Sidareja. Mungkin nama tempat ini tidak begitu familiar di telingamu. Jika kamu mengetikkan namanya di peta Google, peranti itu akan menunjukkanmu sebuah wilayah di selatan Jawa, tepatnya di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dan, di tempat itulah saya sering bertandang untuk berjumpa seorang kawan dan berjalan-jalan keliling kampung bersamanya.
Jam sepuluh malam Roland menanti saya di agen bus di tepi jalan utama Sidareja yang hanya satu garis lurus. Roland, si kawan bertubuh gempal ini sudah ngomel-ngomel sejak beberapa jam lalu.
“Lelet busnya! Udah dibilang mendingan naik kereta,” ketiknya di WhatsApp.
“Bawel, tunggu aja,” ketik saya santai.
Bukannya ogah naik kereta, tapi membeli tiket kereta secara mendadak itu sulitnya bukan main. Pasti ludes. Daripada tidak jadi berkunjung, ya sudah saya memilih opsi transportasi lain, naik bus. Biar lama, yang penting sampai, bukan?
Segaris bibir cemberut menyambut saya di depan kaca bus. Tapi perlahan mimik wajah busuk itu berganti jadi segar. Penantian yang menjemukan itu dibayar lunas dengan segudang cerita yang mulai dibuka satu-satu. Sambil Roland mengendarai motor membelah pematang sawah yang gelap gulita, saya memegang tepi perutnya yang dipenuhi gumpalan lemak.
“Pret!” celetuk Roland sambil tangannya memukul.
Sekelumit kisah malam itu jadi pembuka perjalanan singkat yang akan saya lakukan keesokan harinya.
Perjalanan untuk mensyukuri persahabatan
Waktu saya di Sidareja singkat. Cuma satu hari. Besok subuhnya saya sudah harus bangun, menanti di terminal, dan menaiki bus Gapuraning Rahayu untuk kembali ke Jakarta. Hari ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengisi baterai, mengisi energi untuk dipakai di Jakarta nanti.
Jam sepuluh pagi kami bertolak, menyusuri jalan raya yang mengarah ke selatan. Jalan raya ini tidak lebar, tapi menyenangkan. Kendaraannya sepi. Di kiri kanannya sawah hijau menghampar. Jika ditelusuri terus, jalan ini akan membawa kita tiba di provinsi tetangga, Jawa Barat.
Tujuan pertama kali adalah mencari pantai. Tiga minggu lebih saya lembur kerja, melihat samudera tentu akan jadi aktivitas yang menyenangkan mata. Motor melaju kencang. Selepas menyebrang Sungai Citanduy, kami sudah tiba di Kalipucang, Jawa Barat. Orang-orang tak lagi bicara bahasa Ngapak. Di sini, kates berubah jadi gedang.
Motor melaju lagi. Di tikungan sebelum Karang Nini, kami berbelok ke kiri. Menyusuri jalan sempit ke Desa Bagolo. Di sini terdapat Pantai Karapyak. Kami jatuh cinta dengan pantai ini, tidak seramai Pangandaran. Di tepian pantainya terdapat spot berumput hijau yang teduh. Kami berhenti, membuka perbekalan, dan mengobrol di bawah keteduhan pepohonan.
Perjalanan berlanjut, kami singgah sejenak ke Pangandaran, lalu kembali lagi ke Sidareja. Sesuai tradisi yang kami berdua selalu lakukan, kami tidak pernah langsung pulang. Kami mampir ke sawah dulu. Buat orang yang lahir dan besar di lingkungan padat penduduk di kota, melihat sawah hijau menghampar luas adalah sukacita tersendiri. Roland juga suka sawah, meskipun dia sejak lahir sampai besar tinggal di dekat sawah.
Kami menyeberangi sebuah perlintasan tak berpalang pintu. Rel tunggal membentang lurus. Satu per satu warga desa yang mau menyeberang turun dari kendaraan. Mereka menyapa kami, dan kami membalas mereka dengan senyuman, “Monggo, pak, bu.”
Motor kami parkirkan, lalu kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Jalan ini mengarah ke sebuah bukit. Di sana ada pemakaman. Kebetulan hari ini adalah hari nyadran, hari di mana warga desa ziarah ke kubur sebelum bulan Ramadhan dimulai.
Seiring matahari condong ke barat dan sinar jingganya mewarnai bumi, kami tersenyum lebar.
“Kadang aku ndak nyangka, di tahun ketigaku di Jakarta, aku masih bisa menemukan suasana seperti ini,” sahut saya pada Roland.
Roland mengangguk. Saya tahu apa pergumulan yang dialami batinnya. Kami berdua mengecap pendidikan di satu kota yang sama, Jogja. Dan setelah lulus, saya sempat berapi-api menyarankan pada Roland untuk mencari kerja di Jakarta, untuk keluar dari Desa Sidareja. Pikir saya kala itu, Jakarta adalah ukuran kesuksesan seorang mahasiswa yang baru lulus.
Tapi, pelan-pelan konsep itu meluntur. Saya sadar bahwa ukuran kesuksesan tidak dinilai berdasarkan di mana kita berada dan status yang melekat pada kita.
