Di Kala Rekan Sekerja Memilih untuk Resign

Wanto, demikian saya dan Putra menyebutnya. Dia adalah rekan sekerja yang baru di bulan Januari 2019 masuk ke kantor. Ketika di bulan Mei awal dia mengatakan ingin resign, dahi saya mengernyit.

“Serius kamu?”

“Iya” jawabnya disertai anggukan lesu.

Sebagai seorang rekan yang menyambutnya saat dia pertama kali masuk ke kantor, kabar ini membuat hati saya kecut. Empat bulan terakhir kami menjadi kawan karib. Sepulang kantor saat staf-staf lain segera larut dengan kehidupannya masing-masing, kami memberi waktu kami untuk saling mengenal. Kami beli pecel lele bareng di depan kantor, jalan-jalan di kala akhir pekan, atau sekadar menginap dan mengobrol ngalor-ngidul. Aktivitas sederhana ini terasa begitu berarti, terkhusus bagi perantau yang hidup jauh dari sanak saudara. Jika dia resign, maka artinya satu kawan akan berkurang, dan saya tidak ingin itu terjadi.

“Ada masalah apa e? Mbok ayo cerita,” saya membujuknya.

Pelan-pelan dia menuturkan alasannya untuk undur diri. Sebagai fresh graduate dan perantau, dia menitikberatkan alasan kepindahannya adalah karena hal keluarga.

“Aku sebenarnya masih mau di Jakarta, tapi…” kata Wanto dengan agak lesu.

“Aku juga ngalamin itu kok To. Tapi aku bertahan, dan sekarang aku bisa lihat keputusanku buat bertahan itu baik.”

Sebagai seorang yang sudah lebih lama merantau di Jakarta daripada Wanto, saya merasa diri lebih expert soal hidup di sini. Maka, segudang cerita pun keluar. Inti dari semua cerita itu adalah: saya ingin agar dia mempertimbangkan ulang niatannya untuk mundur. Jika saya bisa mengatasi masalah itu, maka dia pun bisa.

Sekilas, apa yang saya lakukan mungkin terdengar baik bukan? Menginginkan rekan sekerja untuk bisa mengecap hal baik dalam perjalanan kerjanya.

Hingga suatu ketika, saat Wanto akhirnya tetap teguh berpendirian untuk resign, saya merasa seperti ditegur.

Tidakkah yang saya lakukan adalah lebih kepada sebuah pemaksaan? Saya membangun mindset seolah langkah yang telah saya pilih adalah yang terbaik. Mindset ini membuat saya lupa bahwasannya setiap orang memiliki kehendak bebas atas perjalanan hidupnya, dan perjalanan hidup tiap orang itu unik.

Tidakkah saya belajar untuk menghargai keputusan orang lain dan mendukungnya?

Hari itu, saya merenung, mencari tahu apa yang bisa saya petik di saat seorang teman sekerja memilih untuk resign. Saya mungkin hanya tahu sepucuk daripada segunung alasan Wanto untuk resign. Oleh karena itu, alih-alih mendebat dan memaksanya untuk bertahan, saya akhirnya belajar untuk menghargai keputusannya dan mendukungnya.

“Aku percaya To, ke manapun kamu pergi, dan apapun keputusanmu, ada pimpinan Tuhan yang besertamu. Tapi, satu pesanku: kamu ambil keputusan ini dengan kesadaran penuh. Bukan karena emosi sesaat ya.”

Harinya pun tiba. Minggu, 26 Mei 2019, Wanto menyudahi perjalanannya di Jakarta. Saya dan Putra, kami sang tiga serangkai, mengantarnya menuju Bandara Soekarno Hatta. Satu jam lebih kami habiskan di sana untuk mengobrol santai. Kami percaya bahwa perpisahan ini adalah hal yang baik. Dari perpisahan ini, kami tahu bahwa Tuhan sedang merenda perjalanan kami masing-masing.

Jam setengah delapan lebih lima, saat panggilan boarding pesawat Wanto semakin dekat, kami menutup perjalanan ini dengan rangkulan hangat yang disertai doa. Air mata hampir menetes, namun sebuah perkataan iman menguatkan kami.

“Mungkin kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan kita, tetapi kita tahu Siapa yang menuntun langkah kita. Tuhan besertamu. Amin”

7 pemikiran pada “Di Kala Rekan Sekerja Memilih untuk Resign

  1. Nah.. ini cakep nih.. klimaks sama anti klimaks..

    Walau pun.. bisa saja.. dikarang.. kenapa dia resign.. untuk menambah bumbu..

    Biar seru..

  2. Saya lihat foto kalian, persahabatan kalian udah sedemikian erat ya Ar… Saya pun pernah di posisi kamu, udah berteman sejak lama, tp harus berpisah karena pindah kantor.. Ada kalanya perpisahan harus terjadi setelah pertemuan, semoga kalian dipertemukan lagi suatu saat nanti yak. Amien 🙂

    1. Iya mas, karena sama-sama perantau dan tinggal sendiri di Jakarta, jadi auto akrab haha.

      Walau sudah berpisah, tapi bukan berarti benar-benar terpisah yak 😀

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s