“Ning setasiun Balapan, kutha Sala sing dadi kenangan”
Demikian sepenggal lirik lagu pop Jawa berjudul Stasiun Balapan ciptaan Didi Kempot. Dari banyaknya stasiun kereta api yang ada di Jawa, agaknya hanya Stasiun Solo Balapan yang memiliki lagunya sendiri. Tentu lagu gubahan Didi Kempot itu bukan lagu resmi dari pengelola stasiun, tapi lantunan nada dan liriknya menjadi asosiasi yang erat dengan Stasiun Balapan.
Nada lagu itu pun terlintas di benak tatkala Kereta Api Senja Utama Solo yang saya tumpangi tiba di Solo Balapan. Kereta tiba tepat waktu, pukul 06:55, sesuai dengan yang tertera di jadwal. Sejak kali pertama menginjakkan kaki di sini di tahun 2010, sepertinya tidak begitu banyak yang berubah. Nuansa stasiun dengan langit-langit yang tinggi tetap meneduhkan. Di jalur empat, ada kereta api Prameks yang sedang berhenti. Di jalur lima, Kereta Api Lodaya Pagi siap bertolak menuju Bandung.
Sekelumit tentang Stasiun Balapan
Jika lagu Stasiun Balapan direkam pada tahun 1998, Stasiun Solo Balapan sendiri sudah eksis jauh lebih lama. Denyut Stasiun Balapan dimulai pada saat peletakan batu pertamanya di tahun 1864, dan selesai dibangun tahun 1873, dari sebuah tanah yang dulu berada di bawah naungan kekuasaan Praja Mangkunegaran. Tanah ini adalah sebuah lapangan pacuan kuda, yang kemudian diubah menjadi sebuah stasiun. Oleh karena itu, terselip nama ‘balapan’ di stasiun ini. Bukan sebagai tempat di mana kereta api balap-balapan, tapi karena dulunya di tanah stasiun pernah berdiri lapangan untuk balapan kuda.
Stasiun Solo Balapan memiliki dua belas jalur kereta api yang terbagi dalam dua emplasemen: utara dan selatan. Sisi selatan memiliki lima jalur dan di sisi inilah kereta api yang melayani rute menuju Yogyakarta-Jakarta dan Surabaya wara-wiri. Sedangkan di sisi utaranya memiliki satu jalur yang mengarah ke Semarang. Di masa sekarang, Stasiun Solo Balapan hanya diperuntukkan sebagai pemberhentian kereta api kelas eksekutif, bisnis, dan ekonomi premium saja. Kereta api kelas ekonomi lainnya berhenti di Stasiun Purwosari, sedangkan kereta-kereta tujuan timur via Semarang-Gundih berhenti di Stasiun Solo Jebres.
Jika 2019 dikurangi 1873, maka usia Stasiun Balapan hari ini telah menginjak 182 tahun. Menginjakkan kaki di sini, sedikit banyak mengajak kita untuk menyesapi nuansa masa lalu.
Perjalanan lima ratus kilometer
Perjalanan dari Pasar Senen ke Solo Balapan memakan waktu kira-kira sembilan jam dengan KA Senja Utama Solo. Perjalanan bisa lebih lama kalau menaiki KA Singasari, bisa hampir 11 jam untuk sampai ke kota Solo (turun di Purwosari). Saya sengaja memilih KA Senja Utama Solo karena jamnya yang pas. Bertolak dari Pasar Senen pukul 22:00, saat semua pekerjaan di kantor tuntas, dan tiba di Solo Balapan sekitar jam 7 pagi, di saat langit sudah cerah. Begitu tiba, bisa langsung sarapan ke Timlo Sastro di Pasar Gedhe.


Tidak banyak yang dilakukan di atas kereta selain tidur. Jam sudah terlampau malam dan tubuh sudah letih seharian bekerja. Selepas kereta melintasi Bekasi, saya jatuh terlelap. Bangun saat kereta berhenti di Stasiun Cirebon Kejaksan dan tertidur pulas lagi, lalu bangun kembali saat kereta sudah tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta.
Meskipun menyandang nama Senja Utama Solo, kebanyakan penumpang malah turun di Yogyakarta. Di Ekonomi Premium 4, tiga perempat penumpang menghilang, menyisakan segelintir saja yang melanjutkan perjalanan menuju Solo Balapan.
Kereta Api Senja Utama Solo merapat sempurna di tujuan akhir pada pukul 06:55. Kereta berhenti di jalur 7. Cahaya mentari pagi menyelinap masuk dari celah-celah di langit-langit stasiun. Ada penumpang yang langsung bergegas mencari pintu keluar, ada yang ke toilet dahulu untuk menuntaskan hasrat yang terpendam, dan ada pula yang menanti clingak-clinguk.
Saya berjalan pelan-pelan seraya kepala mendongak dan menerawang nuansa sekeliling. Di jalur lima, ada kereta api Lodaya yang sudah siap berangkat. Saya harus menyeberanginya supaya bisa tiba di pintu keluar.
Di dekat pintu keluar, serombongan penumpang Prameks tampak menyeberang rel. Dari banyaknya perjalanan yang datang dan tiba di Stasiun Balapan, mungkin penumpang Prameks yang paling sering wara-wiri di sini mengingat frekuensi perjalanannya yang banyak.
Pagi ini, di stasiun berusia 182 tahun, saya kembali menginjakkan kaki di Jawa Tengah. Bukan untuk wisata, melainkan untuk sebuah persiapan akan perjalanan hidup yang panjang, yang ke depannya akan diarungi bersama.

Keren sekali photo storynya, cocok dijadikan referensi untuk sy yg kebetulan mendapat tugas project photo story. Dan kebetulan tiap minggu jg naik kereta karena harus bolak balik ngampus Mjk-Kdr
Monggo mbak silakan 😊
Semoga lagu “Stasiun Balapan” nya Didi Kempot benar-benar jadi lagu stasiun Solo Balapan
Halo Mas..
Iya nih, Daop VI belum punya lagu khas yaaa.
kalo daops semarang, stasiun tawang pake gambang semarang sama yen ing tawang ono lintang, stasiun poncol caping gunung kalo gak salah…
biasanya naik argo sindoro gambir tawang hehe, dijemput lanjut ke sala3 / boyolali 🙂
maksudku yg kalimat perjalanan panjang yang akan diarungi bersama hehehe …
Ahay, kalimat panjang di belakang ya wkwkwk.
Skrg sy rutin ke Solo untuk apel mas, relasi jarak jauh wkwk
Oh gitu, semoga semua urusan dilancarkan yak 🙂
Daops Yogya ini lagu buat kedatangan kereta apa yah?kayaknya belum ada..
aku seringnya naik dan turun di semarang, lebih singkat kalo ke rumah hehe
kalo ke solo muter purwokerto dulu
ehem…menebak2 maksud kalimat terakhir 🙂
seger banget timlonya… aku baru sekali naik dr stasiun balapan, Lodaya dari solo ke bandung pagi hari, keren euy view jalur selatan jawa..
Kalau di Daop 6 setahuku belum ada lagu khusus.
Di Daop 5 PWT pakai lagu Di Tepian Sungai Serayu
Daop 1 pakai lagu Kicir-kicir. Daop 4, gambang semarang apa ya, aku lupa.
Wah, mas e turun semarang.
Ndak naik Brantas/Matarmaja/Majapahit/Bangunkarta mas? Bisa turun di Jebres itu hehe.
😀 😀 😀 😀
Maksud dari kalimat terakhir apa yaa wkwkwkwk.