Mendung menggantung di langit Temanggung. Saya punya waktu kurang dari enam jam untuk menjelajahi kota ini sebelum sorenya kembali pulang ke Jakarta. Semenit dua menit berpikir, saya bingung mau ke mana.
“Ada ide gak, Gar?” tanya saya pada Tegar.
“Hmm..” dia menggeleng. Rasanya semua destinasi di Temanggung sudah semua kami sambangi.
“Eh, gimana kalau ke Tambi?” tukasnya.
Saya menolak. Perjalanan menuju kebun teh di Wonosobo itu terlalu memakan waktu. Tidak cukup kalau cuma sekitar tiga jam. Bisa-bisa saya ketinggalan bus.
“Yawes, kita muter-muter ke Parakan wae yo,” kata Tegar melontarkan ide.
Saya setuju dan berangkatlah kami dari rumah Tegar di dekat alun-alun kota.
Motor pun meluncur melintasi jalan raya Temanggung-Bulu. Di kiri jalan, Gunung Sindoro memunculkan dirinya sambil malu-malu. Cuma sepucuk puncaknya yang kelihatan samar. Tubuh Sindoro siang itu dipenuhi awan mendung. Saya leluasa menikmati hembusan angin sembari bersenandung, tak perlu repot memerhatikan jalan sebab Tegarlah yang memegang kemudi.
Sampai di Parakan, tiba-tiba ide pun muncul.
“Gar, ke Jembatan Kali Galeh wae yo. Kita nyelow di sana,” tukas saya.
Tidak ada diskusi lanjutan, Tegar langsung setuju. Ia membelokkan setang motor masuk ke gang sempit di tepi jalan utama Parakan. Merangsek masuk melewati jejeran rumah penduduk yang tak berpekarangan. Sejenak kemudian kami tiba di sebuah jembatan gantung yang melintasi Kali Galeh. Jembatan ini nampak kokoh. Warnanya kelabu. Di kedua ujungnya, tali besi terpaut kuat pada sebuah blok beton.



Dari utara, aliran air mengalir menabrak batu-batu kali beraneka ukuran. Airnya kecoklatan dan suaranya bergemericik. Kami lalu duduk di tepi jembatan sambil menyesap segarnya udara pedesaan. Beberapa saat kami saling diam, hingga Tegar membuka pembicaraan.
“Kalau kita traveler, kayaknya kita gampang ya mutusin mau ke mana-mananya,” katanya sambil tertawa kecil.
Hmm. Saya mencerna pernyataan itu sebelum menjawabnya.
Apakah begitu?
Sambil menerawang, saya rasa apa yang Tegar sampaikan itu ada benarnya juga, walaupun kadang kami sering berpikir panjang soal tujuan mana yang hendak kami singgahi. Tapi, pada kesempatan-kesempatan tertentu, tujuan tidak selalu jadi hal yang utama dalam sebuah perjalanan.
Enam tahun lebih berkawan dengannya, kami sering meluangkan waktu untuk pergi menjelajah. Awalnya pergi ke Dieng di tahun 2013, lalu seiring kami semakin karib, agenda pergi jadi makin banyak. Tapi, seringkali dalam agenda itu kami tak punya tujuan. Cuma keliling-keliling saja. Pernah suatu ketika, di saat kami masih kuliah di Jogja Tegar mengajak saya keluar jam sebelas malam. Kepingin ngobrol, begitu katanya. Lalu kami pun berkeliling Jogja dari Prambanan hingga Ganjuran lalu pulang lagi ke kos masing-masing.
Begitu juga hari itu, perjalanan tak bertujuan pun terulang lagi. Awalnya cuma ke Parakan, lalu tiba-tiba menepi sejenak di tepian Kali Galeh.
Saya tertawa kecil. “Iya gar. Kadang, justru inilah yang bikin asyik.”
Perjalanan kita memang bisa jadi menyenangkan jika kita sudah tahu ke mana tujuan kita, apalagi jika tujuan itu adalah tempat yang istimewa. Namun, ada kalanya juga perjalanan kita seperti tak bertujuan. Kita bingung hendak ke mana. Tapi, di momen seperti ini, saya ingat sebuah kutipan yang mengatakan bahwa perjalanan itu tak melulu bicara soal tujuan. Tapi, tentang bagaimana dan dengan siapa kita menikmati perjalanan tersebut.
Perjalanan jalan-jalan ke Eropa, menginap di hotel paling mewah sekalipun, mungkin tidak akan terasa menyenangkan jika dilewatkan bersama orang yang mengeluh setiap saat, yang tak mampu menikmati langkah demi langkah. Namun, perjalanan, bahkan kalau cuma ke teras depan rumah sekalipun, akan terasa menyenangkan dan berkualitas jika dilewati bersama orang yang kita kasihi, yang bersamanya kita dapat berbagi cerita dan hidup.
Bagaimana dan dengan siapakah kamu menikmati perjalanan hidupmu hari ini?
Sit Deus Itinere Tuo
Tuhan beserta perjalananmu.
Jatuh cinta dengan kalimat pertama. ❤
Kemudian baca kalimat-kalimat selanjutnya, ngalr banget. Enak baca tulisan ini.
Terima kasih banyak Mbak Sintia 🙂
Tulisan ini terpikir waktu duduk di atas bus malam, lalu esok paginya dituliskan dalam bentuk draf hehe.
Kalau lagi gak ada niatan menulis, kadang ide tak terduga datang, dan biasanya ini yang hasilnya baik hehe.
Memang, sesuatu yang datang tiba-tiba terkadang memberikan manfaat tak terduga. 😊😊 Ditunggu tulisan berikutnya, ya!
Temanggung
suatu saat saya pengen pindah ke sana
lovely place
Tak apa, saya belum pernah lewat jembatan kelok 9 kok hahaha. Dulu sekali pernah lewat situ belum ada jembatannya 🙂
Wah mas anto ke temanggung, sayanya mlh ke Jakarta, nggak bisa jumpa fans nih sama sampeyam 😅
Ho oh mas, tp ini aku ke Temanggungnya dah dua bulan lalu.
Masih belum tahu kapan ke sana lagi, tapi kepengen pake banget ke sana. Kangen ke Posong sama kupat tahune mas.
mantul temanggung, baru tahu ada lokasi bagus begini
Temanggung bersenyum :)))
banyak spot bagus mas di Temanggung, dan tentunya masih sepi dari jangkauan turis milenial hehe.
Jembatan gantungnya beda sama jembatan yg dibawah ya Ar?
traveling menikmati perjalanan, kalo piknik menikmati tujuan hehe
Beda mas.
Yg di foto paling bawah itu Jembatan Sigandul di jalan raya Temanggung-Wonosobo. Abis dari jembatan gantung di Kali Galeh, aku mampir ke Jembatan Sigandul.
Makasih infonya yak, sekilas mirip jembatan layang kelok 9 di sumatera barat 🙂
Iyappp betul. Tp ini versi mininya 😆