ereveld

Selama seminggu, Yoses, kawan kami yang bekerja di Bali datang untuk melakukan perjalanan dinas ke Jakarta. Mumpung ada waktu, saya, Keyla, dan Iko sepakat untuk meluangkan satu hari buat bertemu dengannya. 

“Mau ketemuan di mana nih?” tanya Keyla. 

“Bebas,” sahut Iko. 

Menentukan spot ketemuan di Jakarta ini susah-susah gampang. Mal-mal dan kafe-kafe bertebaran bak kacang goreng. Tapi, rasanya kurang gereget jika berjumpa kawan-kawan lama di sana. Saya lalu terbersit ide. 

“Ayo ketemu di kuburan. Di belakang Kokas ada pemakaman perang. Bagus dan tenang tempatnya.” 

“Hah? Elu serius?” Ide sinting apa yang tercetus dari benak Ary, mungkin itu yang terbersit di pikiran mereka.

“Serius,” saya menjawab mantap. Karena sudah berteman selama 18 tahun lebih, mereka cepat percaya. Apalagi brand ‘bolang’ alias bocah ilang sudah jadi brand identity saya sejak masih SMA dulu. 

Hari Sabtu, 28 September 2019, kami pun bertemu di Ereveld Menteng Pulo, sebuah kompleks pemakaman yang didedikasikan sebagai penghormatan kepada para korban Perang Dunia II. Lokasinya cuma selemparan batu dari mal tersohor Kota Kasablanka. Waktu kami tiba di depan pintu masuknya, Keyla, Yoses, dan Iko setengah kaget ada tempat beginian di Jakarta yang sudah sesak dengan hutan beton. 

Dari antara kami berempat, Yoses yang penampilannya paling modis adalah yang paling penakut. Di saat Keyla dan Iko antusias melihat deretan salib-salib putih di atas rumput hijau, Yoses melangkah pelan. Sebagus apapun kuburan, yang tergambar di benaknya adalah tempat seram. 

Bersahabat sampai mati 

Sebenarnya ide untuk mengajak para sahabat ini ke kuburan bukanlah ide yang asal muncul. Pertama, karena kami jarang bertemu, kami selalu ingin menciptakan memori dari tiap pertemuan. Memori itu kami rekam dalam bentuk foto. Makanya, kami harus cari spot yang mendukung untuk berfoto. Jika ketemu di mal lalu foto, agaknya itu biasa sekali, kurang ‘ciamik’ untuk diceritakan nanti ke anak cucu. 

Kedua, di tengah perjalanan kami untuk meniti karier, dan juga di usia kami yang produktif, agaknya memikirkan kematian adalah hal yang mengerikan. Jika perlu, topik ini mungkin harus dihindari. Tapi, siapa sih yang dapat menolak datangnya kematian? Cepat atau lambat, ia akan menghampiri. Namun, bukan di sini titik utamanya. Kami tahu bahwa kehidupan hanya terjadi sekali. Menyadari bahwa kehidupan ini suatu saat akan berujung, kami harus mengisinya dengan kenangan yang baik. Merajut persahabatan sedari bocah sampai tiba di titik ini adalah hal yang luar biasa. Kami tentu berdoa dan berharap persahabatan kami bisa tetap erat sampai akhir nanti. 

Kami berjalan perlahan, mengitari bagian demi bagian pemakaman. Matahari semakin condong ke barat, sinarnya semakin jingga dan hangat. Keyla mengajak kami duduk sembari menanti golden moment untuk foto. 

Terakhir kali kami bertemu lengkap adalah di momen Natal tahun lalu. Walau belum genap setahun pasca pertemuan terakhir itu, rupanya banyak cerita yang terjadi dalam hidup kami masing-masing. Iko yang terkenal akan kecuekannya, rupanya di tahun ini sudah tidak lagi melajang. Di bulan Maret lalu dia resmi menjalin relasi bersama Tifani, rekan sekantornya yang hari ini turut dibawanya bertemu kami jalan-jalan di kuburan. Demikian juga Keyla, setelah beberapa waktu pulang ke Bandung, sekarang dia mendapatkan pekerjaan barunya di Jakarta. Sedangkan Yoses, kini pekerjaannya di Bali mulai membuahkan hasil. Cicilan-cicilannya sudah lunas dan kini dia bisa bernafas lega. Pencapaian-pencapaian itu mungkin terkesan sederhana, tapi kami senang mendengarnya. 

Di Ereveld Menteng Pulo, terbaring sekitar 4.000 korban perang. Kebanyakan adalah prajurit. Di bagian makam Commonweath atau Persemakmuran Inggris, hanya sedikit para almarhum yang mencapai usia di atas 30. Kebanyakan tewas di usia 20-an. Di bagian makam kanak-kanak, kondisinya lebih miris. Mereka tewas bahkan di saat usia mereka belum menginjak remaja dengan kondisi busung lapar. Seabad yang lalu kehidupan memang tidak semudah sekarang. Tatkala perang berkecamuk, atas nama nasionalisme, mau tak mau mereka harus bertaruh nyawa. 

Zaman dahulu tak ada media sosial seperti sekarang. Segala catatan, cerita, dan sejarah tentang mereka yang meninggal ini akhirnya terkubur dalam lintasan waktu. Kalaupun ada, mungkin hanya sekelumit saja yang bisa digali. 

Kami, juga kita, amat beruntung. Kita hidup di zaman yang nyaris tanpa batas dan sekat. Kita bisa menyimpan memori masa kini dengan apik, lewat tulisan, foto, ataupun video, untuk kita nikmati di masa depan kelak. 

Cerita tentang pertemuan kami di kuburan hari ini adalah memori yang manis. Saya tuangkan di sini agar kelak di masa depan, di saat kami mengarungi samudera kami masing-masing, kami ingat bahwa ada para sahabat yang dalam doa-doa mereka ada nama kami disebut. 



8 pemikiran pada “Mengajak Para Sahabat Singgah ke Ereveld

  1. Luar biasa filosofimu, bro. Nggak cuma “sekadar” mencari tempat anti-mainstream, tapi ada value yang mau kau sampaikan. Yoses yang pakai celana pendek ya? Kuburannya cakep banget memang, kayak di Manila.

    1. Yoi Guh. Aku suka jalan-jalan ke tempat yang sepi, buat menenangkan diri sih.
      oh ya kalau di Ereveld ini memang nggak ada aturan spesifik berbusana, jadi bercelana pendek sepertinya masih fine-fine aja ya.

  2. Oalah liat di IGnya Yoses, dia foto disini ternyata. Pas jaman kuliah juga lumayan takutan tuh dia hahaha

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s