Tentang Sejoli Tua yang Murah Hati

Ketika saya masih bekerja sebagai tim promosi di kampus, setiap perjalanan dinas ke luar kota pasti menginap di hotel. Tapi, sekarang keadaannya telah berbeda. Bekerja di lembaga non-profit membuat anggaran perjalanan dinas mesti dikemas sebijak mungkin. Hotel bukan pilihan pertama. Jika ada rekanan yang bisa memberi tumpangan, itulah yang diutamakan. 

April yang lalu, saya bersama dua rekan kerja pergi berdinas ke Surabaya. Dinas kali ini memakan waktu delapan hari. Apakah ada orang yang bersedia memberi tumpangan selama itu? Kami ragu. Kantor kami menolong proses pencarian tempat tumpangan ini, awalnya ada satu gereja yang mengizinkan kami menginap di pastori, atau rumah pendeta. Tapi, permintaan ini ditolak karena durasi menginap yang kelamaan. Cari, cari, dan cari lagi, seorang pendeta dari GKI Pregolan Bunder menginfokan bahwa ada jemaatnya yang bersedia memberi tumpangan. Yap, tumpangan untuk delapan hari. 

“Ikut mobil gereja ya, nanti kalian akan diantar ke tempat menginap. Namanya Pak Budhi. Saya sudah bilangin ke mereka kalian datang hari ini,” kata Pak Sandi, pendeta di GKI. 

Kami tidak punya gambaran apa-apa tentang Pak Budhi. Sampai akhirnya, tibalah kami di daerah Sawahan, dekat dengan Stasiun Surabaya Pasar Turi. 

“Krekkk,” pagar putih digeser. 

Rumah Pak Budhi tampak besar. Ada taman berumput hijau, garasi, dan kursi santai. Tapi, rumah ini arsitekturnya tua, seperti peninggalan zaman kolonial dulu. Jendelanya seukuran pintu dan catnya dominan berwarna putih. Jika rumahnya setua ini, usia berapakah Pak Budhi yang tinggal di sini? 

Kami tidak tahu jawabannya, hingga sesosok pria berkacamata dan berambut putih keluar menyambut kami. 

“Loh, kalian kok sudah datang? Pak Sandi bilangnya kalian datangnya malam.” 

Nada bicaranya agak tinggi. Alisnya pun sedikit terangkat. Kami bingung, apakah itu basa-basi santai, atau terkejut sungguhan dan kesal? 

Pak Budhi lalu mempersilakan kami masuk ke ruang tamu. Dari penampilannya, saya menebak usianya mungkin 60 tahunan. 

“Sungguh maaf,” kata Pak Budhi. 

Kami bingung, kok baru datang sudah dimintai maaf? Apakah kami batal diberi izin menginap di sini? 

“Sebetulnya kami terbuka menerima kalian di sini. Kami sering menerima tamu yang datang ke Surabaya buat pelayanan. Tapi, hari ini kondisi tante sedang belum pulih. Dia baru selesai operasi. Tante usianya sudah tua, 79, dan saya 80.” 

Tebakan saya salah. Meski katanya 80 tahun, tapi Pak Budhi masih berjalan tegap dan bicaranya amat jelas. Cerita bahwa tante—sang isteri dari Pak Budhi—baru selesai operasi membuat kami segera berpikir untuk berpindah cari tempat lain. Pahit-pahitnya adalah kami keluar uang untuk menginap di hotel. 

“Saya mohon maaf, kalau semisal kami tidak bisa memberikan pelayanan maksimal karena tante sedang sakit. Kalian menginaplah di sini, anggaplah seperti rumah sendiri,” tambahnya. 

Tak lama kemudian, Tante pun keluar dari kamarnya. Dengan jalan tertatih, dia tersenyum, melunturkan imaji kami akan seorang nenek yang sedang sakit, yang wajahnya memancarkan kesakitan. 

Singkat cerita, Pak Budhi dan isterinya, yang kemudian kami memanggilnya sebagai “Om” dan “Tante” menerima kedatangan kami, meski mereka takut apabila mereka tidak dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada kami, tamu-tamunya. 

Dari tak kenal menjadi sayang 

Rumah Om Budhi memang rumah zaman Belanda. Rumah ini dibangun oleh mertuanya. Om Budhi lahir dan besar di Lasem, sedangkan tante di Surabaya. Mereka bertemu di sebuah peristiwa, saat Om Budhi melanjutkan studi di Surabaya. 

“Dulu saya cuma tahu dari teman, katanya tante itu cantik. Lalu saya dikasih tahu alamat rumahnya. Saya naik sepeda, datangin rumahnya. Tapi, sekali dua kali datang, tidak dibuka. Baru yang ketiga dibukain dan boleh masuk.” 

