Mencicip Bagaimana Rasanya Naik “Ratangga”, MRT Jakarta

Beberapa tahun belakangan, ibu kota mencoba berbagai terobosan untuk mengurangi angka kemacetan di jalan raya. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah pembenahan dan pembangunan transportasi publik yang aman dan nyaman. Dan, di bulan Maret 2019, moda transportasi baru bernama Mass Rapid Transit atau Moda Raya Terpadu (MRT) rampung dibangun dan diresmikan penggunaannya oleh Bapak Presiden pada tanggal 24 Maret 2019.

Sebelum hari peresmiannya, MRT sudah dapat diakses oleh publik terlebih dulu. Mulanya hanya dibuka untuk pendaftar online dan saya tidak berminat ikut menjajal karena lokasinya jauh dari tempat kerja. Tapi di hari Sabtu kemarin, PT. MRT Jakarta memberikan kesempatan kepada warga untuk menjajal MRT tanpa perlu mendaftar online terlebih dulu. Tinggal datang saja ke stasiun dan bisa langsung naik, hanya jam operasionalnya dibatasi sampai jam lima sore saja.

Saya lalu mengajak Andre dan Wanto, rekan yang sama-sama tinggal di pojokan barat Jakarta. Mereka setuju dan berangkatlah kami ke Bundaran Hotel Indonesia, yang sekaligus merupakan stasiun terminus sisi utara dari jalur MRT yang bertolak dari Lebak Bulus.

Saat ini MRT tahap satu yang telah rampung dibangun memiliki lintasan dari Lebak Bulus hingga ke Bundaran HI. Jika kelak pembangunannya dilanjutkan, di tahap kedua lintasannya akan sampai ke Kampung Bandan.

Menjajal masuk ke perut bumi Jakarta

Stasiun Bundaran HI lokasinya ada di bawah tanah. Dari pedestrian di pinggiran Jalan Thamrin, ada tangga masuk yang mengarah ke bawah. Karena masih tahap uji coba, masing-masing pintu dijaga oleh seorang petugas. Untuk mencapai platform stasiun, pengelola menyediakan sarana berupa tangga dan elevator.

Tidak ada jumlah kuota penumpang di uji coba hari ini, akibatnya suasana dalam stasiun riuh bak pasar. Banyak calon penumpang kebingungan ke mana harus mendaftar, dan sebagainya. Petugas pun tampak kelelahan menangani ribuan orang yang selalu bertanya pada mereka. Seorang petugas wanita lalu melambaikan selembar kertas pendaftaran. Satu kertas itu dapat digunakan untuk lima orang. Calon penumpang diminta mengisi data berupa nama, nomor identitas, dan tanda tangan.

Formulir pendaftaran naik MRT. Nanti saat sudah resmi dan ditetapkan besaran tarifnya, tidak perlu lagi menggunakan formulir ini.

Meskipun masih baru, tapi persiapan dalam stasiun sudah cukup baik. Ada papan penunjuk arah yang memadai dan dibuat dengan desain yang sederhana namun jelas. Tulisan ditulis dalam font berwarna putih dan warna latar belakangnya biru tua.

Setelah mengisi data di selembar kertas, calon penumpang antre menuju peron. Kertas tersebut nantinya ditukar dengan stiker “uji coba”.

Stiker uji coba

Di peron samping rel, calon penumpang dipersilakan berdiri dan mengantre mengikuti garis-garis yang sudah ditentukan. Depan pintu adalah area haram, artinya tidak boleh ada orang yang berdiri apalagi bersandar. Saat kereta tiba, pintu tersebut akan otomatis terbuka dan area di depannya harus jadi area kosong agar laju penumpang turun dapat lebih mudah dan cepat. Tata cara berdiri seperti ini sebenarnya sudah pernah disosialisasikan oleh kereta komuter. Di Stasiun Juanda, misalnya, sudah terdapat garis-garis pemandu berdiri seperti ini, tetapi walahualam, ada saja penumpang yang tidak mau belajar, yang menganggap garis itu hanya hiasan.