Betapa tidak adilnya hidup, jika Roland, sang sarjana harus minggat ke Jakarta ‘tuk mengejar ambisi ‘sukses’, meraup pundi-pundi uang di sana sementara ia meninggalkan ibunya sendirian di Sidareja. Usia ibunya sudah melampaui setengah abad, dan beliau begitu senang jika sang putra bungsu bersedia menemaninya di desa dan mengembangkan usaha yang sudah dijalankan keluarganya selama dekade demi dekade.
Saya percaya bahwa pekerjaan adalah soal panggilan dan hidup adalah saling melengkapi. Saya terpanggil untuk berkarya di Jakarta, dan Roland di Sidareja. Ketika saya jenuh dengan keruwetan megapolitan, saya bisa ‘pulang’ ke Sidareja sejenak. Ketika Roland jenuh dengan kesyahduan nuansa desa, dia bisa pergi sejenak ke Ibu Kota, menyambangi saya.
Dan, terlebih menyenangkan adalah, betapa dua orang dengan dua kota dan ladang pekerjaan berbeda bisa berbagi cerita dalam kesyahduan suasana desa… di Sidareja.
Bagus mas, salam kenal, saya orang sidareja yang kuliah dan lanjut kerja di Jogja
Halo mas Firdaus,
Salam kenal juga yaa mas
Duh pemandangannya… ❤❤❤❤❤
Pemandangan desa, ini nih yg bikin iri orang kota hehe
Banget Mas… 😢😢
saya orang Cilacap tapi malah belum pernah ke Sidareja 😀
Bisa jadi, mereka yang berkarya di desa, malah hidupnya lebih berbahagia daripada kita yang merasa sukses di kota,, iya kan?? hehe..
Sidareja, pernah ke sana 2x, waktu zaman SMA, pacaran dengan orang sana hahaha..
-Traveler Paruh Waktu
Halo mas Bara, terima kasih sudah mampir.
Yoi, bisa jadi begitu.
Kadang kalau temen saya ngeluh soal sepi di desa, saya malah balas cerita ttg jenuh dan stresnya kerja di Jakarta hahaha. Akhirnya kita berdua stop mengeluh deh haha
Kita berdua punya cara “mengisi baterai” yang berbeda ya, Ry. Kamu lebih suka berkelana ke desa-desa di Jawa meski hanya sebentar, tapi sering. Aku lebih suka mengganti suasana di kota lain yang lebih maju, dengan kereta langit yang melayang di angkasa atau merayap menembus perut bumi, rela menabung berbulan-bulan dan menghabiskan sekian akhir pekan dengan bergumul di kamar kost 😀
Tapi aku tetap suka dengan suasana pedesaan tenang seperti ini. Buatku yang sering melintas jalur selatan Jawa (bulan April kemarin bahkan 2 kali PP), nama Sidareja ini familiar buatku. Ada ceritanya juga di blog.
Btw foto-fotomu cakep! lebih cakep dari biasanya. Kamera baru kah?
Hai Guh. Yoi, tiap orang punya caranya sendiri-sendiri buat isi baterai. Habis isi baterai, kembali lagi ke rutinitas, meniti karya demi karya. Saat baterai habis, kembali lagi ke jalanan, ketemu orang-orang, menabung memori untuk ditertawakan bersama pasangan di hari tua nanti hihi.
Btw soal foto masih kamera lama kok, masih 600d yang tahun ini umurnya genap 5 tahun hehehhe. Mungkin karena ambil fotonya sambil dengan hati senang kali yaa, jadi hasilnya beda.
Thanks Guh sudah mampir!
Podo Ry aku yo kamera lawas, 1000D
Terus senang ya 😀
Desanya asri dan hijau, melihatnya saja jadi betah kayaknya liburan kesana. Sidareja mengingatkan saya pada sebuah desa di salatiga, sidorejo yg juga ada sawah dan gunung, tp nggak ada rel kereta..
Kalau Salatiga pasti lebih adem, deket sama Gunung Merbabu hehehe.
Sidareja lebih panas, tapi lumayan adem kalau sore. Angin semilir sepoi-sepoi di pinggir sawah.
iya Ar, adem sih nggak, tp agak adem hehehe..udah banyak polusi sih
Akhir tahun 2012 saya pernah ada gawe di Sidareja, sekitar 2 minggu. Ya pemandangan yang khas adalah sawah dan rel, kalau masuk ke dalam perkampungan saat itu menjadi seribu lubang di aspal. Entah sekarang seperti apa kondisi aspal-aspal yang tersebunyi tersebut…hihihiiih
Beberapa ruas sudah mendingan nih mas, tapi kemarin saat mlipir ke Tambakreja, masih banyak yang berupa kubangan.
Sy bukan orang sidareja…tapi istri sy orang sana. Tapi sy selalu merindukan desa itu..entah mengapa. Setiap ada postingan tentang sidareja pasti sy ikuti. Sy suka blog ini terutama yg menceritakan ttg sidareja.