Pahitnya Kopi yang Memaniskan Hidup Garry

Secangkir teh panas tersaji di atas meja. Saya menyeruputnya pelan-pelan sembari mengecek ponsel. Sepuluh langkah dari kursi tempat saya duduk, seorang kasir terdengar berdiskusi dengan pembeli. Mereka bicara kopi, minuman yang banyak digemari orang, tapi tak nyaman terasa di lidah saya.

Di kedai kopi itu, saya menanti kedatangan Garry. Sehari sebelumnya saya sudah janjian bertemu dengannya untuk meminta foto-foto acara Natal kemarin. Jam setengah sepuluh, Garry datang. Ia adalah pemuda berusia 20 tahun yang mengisi kuliahnya sembari bekerja sebagai barista. Sosok Garry berwajah oriental, namun kalau bicara, logat Sundanya terdengar kental.

Sembari menyalin foto-foto dari kamera ke laptop, saya terbersit ide. Bagaimana jika menuliskan kisah tentang Garry ke dalam blog? Saya memang bukan penikmat kopi, tapi duduk semeja dengan seorang peracik kopi bisa jadi kesempatan buat saya belajar sesuatu tentang kopi.

Dipertemukan dengan kopi

Saya mulai akrab dengan Garry di tahun 2007. Waktu itu, dia masih duduk di bangku SD dan saya di SMP. Kami sering meluangkan waktu liburan dengan bersepeda, atau jalan-jalan naik kereta api ke Stasiun Cimahi. Ketika ditanya soal cita-citanya apa kelak, kala itu Garry tidak punya gambaran mau jadi apa sama sekali.

Saat duduk di SMA, dia sempat tertarik dengan dunia gambar. Tapi, setelah dicoba, ternyata tidak ada bakatnya di situ. Dia lalu berangan kelak menjadi fotografer, tapi angannya kandas karena kala itu tidak ada kamera buatnya belajar. Kakak dan saudara-saudaranya yang lain mengambil jurusan desain dan komputer setelah lulus SMA. Jurusan-jurusan itu terasa mainstream buat Garry. Dia malah berminat tidak ingin kuliah saja.

Tapi, keluarga mendorongnya untuk tetap kuliah. Garry menurut. Dia cari jurusan kuliah yang durasi studinya singkat. Pilihannya jatuh ke program D-3 di jurusan yang berkaitan dengan kuliner, yang dalam imajinya kegiatan kuliahnya nanti akan banyak diisi dengan masak-masak.

“Tapi, pas kuliah ternyata jadinya waiter,” katanya sambil tertawa.

Semester satu kuliah pun dilalui Garry dengan perasaan tertekan. Kenyataan tak sesuai dengan ekspektasinya. Meski begitu, dia coba terus menjalani kuliahnya.

Di tahun 2015, Garry sering mampir ke kedai kopi. Dia lalu tertarik untuk mencari tahu lebih tentang kopi. Waktu itu, ada seorang kenalannya yang menawarinya bekerja paruh waktu di sebuah kedai kopi. Di sinilah kali pertama Garry menjajal jadi seorang barista. Tapi, tak berhenti sampai di situ. Ternyata, di balik aktivitas kuliah yang tidak dia sukai, ada satu hal yang mengejutkannya.

“Di kampus, ada UKM barista. Gua join dari semester satu itu. Ternyata kopi itu gak sekadar diminum. Ada teorinya,” tuturnya.

Garry belajar menekuni Latte Art, seni menghias di atas secangkir espresso dengan bahan dasar minuman cappucino dan cafe latte. “Kata orang, latte art itu cuma bonus. Teorinya sedikit. Tapi, gak semua orang bisa melakukan itu. Butuh kesabaran,” tambahnya.

Latte Art kreasi Garry

Hidup bersama kopi

Sejak berkenalan dengan kopi, hidup Garry sepertinya tidak bisa jauh darinya. Aktivitasnya sehari-hari selalu bertemu dengan kopi. Di bulan Oktober 2016, setelah pekerjaan barista part-time sebelumnya usai, dia bertemu dengan seorang kakak angkatannya yang tidak lulus kuliah, tak memiliki gelar, tapi sukses membuka sebuah kedai kopi. Setelah beberapa kali berkunjung ke sana, Garry menawarkan diri untuk bekerja. Tawaran itu disambut dengan senang hati oleh sang pemilik.