Selama jadwal uji coba, MRT datang setiap 10 menit sekali. Saya menanti sekitar 8 menit dan menggunakan waktu itu untuk mengamat-ngamati keadaan sekitar.

Si ular itu bernama Ratangga

Kereta MRT di Jakarta diberi nama “Ratangga”. Nama ini diambil dari bahasa Sansekerta yang artinya adalah kereta perang. Tapi, MRT Jakarta jelas tujuannya bukan untuk perang, tapi ada filosofi yang baik yang bisa disematkan untuk kereta ini. Kereta perang adalah kereta yang didesain dengan kuat, dan kegunaannya adalah mengangkut para pejuang. Kereta MRT Ratangga adalah kereta yang kuat dan tangguh, dan di dalamnya ia akan mengangkut para pekerja di Jakarta yang setiap harinya berjuang dengan peluh dan karya.

Ketika Ratangga datang, calon penumpang antusias. Mereka mengeluarkan ponselnya dan jepret di sana dan sini. Tapi, kebanyakan penumpang yang sudah di dalam enggan turun. Sepertinya mereka belum puas naik Ratangga dan ingin kembali lagi ke Lebak Bulus, akibatnya tidak semua penumpang yang telah mengantre di Stasiun Bundaran HI dapat terangkut.

Ratangga tujuan Lebak Bulus tengah berhenti di Stasiun Blok M

Kereta Ratangga adalah produksi Jepang. Saat ini PT. MRT Jakarta memiliki 16 rangkaian Ratangga yang akan mendukung operasional sehari-hari. Satu rangkaiannya, Ratangga membawa serta 6 kereta yang mampu membawa maksimal 1.800 penumpang per sekali jalan. Untuk menempuh jalur sejauh 16 kilometer dari Lebak Bulus sampai Bundaran HI, Ratangga membutuhkan waktu 30 menit. Di jalur bawah tanah, Ratangga dapat melesat di kecepatan maksimal 80 km/jam, dan di jalur layang ia dapat melesat 100 km/jam.

Saat pintu ditutup dan kereta melaju, para penumpang yang antusias sempat teriak-teriak. “Wooowww”, lalu berganti menjadi “Aduuuhhh” saat kereta bergoncang dan mereka tidak sempat berpegangan. Meskipun kondisinya sesak, tapi saya merasa nyaman di dalam Ratangga. Tidak seperti kereta konvensional di Indonesia yang memiliki lebar sepur (rel) 1.067 mm, rel Ratangga didesain dengan lebar 1.435mm, lebar sepur standar internasional. Karena lebih lebar, kereta dapat melaju dengan lebih stabil.

Penuh sesak dalam Ratangga.
Meski penuh, tapi tetap nyaman.

Dari Stasiun Bundaran HI sampai Senayan, Ratangga meliuk di bawah perut bumi. Hanya gelap yang dapat disaksikan dari balik jendela. Jelang Stasiun Sisingamangaraja, barulah Ratangga menyembul keluar dari bawah tanah dan masuk ke jalur layang. Ratangga melesat di antara hutan beton ibu kota.

Tiba di Stasiun Blok M, saya memilih turun di sini. Saya sengaja tidak melanjutkan sampai ke Lebak Bulus mengingat operasional MRT hari ini hanya sampai pukul 17:00.

Berbeda dengan Stasiun Bundaran HI yang letaknya di bawah tanah, Stasiun Blok M letaknya di atas jalur layang. Pencahayaan di Stasiun Blok M sangat melimpah dengan sinar matahari. Ada tiga jalur MRT di sini, namun yang saat itu digunakan adalah jalur 1 dan 2.

Ada tiga pintu keluar di sini, satu pintu dapat mengarah langsung masuk ke Plaza Blok M. Salah satu keunggulan MRT dibandingkan transportasi lainnya adalah lokasi stasiunnya yang dekat dengan akses tempat publik seperti mall atau pusat perbelanjaan. Jika kita pernah bertandang ke Singapura, Stasiun MRT umumnya dapat diakses lewat mall. Sehingga jika hujan, tidak perlu repot-repot menerjang badai sampai basah kuyup.

