Jakarta yang Berbenah, Aku yang Berubah

Suatu hari aku menaiki bus Trans Jakarta menuju kota. Di Jalan Daan Mogot sebelum Kali Pesing, aku melihat sebuah jembatan penyeberangan orang dan halte busway yang bernama Jembatan Gantung masih tak tersambung. Jembatan itu akhirnya menyerah. Ia patah setelah berkali-kali ditabrak truk.

Bus berhenti sejenak. Penumpang ada yang turun, ada pula yang naik. Lalu bus kembali melaju, menyemut di antara ribuan kendaraan bermotor yang berpacu entah ke mana.

Jakarta. Setelah hampir tiga tahun aku di sini memang tidak banyak berubah secara fisik. Lalu lintasnya semerawut dan makin menggila tiap jam berangkat dan pulang kerja. Halte buswaynya tetap sempit dan ada pula yang jembatannya putus. Tapi, rasanya ini cuma berlaku di tepian Jakarta. Kalau kamu main-main ke pusat, pemandangannya lebih ciamik. Ada jembatan baru yang Instagrammable di Senayan, pun ada kereta MRT yang nanti beroperasi di bulan Maret.

Empat tahun lalu, waktu aku masih mahasiswa yang harus melakukan magang sebagai prasyarat lulus, aku amat mendambakan Jakarta. Sepertinya jika aku bisa mencicip pengalaman di sini, aku akan jadi orang hebat. Berangkatlah aku ke sana, naik kereta ekonomi dari Lempuyangan. Sampai di Pasar Senen masih subuh. Aku duduk-duduk di peron sampai langit terang lalu melanjutkan perjalanan naik busway sambil bertanya-tanya ke petugas.

Senang rasanya. Tapi cuma sesaat. Setelah tiba di rumah kos yang manusianya tidak mau tahu dan tidak mau kenal, kecewa pun menyambut. Sebulan magang di sini menjungkirbalikkan imaji akan kota yang katanya menjanjikan pengalaman untukku jadi orang hebat.

Setelah itu, aku pun akhirnya selalu berdoa begini: “Tuhan, tolong. Nanti sehabis lulus aku mau kerja tidak di Jakarta. Aku mau kerja di perusahaan anu, jadi anu. Pokoknya sesuatu yang menyenangkan yang bikin aku dapat pengalaman dan uang.”

Tapi…

Tuhan memang punya cara-Nya sendiri. Dia tidak menjawab doa itu seturut yang kuinginkan.

Setelah lulus, Tuhan malah menempatkanku di Jakarta. Dan, Jakartanya di tepian. Bukan di pusat Jakarta yang gemerlap oleh gedung-gedung tinggi. Tapi, di sinilah akhirnya aku menerima hidupku. Setahun pertama aku tinggal di rumah kos yang ibunya cerewet, namun ia baik. Setiap malam berjibaku dengan nyamuk. Dan, kala hujan turun lebat, tikus-tikus mampir ke kamarku. Argh. Nyaris frustrasi rasanya, namun anehnya aku bertahan setahun di sana hingga akhirnya kantorku memberikanku fasilitas tempat tinggal.

Setelah masalah tempat tinggal selesai, masalah baru pun datang. Aku bosan dengan ritme pekerjaanku. Aku iri melihat teman-teman yang di Instagram Storynya hidupnya tampak lebih asyik dan secara tidak kusadari, aku memandang sebelah mata rutinitasku. Ibarat kapal yang bocor, aku pun lama-lama tenggelam oleh perasaan tidak puas.

Hingga suatu hari, aku akhirnya mendapati titik pertama kesalahanku. Ia ada pada untaian kata yang tersusun dalam kalimat doaku.

Tanpa kusadari pula, doa yang kunaikkan dahulu sebelum lulus itu masih sering kunaikkan hingga aku tiba di dunia kerja. Doa itu memang tidaklah salah. Kan kita memang perlu meminta apa yang baik pada Tuhan.

Namun…

Dari doa itu, aku mendapati betapa egoisnya diriku. Betapa aku bekerja cuma untuk mencari kepuasan diri sendiri. Kalau dalam istilah Biologi, aku ini rasanya seperti parasit. Menyerap untung dari satu pihak, tapi tidak memberi kontribusi apapun. Untaian kata yang kedengarannya cuma ucapan di ujung bibir sadar tidak sadar bertahan di otakku, menancapkan akarnya hingga menyetir pola pikirku untuk mendasari nilai diri dan pekerjaanku dari sesuatu yang hanya tampak kulitnya saja: nama besar perusahaan, bonus sana sini, unggahan Instastory dan lain sebagainya.

