Mendengar Nisan-nisan Berbicara di Taman Prasasti

Sewaktu saya tuntas membaca buku tentang Thomas Stamford Raffles yang ditulis oleh Tim Hannigan, rasa penasaran saya akan sosok Olivia Raffles, sang istri dari gubernur jenderal pun tumbuh. Wanita seperti apakah dia yang rela pergi ribuan mil jauhnya dari Inggris untuk menemani suaminya pergi ke Malaya hingga Jawa, suatu negeri yang amatlah jauh pada waktu itu?

Jika kita mengingat kembali pelajaran sejarah zaman sekolah dulu, kita tentu ingat bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda. Dan, pada tahun 1811-1816 terjadi pemerintahan transisi di mana posisi kekuasaan Belanda digantikan oleh Inggris secara sementara. Kedatangan pasukan Inggris ke Jawa membawa serta Thomas Stamford Raffles dan istri dan sahabatnya, John Casper Leyden. Kita tidak akan membahas kisah sejarah ini secara penuh, karena nanti artikel ini malah akan jadi buku sejarah. Secara singkat, dikisahkan bahwa setelah Inggris pergi dari Jawa, Belanda datang kembali. Perginya Inggris diikuti pula dengan perginya Raffles. Namun, tak seperti kedatangannya ke Jawa yang ditemani oleh orang yang dikasihinya, kepergian Raffles diwarnai dengan kehilangan. Selama ia berada di Jawa, Olivia sang istri meninggal dunia. Demikian juga dengan sahabat karibnya, John Leyden.

Batavia pada masa itu merupakan momok besar buat orang Eropa yang hidup di benua empat musim. Mereka tak terbiasa dengan iklim tropis yang kala itu membuat nyamuk malaria tumbuh subur. Karena penyakit tropis, Olivia dan John meninggal. Jenazah mereka tak memungkinkan untuk dibawa pulang ke kampung halaman, sebab perjalanan dari Batavia ke London bisa memakan waktu enam bulan sampai satu tahun. Akhirnya mereka pun dikebumikan di sebuah pemakaman Kristen untuk warga Belanda yang diberi nama Pemakaman Jahe Kober.

Seiring waktu, pemakaman ini tumbuh menjadi pemakaman publik Kristen di tengah kota. Namun, zaman yang berubah membawa serta kepadatan penduduk di ibu kota. Saat Batavia telah berganti nama menjadi Jakarta, makam ini pun ditutup tepatnya pada tanggal 9 Juli 1977. Tulang belulangnya dipindahkan dan fungsinya dialihkan menjadi museum. Nama yang kini melekat adalah Museum Taman Prasasti. Kendati dulunya adalah makam, prasasti-prasasti berupa patung dan nisan masih terawat rapi dan bisa kita nikmati sampai sekarang.

Nisan yang diam namun berbicara

Saya datang ke Taman Prasasti tepat di hari terakhir tahun 2018. Hujan baru selesai mengguyur, meninggalkan genangan dan aroma lembab. Saya pikir museum ini tutup karena tidak tampak ada pengunjung.

“Pak, saya mau masuk apa masih buka?” tanya saya kepada petugas satpam.

Ia mengangguk sembari mempersilakan saya memarkirkan motor di depan pintu masuk.

Dari luar, Museum Taman Prasasti memberikan kesan bahwa ia adalah bangunan tua. Papan informasi yang ukurannya besar memberikan pengetahuan tentang sejarah dan keistimewaan beberapa makam buat pengunjung.

Setelah membayar tiket sebesar dua ribu, saya melangkah masuk. Yang teringat pertama kali dalam benak saya adalah makam Olivia Raffles. Namun mencari makam sang mendiang rupanya tidak mudah karena tidak ada peta petunjuk layaknya berkunjung ke mal. Pun tulisan di makam-makam itu sudah banyak yang pudar. Saya coba berjalan lurus sembari mengamat-ngamati ekspresi wajah para malaikat yang dibangun di atas makam. Kebanyakan muram. Terkesan sendu, namun jika diterawang, saya pikir itu adalah ekspresi ikhlas, bahwa ia yang terbaring telah lepas dari segala bebannya dan pergi menghadap Sang Pencipta.

Mendekati ujung jalan setapak, rupanya saya menjumpai makam milik Soe Hok Gie. Gie merupakan orang Indonesia keturuan Tionghoa. Ia beragama Katolik, sehingga ketika ia meninggal dunia dalam pendakiannya ke Mahameru, ia pun dikebumikan di sini.

Setelah hampir setengah jam, barulah saya menemukan makam milik Lady Olivia dan John Leyden. Lokasi mereka berdekatan. Karena dimakan usia, tulisan-tulisan di nisannya mulai pudar dan agak sulit dibaca.

Dari 1.372 makam yang terdapat di sini, saya hanya mampu mengenal 3 saja. Itu pun setelah perjalanan panjang lewat membaca beberapa literatur, yaitu Lady Olivia Raffles, John Leyden, dan Soe Hok Gie. Selebihnya saya tak mengetahuinya sama sekali.