Dari pekerjaannya sebagai barista, Garry mampu hidup mandiri. Dia tidak lagi meminta uang jajan kepada orang tuanya sejak semester enam. Dan, dari kopi ini jugalah Garry bisa terus menjalani kuliahnya hingga ke tahapan akhir.

Ketika ditanya pengalaman apa yang paling menyenangkan sepanjang perjalanannya menjadi barista, Garry tersenyum. “Paling menyenangkan sih ketika ketemu customer. Lewat kopi, kita bisa cerita. Ada satu customer yang suka ngopi. Dia juga suka explore coffee shop yang ada di Bandung, lalu dia tulis review tentangnya.”

Di mata orang yang awam kopi seperti saya, saya selalu menganggap pekerjaan barista hanyalah menyeduh kopi. Garry tertawa kecil mendengar pernyataan itu. Dia berkata, barista itu bukan sekadar tukang seduh kopi. Barista meracik kopi dengan takaran yang tepat agar menghasilkan rasa yang prima di lidah peminumnya. Dan, berhubung spesialisasi Garry adalah di latte art, dia punya tanggung jawab untuk menjadikan tampilan kopi lebih sedap dipandang.

“Ketika gua naro kopi dan customer itu senyum dan memfoto kopi itu, gua seneng. Ketika kopi itu difoto, itu menunjukkan bahwa tampilan kopi itu sedap. Customer suka dan puas.”

“Oo begitu,” saya mengangguk lalu bertanya bilamana ada pengalaman yang paling tidak menyenangkannya ketika menjadi barista.

“Orang yang gak percaya sama barista dan terlalu banyak nyetir bilang ini itu,” jawab Garry. Barista yang baik, membuat kopi dengan cermat, tidak asal-asalan. Kepercayaan yang diberikan customer adalah poin lebih yang memberikan kepuasan kerja kepada sang barista.

Garry lalu menuturkan pengalamannya ketika ada seorang customer yang banyak sekali komplain tentang banyak hal.

“Mungkin kopinya pahit kali jadi orang itu protes?” saya bertanya.

“Nah, justru kopi itu memang pahit. Kopi yang asli, dinikmati tanpa gula.”

“Hah?” saya menggeleng. Saya tidak percaya. “Gimana manisnya? Rasanya pahit gitu.”

Garry tertawa. Dia lalu menyarankan saya jangan minum kopi cuma sekali. “Nanti lama kelamaan akan manis kok. Pada dasarnya kopi itu sudah manis,” tambahnya.

Meski saya bukan penikmat kopi, mungkin apa yang dikatakan Garry ada benarnya. Lidah saya memang tidak terbiasa mengecap kopi, wajarlah jika hanya pahit yang terasa. Tapi, seiring dengan seseorang lebih rutin mengonsumsi kopi tak bergula, perlahan dia mulai terbiasa dan mampu mengencap nuansa manis.

Mungkin, filosofi bahwa ada rasa manis di balik pahitnya kopi itu berlaku juga dengan kehidupan. Ada banyak peristiwa yang kita anggap getir dan pahit. Tapi, jika kita bersedia memberi diri lebih peka, ada setitik manis yang kelak bisa dikecap.

Menutup diskusi hangat saya dengan Garry, saya bertanya apakah kini dia punya cita-cita, sebab dulu dia adalah orang yang tak punya cita-cita.

“Gua mau punya coffee-shop sendiri,” jawabnya bersemangat.

Betapa kopi, yang saya anggap sebagai minuman pahit, memberi dampak yang manis pada sesosok pemuda di depan saya.

 

4 pemikiran pada “Pahitnya Kopi yang Memaniskan Hidup Garry

    1. Hehehe, iya mas. Ada orang-orang yang jalan hidupnya dilakoni dengan menekuni yang dia suka. Saya senang kalau bertemu orang-orang model begini, biasanya mereka punya banyak cerita jatuh bangun yang memberikan efek semangat buat kita.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s