Tante lalu tersipu malu. Obrolan nostalgia tentang kisah cinta mereka lima puluh tahun lalu adalah kisah romantis berbalut jenaka bagi saya. Zaman dulu belum ada teknologi chatting. Mau ketemu harus naik sepeda. Mau pacaran harus ada jam malam. Dan, orang tua Om dan Tante kala itu sangat peduli akan bibit, bebet, dan bobot. 

Tante tidak mau ketinggalan. Sekarang gantian dia yang bercerita tentang kesannya bertemu Om. 

“Orang tuaku sempat tidak setuju. Ngapain kamu mau sama lelaki itu? Terus aku dilarang ketemu. Aku melawan dong, wong sudah terlanjur sayang. Nek mau dilarang ya dari dulu-dulu, waktu aku masih belum cinta. Aku kabur dari rumah.” 

Perjuangan cinta itu akhirnya membawa mereka tiba ke pelaminan, dan kini waktu telah menguji bahwa kisah cinta itu bukanlah sebuah dongeng. Om dan Tante telah berhasil menjaga cinta mereka melewati lintasan waktu. 

Sekarang, Om dan Tante tinggal berdua dan ditemani oleh Mbak Rus dan Mbak Asih, asisten rumah tangga mereka. Tapi, kedua mbak itu undur diri setelah lebaran tahun ini. Mbak Rus kembali ke rumahnya di Bojonegoro, sedangkan Mbak Asih hendak pergi ke Arab Saudi untuk bekerja sebagai TKW. 

Om dan Tante dikaruniai tiga anak dan banyak cucu. Dua anaknya tinggal di Eropa, satu di Surabaya. Dalam setahun, hanya sedikit hari dapat mereka luangkan bersama. Selebihnya, Om dan Tante hidup berdua saja. 

Saya bisa memahami kesepian yang sesekali dialami oleh Tante. Om Budhi masih bekerja sebagai dokter gigi di klinik. Setiap pagi dia berangkat kerja, dan pulang jelang sore. Jika hari Sabtu pagi dan Minggu, barulah mereka pergi berdua untuk beribadah di gereja. 

Tapi, saya juga terharu sekaligus tertegur. Di saat kabar tentang kandasnya pernikahan sering terdengar,  Om dan Tante memberi teladan akan kehidupan pernikahan yang melampaui sebuah romantisme. Om bercerita kalau dia senang di”sun” alias dicium oleh tante. Kala duduk di meja makan atau di ruang tamu, mereka selalu bercerita. Agaknya di masa tua nanti, di saat tubuh menjadi renta dan anak-anak telah meninggalkan rumah, yang membuat cinta tetap hidup salah satunya adalah obrolan. Terbayang betapa sepinya jika pasangan kita ogah mengobrol. 

Malam demi malam, obrolan demi obrolan, membuat saya merasa semakin betah di rumah ini. Demikian juga Om dan Tante. Mereka bisa bercerita dan ada “cucu-cucu” yang mendengar. Tante suka bercerita sampai larut malam, sampai tubuhnya berkeringat dan bergetar, saking semangatnya. 

Di hari terakhir kami di Surabaya, kami menutupnya dengan makan malam bersama. Tante, yang usianya 79 tahun dan baru selesai dioperasi, duduk di depan piano kesayangannya. Jari lentiknya mengalun, menghasilkan melodi yang terambil dari sebuah himne. 

“Sampai bertemu, bertemu;
Sampai lagi kita bertemu. 
Sampai bertemu, bertemu, 
Tuhan Allah beserta engkau!” 

“Ary, kita harus ketemu lagi. Tapi bukan di surga, di rumah ini. Kamu main lagi ya ke rumah ini.” 

Air mata saya menetes. Saya mendekap Om dan Tante, seraya kami mengiyakan janjinya. 

“Ya Om, Tante. Desember saya pasti akan main lagi ke sini.” 

***

Kemurahan hati Om dan Tante untuk memberikan kami tumpangan adalah buah perjalanan dinas yang amat berharga. Saya bersyukur dan selalu percaya, perjalanan ke manapun bisa dipakai-Nya untuk memberikan pelajaran yang mengajari saya untuk memaknai hidup dengan lebih baik lagi. 

7 pemikiran pada “Tentang Sejoli Tua yang Murah Hati

  1. Ceritanya menyentuh sekali, kadang salut ya sama orang tua jaman dulu yang nggak punya hape dan lain-lain, mau pacaran atau mau komunikasi saja susah sekali. Tapi justru bisa bertahan sampai akhir. Semoga nanti bisa kembali ke rumah om dan tante lalu berbagi cerita baru lagi di blog ini 😀

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s