Sembari mengusap batu nisan milik John Leyden, saya membayangkan bagaimana gambarannya hidup di dua abad lampau. Apakah seperti masa sekarang? Penuh peperangan? Atau, seberapa mengerikannya sih malaria bagi orang Eropa zaman itu?

Pertanyaan itu tidak mengundang hadirnya jawaban. Dalam benak saya, malah muncul sebuah pertanyaan lanjutan: “Berapa lama kamu akan dikenang?” Pertanyaan reflektif ini ditujukan kepada diri saya sendiri. 

Seiring waktu yang berlalu dan generasi yang berganti, kehidupan seseorang pelan-pelan akan dilupakan. Bahkan, nisan pun tak mampu menjaga keabadian manusia. Mereka lenyap, tak diketahui asal muasal atau kontribusinya bagi dunia oleh generasi yang hidup masa kini. Bahkan orang besar seperti Lady Olivia Raffles dan John Leyden pun kini tak lebih dikenal hanya sebagai tokoh yang pernah hidup dalam sejarah.

Saya pernah baca sebuah studi yang dirilis oleh BBC, yang mengatakan bahwa orang biasa-biasa saja paling tidak dikenang maksimal 100 tahun setelah kematiannya. Dalam jangka seratus tahun itu mungkin telah lahir empat keturunan di bawahnya, atau sampai ke cicitnya. Setelah itu, kecil sekali kemungkinannya seseorang akan terus dikenang. Kecuali ia adalah orang besar yang pernah terkenal karena peristiwa besar pula.

Namun, yang terpenting dari studi itu sejatinya adalah bukan bagaimana kita dikenang kelak. Melainkan bagaimana kita menggunakan waktu yang ada sekarang untuk memberi kontribusi bagi dunia.

Dan, ini jugalah yang diceritakan oleh nisan-nisan itu dalam diam. Setelah kematian datang menyapa, nama hanyalah tinggal kenangan yang tertulis di atas seonggok batu.

27 pemikiran pada “Mendengar Nisan-nisan Berbicara di Taman Prasasti

  1. kompleks pemakaman ini menghilangkan kesan menyeramkan bagi pengunjung. Terkesan lebih teduh, ketimbang menyeramkan.

    Meskipun Raffles hanya sebentar di Indonesia, tapi dia banyak membawa dokumen-dokumen penting yang ada di keraton jogja. Dan saat ini sedang diusahakan untuk dikembalikan ke keraton jogja

  2. Itulah kenapa dianjurkan sekali2 jalan2lah ke pemakaman karena disana kamu akan mengingat mati.. Hehe.. Seperti biasa, tulisannya selalu bagus dan ‘ngena’ 😊

      1. Betul. Walau seram, berkunjung ke makam itu semacam jadi sarana reflektif bagi kita untuk mengingat apapun yang kita lakukan, kita dapat, ujung2nya rumahnya disana. Ga ada apa2nya kita ya. 😁 Inti perjalanan itu bukan destinasinya kemana, tapi pelajaran apa yg bisa kita dapat dari sana ya Ri. Hayolah kita menjelajah lagi Riiii…😁

  3. Bukannya Soe Hok Gie itu dikremasi ya mas, dan abunya ditebar di gunung. Aku gatau versi mana yg bener.

    Salah satu tempat yg asyik buat merenung ya mas, meski udh ga ada lagi makam disitu.

    1. Betul mas, dikremasi.

      Tapi sebelumnya, setelah meninggal, ia dikebumikan di sini dulu mas. Baru setelah pemakaman Jahe Kober mau dialihfungsikan jadi museum, jenazahnya dikremasi dan abunya ditebar di gunung 😀

      1. Oalah. Makanya aku agak bingung, ada nisannya tapi kok kabarnya dikremasi 🤣

        Semakin sempitnya lahan diperkotaan, kok aku udh mikir nantinya mau dikremasi aja ya mas wkwkwk
        Nda perlu repot2 ngurus makam juga. Ndak takut kegusur makam lain karena nda ada yg ngurus lagi 😖

        1. Iya mas. Sekarang lahan taman prasasti aja sempit. Dikelilingin gedung tinggi. Tapi senang sekali tempat begini masih terjaga mas.

          Aku tertarik sama ide pemakaman yang membuat seseorang nantinya jadi pohon mas. Sekalian penghijauan yak. Tp mahal kayane

  4. iyah, sayangnya dulu masih alay, cuma datang buat foto2an aja wkwkw… gak paham siapa siapa yg dimakamin disana, termasuk soe hok gie itu >.< padahal suka banget liat dia di filmya

  5. orang Eropa memperhatikan detail dan keindahan, tak hanya saat hidup, saat meninggal mereka ingin dikenang dengan “indah” pernah ke taman prasasti tapi nggak serem, malah damai rasanya

  6. Baca tulisan ini rasanya makjleb.. Sudah banyak yang menulis tentang Museum Taman Prasasti atau siapa saja yang dimakamkan disitu. Tapi baru kali ini saya membaca tulisan yang begitu “kena”. Reflektif banget. Apalagi tentang berapa lama kita akan dikenang setelah meninggal…

Tinggalkan Balasan ke aryantowijaya Batalkan balasan