Jalur layang MRT Jakarta.
Stasiun Blok M. Modern.
Peron di Stasiun Blok M

Transportasi baru, saatnya melatih kesadaran dan empati

So far, saya bangga dan senang dengan hadirnya MRT Jakarta. Mungkin perasaan ini juga dirasakan oleh ribuan penumpang lain yang sudah menjajal bagaimana rasanya menaiki Ratangga.

Meski begitu, jika kita membuka media sosial, belakangan ini ramai pemberitaan akan perilaku kurang sesuai yang ditunjukkan para penumpang di Stasiun MRT. Ada yang bergelantungan, ada yang makan botram layaknya piknik di Ragunan, pun ada pula seorang ayah yang menyuruh anaknya pipis sembarangan di area stasiun. Tak elok, memang. Namun, menjadi lebih tak elok ketika pemandangan ini kemudian menyebar ke media sosial dan menjadi ajang perisakan dengan sederet kata-kata kasar dan makian yang dilemparkan.

Jakarta cukup tertinggal jika dibandingkan dengan jiran kita Singapura dan Malaysia yang sudah terlebih dulu memiliki MRT. Mereka yang penghasilannya di bawah rata-rata dan masuk ke dalam kategori menengah ke bawah atau bahkan miskin, mungkin sebelumnya tidak pernah mencicip bagaimana rasanya naik MRT di negeri jiran, atau bahkan mendengar istilah MRT saja belum pernah. Oleh sebab itu, mereka datang dengan antusias. Mungkin ini jugalah yang jadi alasan dari perilaku mereka yang menyalahi aturan. Terlebih lagi karena ini masih masa uji coba, sosialisasi peraturan belum berjalan maksimal.

Soal perilaku buruk mereka memang patut disesalkan. Akan tetapi membully mereka di media sosial hingga melontarkan kata-kata buruk rasa-rasanya tidak membuat masalah menjadi lebih jernih. Jika mendapati yang seperti itu, kita bisa menegur, atau jika enggan, kita dapat melapor kepada petugas di lokasi.

Yang perlu dilakukan saat ini agar MRT Jakarta dan semua transportasi dan fasilitas publik terjaga dengan baik adalah membangun kesadaran melalui edukasi. Edukasi ini penting dilakukan tak hanya oleh pihak pengelola, tetapi oleh kita juga pengguna transportasi yang sudah lebih tahu.

Selamat datang Ratangga di ibu kota. Selamat melayani para pejuang ibu kota. Dan, saya turut bangga dan berharap agar suatu saat kelak, Ratangga bisa juga melayani sampai daerah-daerah lain seperti Kalideres, misalnya.

 

15 pemikiran pada “Mencicip Bagaimana Rasanya Naik “Ratangga”, MRT Jakarta

  1. keren yaaaah, semoga selalu terjaga kebersihannya. Semoga emak-emak yang kemarin piknik di MRT station segera mengerti kalo yang dilakukan itu salah

  2. Seharusnya semua moda transportasi publik itu dibuat integrasi dengan tempat-tempat di sekitarnya. Halte busway dan stasiun KRL yang berdekatan harusnya dihubungkan dengan jalur atau jembatan pedestrian. Pun kalau ada mall atau bangunan publik lain di dekatnya. Contohnya, halte bus Sarinah harusnya nyambung ke mall Sarinah.

    Tapi puji Tuhan pemerintah saat ini sedang menggalakkan integrasi transportasi umum. Di jalur Bekasi yang sering kulewati dalam perjalaan kereta Jakarta-Bandung, sudah ada beberapa stasiun yang terhubung halte busway.

  3. baru naik MRT di negeri singa doang. suara pengumumannya kayak di singapur nggak? “the doors are closing”atau “please mind the gap” hehehe, atau ada kata2 lain…

Tinggalkan Balasan ke Matius Teguh Nugroho Batalkan balasan