Dan, hari itu, aku memohon maaf pada Tuhan dan meminta bimbingan-Nya agar aku memperbaiki apa yang salah dalam hidupku.

Aku berdoa, “Tuhan, aku tidak berdoa agar aku ditempatkan di tempat ini dan itu, atau aku ingin jadi anu atau anu. Tapi, tempatkanlah aku di tempat di mana aku bisa bekerja maksimal untuk-Mu. Tempatkanlah aku di tempat di mana aku bertumbuh menjadi pohon yang berbuah, agar buahnya bisa dinikmati oleh banyak orang.”

Dan, ajaibnya. Hari lewat hari, bulan lewat bulan, ada perubahan yang mulai kurasakan semakin nyata. Tempat kerjaku tetap sama. Namun, ada tantangan baru yang muncul dan aku dapat menyikapi tantangan itu dengan riang gembira, bukan dengan hati kecut dan muka masam. Ada peningkatan dalam pekerjaanku. Ada kenaikan dalam statistik. Ada kualitas yang terjaga dalam tiap unggahan konten. Ada orang-orang baru yang berkolaborasi denganku. Ada cerita baru yang bisa kutangkap. Dan, yang paling aku nikmati adalah: ada sukacita dalam setiap detik yang kulalui dan di setiap lantunan jari di atas papan ketik.

Waw. Jika aku menoleh ke belakang. Aku tidak menyangka jika perjalananku akan tiba di titik ini. Kupikir aku sedang berjalan menuju jurang yang kelam. Namun, rupanya perjalananku yang terjal ini membawaku ke sebuah tempat yang tinggi di mana aku selalu bisa melihat tuntunan-Nya melalui jalan demi jalan yang telah kulalui.

Meski perubahan yang semakin baik belum terlalu terasa hingga ke tepian, namun aku tahu bahwa Jakarta sedang berbenah. Kota ini sedang menata dirinya menjadi jelita untuk aku, kamu, dan anak cucu kita kelak.

Dan, seperti Jakarta yang berbenah, aku pun mau berubah dan terus berubah. Berubah tuk menjadi pribadi yang bertumbuh, agar kelak lewat buah-buah yang kuhasilkan, ada orang yang mendapatkan berkat.

 

7 pemikiran pada “Jakarta yang Berbenah, Aku yang Berubah

  1. Ry, postingan-postingan Facebook-mu nggak pernah membosankan lho. Kamu selalu bisa menemukan sesuatu yang positif untuk dibagikan di Facebook dan blog melalui petualangan2 kecilmu, pertemuan-pertemuanmu dengan kawanmu. Meskipun cuma ke curug, cuma ke bukit, cuma menyeruput wedang jahe, kamu bisa olah jadi konten yang menarik 🙂

    Aku justru kebalikannya. Aku pengen ke Jakarta, tapi malah ditempatkan di Bandung (sesuai nubuatan pastor-ku, hihi). Aku magang di Jakarta dan tempat kerjaku pertama ada di Jakarta. Puji Tuhan, selama di sana, aku nggak pernah mendapat kesan bahwa orang-orang Jakarta keras dan nggak pedulian.

    Aku suka hidup di kota besar. Berangkat pulang kerja naik kereta yang penuh sesak. Nongkrong di Sevel sampai malem. Bandung menurutku membosankan haha. Pengen lalu lintasnya lebih baik.
    Iya, Jakarta memang macet, tapi ada transportasi umum memadai.

    1. Hai Guh.
      Thanks banyak Guh 😀

      Kalau ingat saat dulu pindah Jakarta pertama kali, aku juga nggk nyangka akhirnya bisa bertahan sampai ke tahun ketiga di kota ini. Malah dari kota ini muncul banyak cerita baru, salah satunya bisa balas komenmu ini hahaha. Gara-gara pindah Jakarta, terbersit bikin blog.

      Kota besar, atau tempat manapun selalu punya cerita yang bisa kita ambil hihi. Asalkan kita mau ikut hidup di dalamnya, larut dalam ritme kota itu.

      Can’t wait to ngobrol langsung denganmu guh hahahaa

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s