Sebagai kota pariwisata, ada banyak pilihan hotel di Kota Surakarta. Scrolling-scrolling aplikasi, saya terpincut dengan sebuah hotel kabin yang harganya terjangkau, cuma 100 ribuan semalam sudah termasuk sarapan. Namanya Front One Hotel, lokasinya pun strategis, di antara Stasiun Balapan dan Terminal Tirtonadi. Keberadaan hotel ini cukup kontras dibanding hotel-hotel lainnya di sekitar situ yang sudah ada sejak beberapa dekade lalu. Hotel Front One ini dibangun hanya dalam satu ruko, yang tampaknya seperti “maksa” untuk menjadi sebuah hotel.
Ketika saya masuk ke dalam, nuansa warna-warni terpancar dari dinding-dinding yang dicat mural. Resepsionis melayani dengan ramah dan menunjukkan kamar mana yang bisa saya tempati. Bangunan ruko ini memiliki tiga lantai. Di tiap lantainya terdapat kamar. Saya mendapatkan posisi di lantai dua, lantai khusus kamar single, alias hanya muat untuk satu orang.
Sekelumit perjalanan hotel dalam linimasa
Saya agaknya kurang beruntung. Karena salah jadwal dan minta reschedule mendadak, saya mendapat kamar nomor 211, kamar paling sempit. Begitu masuk, dengkul langsung menyambut kasur. Tiga langkah dari pintu masuk, saya tiba di kamar mandi. Meski sempit, tapi kamar mandinya lumayan nyaman: ada wastafel, kloset duduk, dan shower air panas. Karena ukurannya, tidak banyak yang bisa dilakukan di kamar hotel selain tiduran di atas kasur sambil menonton tv atau membaca majalah. Tas ukuran besar bisa diletakkan di bawah kasur, tapi tas harus diangkat dan dipindahkan jika saya mau berjalan. Tidak ada lemari juga, tapi disediakan dua baut untuk gantungan baju di balik pintu.



Jika kita beranjak melintasi garis waktu, hotel di masa kini dengan ukuran kamar yang kecil-kecil adalah buah dari evolusi perjalanan hotel, yang tentunya dipengaruhi juga oleh perilaku manusia. Sejarah keberadaan hotel di Indonesia belum banyak terungkap, tapi dari catatan sejarah, di awal abad ke-20 seiring dengan berkembangnya transportasi, banyak wisatawan Eropa mulai berdatangan ke Hindia Belanda. Dalam konsep masyarakat lokal, kegiatan wisata ke tempat jauh sampai harus menginap adalah hal yang jarang dilakukan.
Kedatangan wisatawan Eropa tersbeut mau tidak mau mendorong hadirnya sarana akomodasi yang memadai. Maka, berkembanglah hotel-hotel di kawasan yang menarik hati wisatawan. Sebagai contoh, di Bandung lahir hotel Savoy Homann, yang hingga kini masih utuh berdiri.
Karena wisatawan Eropa datang dari benua yang jauh, tentu mereka tidak sekadar berkunjung ke Hindia Belanda hanya satu atau dua hari, mereka bisa menetap berhari-hari. Untuk itu kamar hotel didesain besar, lengkap dengan segala fasilitasnya.
Namun, seiring waktu, dengan semakin mutakhirnya transportasi, orang tak lagi butuh waktu lama untuk perjalanan. Dulu, untuk menempuh perjalanan via kereta api ekspress dari Batavia ke Surabaya bisa memakan waktu 3 hari. Sekarang, hanya butuh 1 jam saja lewat pesawat. Dengan semakin singkatnya perjalanan, durasi berkunjung orang pun menjadi lebih singkat, bahkan bisa pulang pergi dalam hari yang sama. Dan, tujuan perjalanan pun tak lagi melulu wisata, ada pula untuk keperluan lain seperti bisnis misalnya.


Yang sempit, yang diminati
Di era digital ini lahirlah hotel-hotel dengan konsep yang baru. Ada hotel kapsul yang tak butuh ruangan besar, hanya seukuran tubuh manusia. Pun lahir pula konsep hotel kabin. Hotel kabin menggunakan kamar biasa, hanya ukurannya disempitkan dan fasilitasnya disederhanakan. Di beberapa hotel, ada hotel kabin yang bisa disewa dalam waktu 8 jam atau 12 jam saja. Tidak perlu menggunakan sistem lewat semalam seperti hotel-hotel lainnya.
Saat turun ke lantai bawah, saya bertegur sapa dengan mbak resepsionis.
“Ini hotel baru ya mbak?”
“Oh, ndak mas. Kita sudah tiga tahun di sini.”
Tiga tahun, dan bertahan, artinya hotel ini terus kedatangan tamu. Kebanyakan tamu yang bermalam memang tidak menginap untuk waktu yang lama. Hanya sehari atau dua hari, dan hanya datang ke hotel untuk numpang tidur saja. Jadi wajarlah jika ruangan yang sempit tidak dipermasalahkan.
“Oh ya mas, untuk breakfast-nya besok pagi diambil di sini ya.”
Saya malah baru tahu kalau mendapat sarapan, dan rupanya sarapannya tidak buruk-buruk amat. Saya diberi sekardus kecil camilan. Isinya ada lontong, sus kering, dan sejenis risol kecil. Air minum satu botol tersedia di kamar.

Dengan harga di bawah 150 ribu, menginap di hotel kabin menjadi pilihan yang nyaman dan menyenangkan. Kasurnya empuk, televisinya jernih, air mandinya hangat, ac-nya dingin, dan yang paling menyenangkan adalah: tersedia guling!

Hahaha, menarik, ya. Ada gulingnya, jadi ada yang bisa dipeluk eaa.
Aku suka dengan konsep penginapannya. Simpel tapi punya ciri khas 🙂
Iya, aku baru pertama nemu hotel yang menyediakan guling.
Mgkin krna kasurnya cuma satu dan memang spesial buat solo traveler, jadi dikasih guling kali ya haha
Ini versi lebih manusiawi dari hotel kapsul yah hihi.. aku kok gak suka sm hotel kapsul, kecil banget kayak di peti mati
Aku belum pernah coba hotel kapsul nih mas. Tapi kalau di terminal 3 Soetta sepertinya tampilan hotelnya menarik ya, cuma ya harganya 300an.
Waaah.. makasih udah sharing ya Mas…
Sering denger nama hotel ini. Konsepnya sama kayak SubWow Hostel yang ada di basement Grand Tebu Hotel Jl. Riau (ada review-nya di blog kalo penasaran). Bedanya, di Subwow selain kamar privat juga ada kamar 2-bed dan 4-bed dorm.
Wow, aku belum pernah nginep hotel Guh kalau di Bandung wkwkwk, kan ada rumah sendiri wkwk.
Sama, aku juga nggak pernah nginep di hotel kalo ke Jogja. Terus temen-temen pada nanya rekomendasi hotel -_____-
wkwkwkwkwkkwkwk.
Kalau aku digituin, jawabanku: “ehehe, cek di Trave*oka aja cuyy”